Hari ini ada kabar melegakan untuk Jessie. Kepulangan Om Wisman ditunda. Masih ada kepentingan bisnis dadakan yang harus diselesaikan. Kemungkinan besar esok atau lusa laki-laki itu baru akan sampai Indonesia.
Jessie mengembus napas lega. Ia mulai memikirkan kemungkinan menerima tawaran Mommy. Ia ingin mengelola bisnis yang dipercayakan padanya supaya mendapat gaji lebih besar. Ia ingin segera bebas dari cengkeraman aki-aki tua bernama Wisman.
Om Wisman membebaskan Jessie punya pacar. Bahkan, jika Jessie mau menikah pun laki-laki itu fine-fine saja. Ia membebaskan Jessie untuk memiliki pasangan hidup. Hanya saja, syaratnya, setiap saat Wisman ingin dilayani, Jessie harus siap muncul dan menyanggupi.
Bagian syarat itu yang mengganjal hidup Jessie. Ia ingin bebas. Mau pacaran, kek. Mau menikah, kek. Mau apa saja, ia ingin bebas tanpa perlu ada khawatir sewaktu-waktu Om Wisman menghubunginya.
Jessie bukan kacung! Ia tak sudi diperlakukan rendah seperti itu. Ia j
“Sembilan tujuh koma enam FM. Radio Siul, radionya kawula muda. Sapa sobat pendengar. Hiburan. Lagu-lagu lawas. Lagu mancanegara hits. Bersama aku, Jessie, kita ketemu lagi diii… eSSTeeeEeeM! Siaran Tengah Malam! Sebelum kita ngobrol-ngobrol panjang lebar pluus baca-bacain rikues dan salam dari kamu, nikmati dulu, yuk, emmm… satu lagu dari… ehh… emmm…. Yak, Justine Belieber dengan satu hits-nya yang kondang – tapi bukan kondangan, hehe, garing, ya? Okeh. Satu lagu hits mancanegara; Nyummy-Nyummy dari Justine Belieber spesial buat kamuuu…. Stay tune, jangan ke mana-mana, enjoy STM. Siaraann Tengaaah Malaamm…!”Bambang bekerja sigap. Ia segera menekan tombol play. Lagu Nyummy-Nyummy dari Justine Belieber segera berkumandang.Jessie mengembus napas lega. Bambang mengacungkan dua jempolnya ke udara. Berhasil – yeaay!Jessie lega berhasil membuka Siaran Tengah Malam kali ini dengan lumayan… berhasil. Yaa, lumayan bisa dibilang berhasil-lah. Bisa dibilang lumayan karena
Malam itu terasa benar-benar buruk. Mulut Jessie terkunci setelah membaca pesan tanpa nama pengirim. Bambang masuk ke studio dengan heran. Ia tidak mengerti mengapa rekan kerja barunya malah mematung memandangi layar laptop. Laki-laki itu melongokkan kepalanya. Ia turut membaca pesan pendek yang penuh berisi kebencian tersebut.“Oh…,” komentarnya pendek. “Nggak usah terlalu serius ditanggapi, Mbak Jessie.”Jessie ingin menyahuti Bambang tapi tak satu kata pun yang keluar. Tenggorokannya seperti tercekik. Suaranya malah terdengar mencicit kayak suara tikus kejepit got. “Ter… terus gimana, Mas?” tanyanya panik. Akhirnya suaranya keluar juga.“Kayak gini biasa aja, Mbak. Dulu, pas radio ini masih jaya, penyiar-penyiarnya kondang, beberapa kali – kalau belum boleh dibilang sering – ada pesan-pesan penuh ujaran kebencian kayak begini.” Bambang memperhatikan Jessie yang masih syok. “Nggak
“Jeeng…. Ada di rumah, nggak? Aku mampir sebentar, yaaa. Ada tawaran pekerjaan, niih. Bayarannya gedee. Kerjanya cuma seneng-seneeng. Boleh, yaa?”Tante Clarrisa mengiyakan. Ia sedang tidak ada pekerjaan. Acara televisi tidak menarik. Yang menelepon adalah Jeng Ries salah satu teman arisan sosialita Tante Clarrisa.Tak perlu waktu lama untuk Jeng Ries sampai di rumah. Dengan gaya centil wanita paruh baya itu masuk. Menyapa Tante Clarrisa sambil cipika-cipiki.“Sehat, kan, Jeeng?”Tante Clarrisa mempersilakan tamunya duduk. “Duitnya banyak, nggak?”Tawa centil Jeng Ries membahana. “Langsung to the point aja, sih, Jeng? BU alias Butuh Uang banget, ya?”Tante Clarrisa tahu sekali tentang ‘pekerjaan sampingan’ Jeng Ries. Wanita paruh baya yang centil itu punya banyak sekali ‘klien’. Kliennya bapak-bapak kesepian yang membutuhkan teman-teman. Mereka punya kriteri
Jessie tidak mau melambai supaya Om Wisman mudah menemukannya. Supir pribadi bos besar itulah yang kemudian menemui pimpinannya.“Sendiri saja?” tanya Om Wisman. “Bukannya aku sudah bilang untuk menjemput perempuan itu terlebih dulu?”‘Perempuan itu’.Jessie berdiri tak jauh dari mereka. Ia bisa mendengar sebutan yang disematkan Om Wisman padanya.‘Perempuan itu’. Betapa Jessie tidak dianggap oleh laki-laki itu. Betapa murahnya harga diri Jessie hingga hanya diberi sebutan ‘perempuan itu’. Kenapa laki-laki tua itu tidak menyebut nama? Toh, ia punya nama.‘Bukannya aku sudah bilang untuk menjemput Jessie terlebih dulu?’Seandainya perkataan Om Wisman barusan diganti menjadi demikian, tentu hati Jessie tak akan terluka. Tapi ya sudahlah. Toh kehadirannya menjadi pendamping Om Wisman, kan, hanya sekadar sebagai jaminan utang Tante Clarrisa.“Saya sudah menjemput Nona Jessie, Tuan Wisman,” jawab Pak Supir.Pak Supir saja mengerti tata kram
“Aku cuma ingin kopi, Jess…,” pinta Om Wisman setiba mereka di apartemen. Laki-laki itu mandi membersihkan diri hingga badanya yang letih kembali segar. “Oh iya, aku juga ingin toast. Setangkup,ya. Tambahkan sedikit butter di antaranya.” “Oke,” jawab Jessie singkat. Gadis itu sudah hapal makanan kesukaan Om Wisman. Ia juga sudah hapal setiap inci apartemen laki-laki itu. Om Wisman punya rumah pribadi tapi ia lebih senang membawa gadis-gadis yang dipacarinya ke apartemen. Lingkungan apartemen lebih individualis. Orang-orangnya tidak peduli pada penghuni lain. Siapa pun yang dibawa masuk juga bodo amat. Terlebih apartemen yang dipilih Om Wisman tergolong apartemen mewah dan mahal. Semakin mewah, semakin individual orang-orangnya. Toast yang garing dan renyah dioles dengan sedikit butter. Terdengar kemericik samar dan cipratan kecil-kecil dari butter yang dioles ke roti panggang buatan Jessie. Sarapan yang kesiangan dan segelas kopi disajikan di meja di hadapan
“Aku capek hidup miskin…,” keluh Jessie dalam perjalanan pulang setelah siaran. Suasana jalanan yang lengang dan sepi membuatnya mudah menganalisa apa yang terjadi dalam hidupnya. “Seperti sudah saatnya buat aku untuk berbenah. Nggak bisa begini terus.”Jessie tetap menjalani pekerjaannya sebagai penyiar dengan baik. Bambang terus memandunya dengan sabar. Siaran Tengah Malam di hari-hari berikutnya berjalan dengan lancar. Jessie hanya perlu berpura-pura tidak melihat Reni. Penyiar sekaligus karyawan senior yang mukanya sengak. Padahal aslinya rapuh. Sampai-sampai rela merengek cinta dan perhatian yang lebih dari Bambang.Semalam Jessie sudah menghubungi Mommy. Ia mengirim pesan singkat: ‘Mom, ketemuan, yuk? Aku ingin menerima tawaran Mommy.’Pesan sesingkat itu namun telah dipikir dengan begitu serius. Jessie takut ia semakin terlarut dalam kisaran asmara dengan Om Wisman. Semakin ia menikmati gelora cinta bos besar par
“Kamu menerima tawaran Mommy-mu?” tanya Om Wisman antusias.“Ya…,” jawab Jessie masih dengan menekuk muka. “Aku pengin cepat punya banyak uang.”Om Wisman terpingkal.“Buat apa banyak uang? Kenapa nggak minta aku saja? Sudah berkali-kali aku bilang, kalau butuh uang, bilang! ‘Om, minta duit yang banyak!’ Begitu kamu bilang begitu, pasti langsung aku transfer! Kamu, sih, sok-sokan idealis. Hidup menderita cuma demi mencari pengalaman. Pengalaman hidup itu bisa didapat dari mana aja! Nggak usah jadi orang miskin, orang kaya juga nggak kurang-kurang ada masalah dan kejadian yang bisa dipetik hikmahnya jadi pengalaman hidup.”“Apa, sih, Oom…?” gerutu Jessie. “Aku nyari duit buat bayar utang!""Utang apa?""Utangnya Tante Clarrisa-lah!"“Lho? Utangnya tantemu kok kamu yang harus bayar?” Om Wisman berlagak tidak tahu. “Biarin aja ta
“Aku benar-benar nggak tahu selera,” keluh Jessie dengan banyak tas belanjaan di tangan. Semuanya bermerek maha. Gacci, LuiViutong, Bilmaina, Shhyaanel, Havaenaz, dan lainnya.“Tidak masalah…,” tenang Om Wisman sembari menerima kembali kartu kreditnya. Ia mengucapkan terima kasih dengan membungkukkan setengah badannya. Para petugas di butik membalas dengan penghormatan yang lebih-lebih.Om Wisman adalah pelanggan mereka yang terbaik. Setiap kali datang, gadis yang dibawanya selalu berbeda. Tak jadi masalah karena Om Wisman memborong pakaian musim terbaru dan yang terbaik.“Tidak masalah, Sayang,” ulang Om Wisman sembari mengambil rentetan tas belanjaan dari tangan Jessie. Laki-laki itu membawakannya dengan enteng saja. Tak terlihat malu karena harus menenteng tas belanjaan sementara perempuan di sebelahnya melenggang kangkung. Prinsip Om Wisman: melayani perempuan sebaik-baiknya – selama belum ada keinginan untuk