“Nggak apa-apa, Sayang. Kan demi seorang anak. Kita harus mengorbankan apa pun demi bisa mendapatkannya. Termasuk waktu kita yang memang sibuk. Kita bisa meluangkannya, Dek.”
Dengan hati-hati, Gifar berusaha meyakinkan Khumaira agar mau mengikuti sarannya. Gifar juga tidak mau menjerumuskan diri pada prasangka yang tiba-tiba menghinggapi benaknya.“Baik, Mas. Kapan kita akan melakukannya? Ke mana juga kira-kira kita akan pergi. Aku mau cari tahu lewat media sosial tentang kualitas dokter yang akan kita kunjungi, Mas. Kamu juga mau pergi ke luar kota kan?”Setelah mendapatkan jawaban itu, prasangka di hati Gifar mulai luntur. Khumaira bukan ingin menolak, tetapi mengkhawatirkan penanganan yang nantinya akan dokter baru itu lakukan. Itulah yang Gifar yakini di dalam hati.“Iya juga sih, Dek. Kalau aku sudah pulang, kita cari waktu yang tepat, Dek. Ujian kita soal anak. Jadi, usahanya memang di sekitar itu saja kali ya?”“Iya, Mas.” Senyum Khumaira tersungging, tetapi ada sisi kepedihan pula yang tersirat di raut wajahnya.“Dek, jangan sedih ya. Kita pasti akan diberi amanah seorang anak. Kita berusaha semaksimal dan semampu kita, Dek.”Karena Gifar sedikit melihat gelagat kesedihan di wajah istrinya, ia langsung tanggap menghiburnya.Sesil saja bisa hamil meski sekali melakukannya, Khumaira pasti akan bisa mengandung anakku. Kami hanya butuh berusaha dan bersabar.“Iya, kita hanya bisa berusaha dan berdoa, Mas. Yang penting, jangan putus asa ya, Mas.”Andai kamu tahu, Mas. Harapanmu sepertinya sulit terkabul. Atau bahkan, tidak pernah terkabul.“Iya, Sayang. Kamu juga jangan capek-capek. Bener-bener ya, kamu itu istriku yang cantik dan bisa mandiri. Tanpa aku, kamu pasti tetap bisa berdiri kokoh kan, Dek.”“Hust! Ngomong apaan sih, Mas? Kamu suamiku, mana mungkin aku hidup sendiri. Kalau ngomong jangan aneh-aneh deh.”“Kamu cantik, Dek. Bisa mandiri juga. Usaha kuemu sudah banyak dikenal orang. Kamu bisa menabung dari kerja kerasmu sendiri, Dek. Tapi, aku malah egois. Tetap saja menuntutmu untuk berpenampilan rapi setelah aku pulang kerja. Padahal aku tahu kamu itu wanita mandiri. Tanpa make up dan berantakan pun, kamu masih cantik, Dek. Aku saja yang kurang bersyukur.”Gifar memang tipe laki-laki yang sangat menghargai wanita, terutama wanita yang spesial di hati. Khumaira memang wanita paling istimewa setelah Laela. Gifar tentu ingin selalu membahagiakan Khumaira. Meski pada kenyataannya, ia telah melukai perasaan istrinya.“Mas, jangan gitu dong. Kamu boleh kok, mengkritik penampilanku. Memang benar, gara-gara membuat kue aku jadi lupa memperhatikan penampilanku. Kamu pasti ingin melihatku tetap terlihat cantik itu wajar, Mas. Jadi, aku akan berusaha menyenangkan hatimu, Mas. Jangan lupa, besok aku belikan B E*l-nya, Mas.”Khumaira begitu sempurna, tapi aku malah mengkhianatinya. Aku bukan suami yang tegas.Gifar selalu menyalahkan dirinya sendiri di dalam hati. Keadaannya terjepit antara dua pilihan. Dan pada dasarnya itu bukanlah pilihan, karena Gifar ingin semua baik-baik saja.“Tentu, Sayang. Wajahmu makin nge-glazed nanti kan, Dek?”Senyum tersimpul di bibir Gifar. Namun, hatinya terombang-ambing karena kesalahannya.***“Berapa hari kamu di luar kota, Mas?”Sekitar pukul lima pagi Khumaira mempersiapkan keperluan suaminya yang akan menginap di suatu tempat.“Dua hari saja, Sayang. Sekarang sama besok. Aku ingin cepat memeriksakan lagi keadaan kita. Aku pengin punya anak yang cantik kayak kamu, Dek.”Di depan cermin, Gifar menyisir rambutnya sambil melirik ke arah Khumaira yang sedang memasukkan barang-barang ke dalam tas.Itu sepertinya mustahil, Mas.Sambil tersenyum, Khumaira hanya membatin saja. Memang ada rahasia yang sengaja Khumaira simpan sendiri. Sebenarnya tidak nyaman menyimpannya sendiri, tetapi Khumaira tidak ingin suaminya merasa sakit hati.“Dek, kok diam sih? Aminin dong, atau apa gitu,” protes Gifar. Lagi-lagi merasa aneh dengan sikap Khumaira.“Iya, Mas. Kan di dalam hati ngamininnya. Ini lagi konsentrasi apa aja yang akan kamu bawa, Mas. Nanti malah ada yang tertinggal.”Gifar mendekati Khumaira. Ia memeluk istri tercintanya itu.“Dasar kamu ini, pintar saja kalau menjawab kata-kata dari suami. Rasakan ini, Dek.”Gifar menciumi pipi dan bagian leher istrinya. Khumaira pun tak bisa menahannya. Gifar yang telah rapi, harus berantakan lagi gara-gara ulahnya sendiri.“Ih, Mas. Kamu kan sudah rapi. Sudah tampan loh, Mas. Nanti berantakan lagi,” ucap Khumaira sambil kegelian. Namun, Gifar tak peduli.Aku selalu ingin membuatmu bahagia, Dek. Tapi, kalau kamu tahu kenyataan sesungguhnya, apa senyummu akan tetap terukir seperti ini? Aku sudah jahat sama kamu, Dek.“Aku sangat dan sangat mencintaimu, Dek. Aku nggak mau menyakitimu meski seujung jari. Kamu percaya kan, Dek?”Pertanyaan itu terucap sebagai penguat akan kesalahan yang memang telah Gifar lakukan. Ia berharap, jawaban dari Khumaira bisa sedikit mengikis rasa bersalahnya. Namun, nyatanya itu sia-sia. Penghiburan yang Gifar lakukan, hanya sekejap mata. Untuk seterusnya, kesalahan terus menghantui dirinya.“Percaya dong, Mas. Masa nggak? Kamu suami terhebatku. Nggak ada lawan deh, Mas.”Gifar yang masih memeluk Khumaira dari belakang mengukir senyumnya. Namun, hatinya justru semakin terasa sakit. Seperti ada ribuan jarum yang menancap di sana.“Sudah dong, Mas. Memangnya kamu mau begini terus? Kamu kan harus berangkat. Bekalmu juga belum aku siapkan dengan benar. Kamu sih, asal cium saja. Kerjaanku jadi berantakan tahu, Mas,” protes Khumaira dengan bibirnya yang maju ke depan.“Kamu tambah cantik kalau lagi cemberut loh, Dek. Jangan memancingku. Itu bibir bisa kumangsa loh, Dek.”“Ih! Terus aja gitu.”Untuk sesaat, sepasang suami-istri itu menikmati kebersamaannya. Gifar memang merasa sangat berat saat akan meninggalkan Khumaira demi menemui Sesil. Ia ingin tetap ada di sisi Khumaira. Namun, Laela pasti akan memprotesnya. Meski berat, akhirnya Gifar tetap harus meninggalkan Khumaira.“Aku berangkat dulu ya, Dek. Kamu hati-hati di rumah. Jangan pergi jauh-jauh. Aku nggak mau terjadi sesuatu yang buruk sama kamu, Dek.”Persiapan sudah beres. Sekitar pukul enam pagi Gifar sudah akan pergi. Hatinya merasa berat, tetapi tidak bisa mengungkapkan kebenarannya di depan Khumaira.“Iya, Mas. Kamu juga hati-hati.”Sebenarnya, aku mau ke rumah ibumu, Mas. Tapi, aku nggak berani ngomong. Nanti dilarang sama kamu. Maaf ya, Mas. Aku sudah lama nggak ke rumah Ibu. Aku takut dikira menantu yang nggak tahu diri. Banyak alasan, tetap saja sama Ibu biasanya nggak diterima. Jadi, aku harus tetap ke sana meski sendiri, Mas. Aku mau buktiin, kalau aku memang wanita mandiri di depan ibumu.Sambil mencium punggung tangan Gifar, Khumaira berbicara di dalam hati tentang niatannya untuk mengunjungi Laela seorang diri.Gifar pun mencium kening Khumaira, lantas pergi menggunakan mobilnya menuju ke rumah Laela. Dan yang Khumaira tahu, Gifar pergi ke luar kota untuk menunaikan tugasnya mengais rezeki. Keduanya sama-sama berbohong.Khumaira menghela napas. Ia segera mempersiapkan apa saja yang akan dibawa ke rumah mertuanya. Tentu saja, kue buatannya sendiri tidak luput menjadi salah satu oleh-oleh untuk Laela.Sebelum pergi, Khumaira membereskan pesanannya terlebih dulu sekalian membuat kue yang akan diberikan untuk mertuanya.Sekitar pukul sembilan, Khumaira sudah siap segalanya. Ia segera memasukkan semua oleh-oleh yang akan dibawa ke rumah mertua ke dalam mobil. Ya, Khumaira sudah biasa mengendarai mobil dan sering digunakan untuk mengantar pesanannya dalam sekaligus.Satu jam perjalanan sudah Khumaira tempuh, saat akan memasuki kompleks perumahan milik mertuanya, Khumaira melihat ada banyak orang keluar dari rumah Laela.“Ada apa ya? Memangnya ada acara? Kenapa aku nggak diberitahu? Oh, itu kan mobilnya Mas Gifar. Apa dia ada di rumah Ibu? Bukannya dia lagi ke luar kota?”Sambil menepikan mobil di tempat yang bisa dijadikan parkiran, mulut Khumaira bergumam. Ada banyak tanda tanya di dalam kepalanya.Dengan rasa penasaran yang makin menggebu, Khumaira turun dari mobil sambil membawa oleh-oleh yang telah dipersiapkan untuk mertuanya.Raut wajah yang penuh selidik menemani setiap langkah Khumaira. Jantungnya mendadak berdebar seakan ada firasat yang nantinya akan membuatnya mengetahui sesuatu yang mengejutkan.Apakah benar, Mas Gifar ada di rumah Ibu? Lantas buat apa dia ke sini? Bukankah dia berpamitan ke luar kota tentang bisnisnya?“Maaf, Bu. Ada acara apa ya?” tanya Khumaira kepada seorang wanita yang belum lama ini keluar dari rumah Laela.Rasa penasaran itu sudah tak tertahan, hingga Khumaira memberanikan diri mencari tahu kepada orang yang tak dikenali.“Oh ini, Mbak. Bu Laela lagi ngadain syukuran. Tapi, mereka sengaja tidak memberi tahu secara jelas syukurannya untuk apa. Katanya, yang penting sudah berniat, tidak perlu diumbar secara jelas lagi ke orang-orang. Bu Laela emang kadang gitu, Mbak. Orangnya suka merendah. Duluan ya, Mbak.” Sambil tersenyum, wanita itu berpamita
“Dek, aku minta maaf karena saking sibuknya jadi nggak sempat mengabarimu, Dek. Pekerjaan di luar kota juga akhirnya kubatalkan karena harus datang ke rumah Ibu begini. Kalau nanti kamu sudah mau pulang, aku akan ikut bersamamu.”Dengan sangat canggung dan raut wajah yang tampak kebingungan, Gifar berusaha keras agar rahasianya tetap tertutup rapat.Gifar menyadari kalau Khumaira mulai mencurigai keberadaan Sesil di rumah Laela. Kalau keadaan makin memanas, bisa saja semua rahasianya terbongkar detik itu juga.“Mas, apakah benar, kamu tidak menyembunyikan sesuatu? Memangnya, Ibu baru saja melakukan syukuran untuk apa? Aku baru tahu, seorang pembantu berpakaian yang hampir serasi dengan majikannya. Terutama denganmu, Mas. Apa sesulit itu mengabari acara yang Ibu selenggarakan kepada istrimu sendiri, Mas?”Pertanyaan demi pertanyaan yang Khumaira sampaikan, membuat Gifar makin kebingungan.“Apa salahnya kalau Sesil memakai pakaian yang serasi dengan kami. Biar dia terlihat rapi. Memangn
“Itu suara orang muntah kan, Mas? Sesil yang muntah kan? Aku dengar Ibu barusan ngomong walau samar. Sesil kenapa? Sakit? Aku pikir, tadi dia baik-baik saja kan, Mas?”Khumaira hendak bangkit meninggalkan piring yang isinya masih ada. Namun, spontan Gifar memegang lengannya.Sorot mata yang tadinya tertuju ke ruangan yang ada di belakang, mengetahui tangannya ada yang memegang, Khumaira melihat ke arah Gifar.Lelaki itu tampak pucat. Kekhawatiran di wajahnya sulit disembunyikan. Apalagi gelagatnya begitu aneh, hingga Khumaira mengernyitkan kening bertambah curiga.“Kenapa, Mas? Kenapa tanganku kamu pegang? Aku mau melihat keadaan Sesil. Apa kamu tahu sesuatu, Mas? Apa benar, Sesil sedang sakit?”Untuk mengurangi rasa curiga, pertanyaan demi pertanyaan terlontar. Khumaira bukan sekadar mengkhawatirkan kondisi Sesil, tetapi lebih takut lagi kalau dugaan yang tadi disampaikan kepada Gifar menjadi kenyataan.Gifar perlahan mengalihkan sorot matanya. Tangan yang mencegah kepergian istrinya
“Khuma! Sesil tadi sudah menjelaskan semuanya kan? Kenapa kamu nggak percaya dan malah banyak bicara macam itu? Sesil lagi lemas begini gara-gara muntah karena masuk angin. Apa kamu masih saja nggak mempercayai perkataan Sesil? Kamu pernah tinggal bersama kan? Artinya, kalian berteman. Kenapa kamu nggak punya rasa kasihan dan simpati saat melihat kondisi Sesil yang lagi lemah dan sakit begini, Khuma! Jangan ngomong yang aneh-aneh. Bikin orang jadi marah saja sih!”Suara penuh amarah itu terucap dari lisan sang mertua. Wajahnya yang mirip Gifar itu menunjukkan guratan-guratan kemarahan yang ditujukan kepada menantunya sendiri.Khumaira yang menahan kekecewaan dan kekesalan itu juga makin terasa panas hatinya ketika mendengar pembelaan dari Laela untuk Sesil. Pertanyaannya selalu disanggah dengan emosi yang meluap-luap. Kalau seandainya semua yang dilontarkan oleh Khumaira adalah kesalahan, harusnya mereka menyikapinya dengan tenang dan tidak perlu mengeluarkan nada suara yang tinggi. S
“Khuma, tolong dengarkan aku. Antara aku dan Mas Gifar tidak ada hubungan apa pun. Aku hanya masuk angin, Khuma.”Sesil berucap lagi. Walau Laela menatap tidak suka sebab ucapannya, wanita itu seakan memberi isyarat kepada Laela agar diam dan menurut saja apa katanya. Namun sayangnya, gelagat itu ditangkap oleh mata kepala Khumaira. Ia makin kesal.“Jangan bohong kamu, Sil! Memangnya aku bodoh, ha! Barusan kamu memberikan tanda kepada Ibu agar mau menurut apa katamu kan? Bukankah kamu sahabatku? Kenapa kamu malah ingin menutupi sesuatu dariku? Aku sudah menceritakan banyak hal tentang kehidupanku kepadamu, Sil. Bahkan sampai membicarakan Mas Gifar. Aku bodoh memang. Kenapa mempercayai orang sepertimu yang sekarang malah bersandiwara untuk menutupi sesuatu dariku. Aku bodoh terlalu percaya kepadamu yang aku anggap sebagai sahabat terbaikku selama ini, Sil!”Nyalang. Mata Khumaira menatap wanita yang baginya sudah seperti keluarga sendiri, tetapi nyatanya, ada permainan yang disembunyik
Rahang Khumaira beradu keras. Tatapan kebencian menyoroti sahabat yang kini telah tega berkhianat. Ia kembali teringat waktu ketika lisannya menceritakan tentang kekurangan suaminya kepada Sesil dengan harapan bisa melegakan beban hidupnya walau secuil.“Sil, sebenarnya aku punya rahasia yang terasa berat kalau kusimpan sendiri,” ujar Khumaira kala itu.“Cerita aja, biar kamu lega, Khuma. Nggak perlu ragu, kayak sama siapa aja sih. Aku juga sering cerita sama kamu kan? Tapi, memang sih, aku belum bisa menceritakan lelaki yang bikin aku berdebar sama kamu. Nanti saja, kalau waktunya udah tepat,” jawab Sesil sambil nyengir.“Jadi, kapan dong? Masa sejak pertama ngomong sampai saat ini kamu masih merahasiakannya.” Khumaira malah fokus pada cerita Sesil tentang lelaki idamannya.“Dia masih milik orang lain. Nggak pantas kalau aku ngomongnya sekarang kan, Ma? Makanya, aku menunggu waktu yang tepat saja nanti.”Khumaira agak terkejut mendapati sahabat dekatnya menyukai lelaki yang katanya s
“Apa maksudmu? Aku nggak melakukan apa pun. Lebih baik, kamu izin untuk pulang lebih awal saja.”Tiba-tiba, Sesil mengeluarkan air matanya. Ia sempat terdiam. Kemudian, bulir kristal yang telah berjatuhan dihapus oleh tangannya hingga Laela menyadarinya.“Kenapa malah nangis? Kalau makin terasa tidak nyaman, lebih baik pulang. Takutnya malah tambah parah nanti. Kalau kamu bingung tentang izinnya, aku akan menemanimu dan sekalian mengantarmu pulang untuk istirahat.”Tidak menyangka kalau Laela sebaik itu. Namun, Sesil jadi heran sama Khumaira yang mengatakan kalau mertuanya kurang suka kepadanya. Padahal orang yang ada di hadapannya sekarang begitu baik.Apa mungkin gara-gara Khuma belum hamil-hamil, Ibu ini jadi jutek sama menantunya ya? Khuma jadi merasa tidak nyaman sama orang ini. Tapi, dia malah menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang. Bukankah aku harus memanfaatkannya dengan baik? Aku akan pura-pura bertanya tentang kehidupan anaknya. Kalau hubungannya dengan Khumaira kurang
Betapa syok bercampur bahagianya Sesil ketika isi pesan yang berasal dari Laela menyuruhnya untuk menjadi istri kedua dari Gifar.“Oh, ya ampun, ya ampun! Mimpi apa aku semalam? Bu Laela akhirnya memintaku seperti ini. Harapanku tidak sia-sia. Kebohonganku waktu pertama bertemu membuahkan hasil,” gumamnya sambil mengembangkan bibir.“Tapi, apa artinya tentang perjanjian jangka waktu kehamilanku dengan Mas Gifar? Apa maksudnya aku harus hamil sesuai permintaan waktu yang telah ditentukan oleh Bu Laela? Terus, bagaimana dong? Mas Gifar saja mandul kan? Kalau aku diminta hamil setelah sebulan akad nikah, bisa kacau semuanya kan? Terus, kalau Mas Gifar diperiksa dan ternyata hasilnya bukan dipalsukan seperti yang Khumaira lakukan, artinya orang bakal tahu kalau dia nggak akan bisa punya anak kan? Terus, kelanjutan nasibku dan hubunganku dengan Mas Gifar gimana dong? Bagaimanapun, aku mau Mas Gifar mencintaiku seperti yang dilakukannya kepada Khumaira. Tapi, apa yang harus aku lakukan?”Se