Aku masih melongo, tak henti menatap Atha yang masih sibuk membalas sapaan mereka.“Silahkan duduk di sini, Pak,” Mas Haidar berdiri dan mempersilahkan kami untuk duduk.“Terimakasih, Pak Haidar,” ucapnya seraya membuka kursi dan mempersilahkan aku untuk duduk.“Duduk Kiran!” Atha melihat wajahku yang enggan untuk duduk di atas kursi yang telah ditariknya, semua mata tertuju padaku sekarang.“Eh, maaf Pak, silahkan Bapak yang duduk.” Aku segera memegang kursi itu dan mempersilahkan Atha untuk duduk lebih dulu, harusnya begitu kan sikap bawahan ke atasan.Atha mengerutkan dahinya, lalu memegangi kedua pundakku, mendudukannya dengan paksa. Aku terpaksa menuruti dan duduk senyaman mungkin, kemudian dia membuka kursinya sendiri untuk duduk di sampingku.“Sudah lama Bapak tidak datang ke kantor kami. Suatu kehormatan, siang ini Pak Atha bisa makan di sini." Mas Haidar membuka obrolan.Aku mengintip pandangan untuk melihat sekeliling, di mana Mas Irawan dan teman-temannya duduk? tidak kuliha
Aku masih memandanginya, lelaki yang kini duduk di sampingku dan fokus pada kemudi, tidak ada yang berubah pada dirinya. Dua tahun lalu terakhir aku melihatnya ataupun 8 tahun lalu saat pertama melihatnya, hanya saja dia memang terlihat lebih dewasa dan egois, apa mungkin perjalanan hidupnya membuat dia seperti itu? aku tidak tahu, Atha tidak pernah menceritakan detail kehidupannya meski pertemuan kami di awali dengan hal yang sangat ekstrem.Hari itu …Langit nampak gelap dan mungkin akan segera turun hujan, aku baru saja lulus kuliah dan diterima bekerja di perusahaan Pengolahan Bahan Mentah sebagai staf gudang, salah satu perusahaan adikuasa di Indonesia yaitu Wijaya Group.Banyaknya pekerjaan hari itu membuatku sangat penat, hingga aku memutuskan untuk mencari udara segar berbekal cemilan menuju lantai atas, di sana aku akan merasa begitu dekat dengan Tuhan dan menjadi orang yang paling tinggi di antara yang lainnya. Saat kaki melangkah keluar hati sedikit syok karena ada seorang
Pov IrawanIrawan~Tubuhku mematung, kaku dan kering, apa semua ini, mimpikah? kenapa orang-orang berbalik mencibirku sekarang?“Irawan, kamu sudah melakukan hal yang memalukan, di mana sopan santunmu kepada atasan, Pak Atha adalah anak kedua dari pemilik perusahaan ini!” sentak Pak Haidar membangunkanku dari mimpi buruk pada kenyataan yang lebih buruk, “sebagai hukumannya kamu dan teman-teman tidak beretikamu ini saya hukum menjadi petugas cleaning selama sebulan!” mataku melotot bagai di sambar petir, “kalau kalian masih berbuat ulah setelah ini, saya tidak segan memecat kalian dan menandainya sebagai karyawan yang dipecat secara tidak hormat, agar tidak ada perusahaan besar yang akan mempekerjakan kalian lagi!” ucapnya dengan lantang hingga memenuhi semua ruangan, “lakukan hukumanmu dari sekarang!” sentaknya lagi, lalu berlalu dengan wajah muram.Ini benar-benar kenyataan yang lebih buruk dari mimpi, bagaimana mungkin anak berandal itu adalah anak kedua dari salah satu pengusaha t
"Aku harus pulang dan balik ke kantor lagi, ada sesuatu yang belum selesai,” ucap Atha ketika sampai di halaman rumahku.“Ok,” aku pun turun dan melambaikan tangan, Atha terlihat tersenyum dari balik cermin spion.Kunci pintu rumah sudah diganti menggunakan kunci digital, “Yaelah kapan ni bocah ganti kuncinya? pinnya apa lagi?” aku berpikir sebentar sebelum menghubungi Atha, mencoba memasukkan nomer pin rumah miliknya dan ternyata terbuka, “Apa-apaan ni anak, kode pinnya pake di samai segala,” gerutuku sambil geleng-geleng kepala, melenggang masuk.Aku menyandarkan tubuh di sofa dan menyimpan belanjaan kosmetik di atas meja, "Bisa-bisanya anak itu diam-diam orang kaya, haduuuh! tau gitu aku nggak mau dibeliin make up, sekalian minta mobil mewah," sesalku, berdiri dan berjalan menuju meja makan untuk mengambil air minum.Kedua alisku mengerut saat melihat amplop surat yang aku sobek kemarin, ternyata sudah rapih kembali, sedikit terkejut dapat melihatnya lagi, aku meraihnya pelan.Ampl
Sepanjang perjalanan aku gelisah, sosok wajah Atha terbayang-bayang, ada apa dengannya hingga ia tidak bisa lagi mengangkat panggilanku?Sampai di depan rumah aku langsung berlari, mobil Atha sudah terparkir di halaman, “Mbak, ongkosnya belum?” teriak sopir taksi.“Astagfirullah, maaf Pak,” aku segera kembali dan mengeluarkan beberapa lembar uang, “kembaliannya Mbak?” teriaknya lagi, “Ambil saja Pak.”Di dalam rumah aku celingukan, dimana anak itu, berlari ke ruang tamu tidak ada, ruang makan sampai kamar pun tidak ada, apakah mungkin dia ada di lantai atas? aku pun segera menaiki tangga ke atas tapi tetap saja tidak ada.“Di mana kamu Tha?” aku meronggoh ponsel dan memanggil nomornya, ponselnya berdering nyaring di ruangan tengah, “tadi sudah kucek tidak ada Atha?” tanyaku dalam hati.Aku mengendap-endap mendengar bunyi ponsel itu, sebuah kaki menjulur di balik kursi, “Astagfirulllah Atha!” aku segera menghambur, dan membalikkan tubuhnya yang telungkup.Wajah Atha pucat dengan luka l
'Kriiiing …, kriiiiing …, kriiiing ….’‘Slup’Tanganku meraba jam beker yang terus berbunyi di atas nakas kecil di samping tempat tidur.“Kiran …,” lamat-lamat aku mendengar suara seperti mimpi memanggil.“Lima menit lagi,” jawabku malas.“Kiran, kamu nggak shalat subuh? ini sudah mau pukul 06.00,” suara itu lebih jelas terdengar, tapi tetap seperti sayup-sayup mimpi, suaranya lembut dan hangat.“Ah, mana mungkin jam beker baru saja berbunyi, aku menyetelnya jam 04.30, kamu jangan berbohong,” jawabku nyengir dengan mata masih sulit terbuka.“Iya, kamu nyetelnya jam segitu, tapi tiap 5 menit kamu tunda,” sekarang sudah jam 06.00," ucapnya lagi.“Mana mungkin?” aku meraba jam yang sudah dimasukkan ke dalam bawah bantal. Sekuat tenaga membuka mata yang berat agar terbuka, mungkin karena semalam aku sulit tidur dan kepikiran Atha terus.Mata terbuka perlahan, remang-remang kulihat jam sudah menunjukkan pukul 06.05, “Astagfirullah,” sontak aku mendorong lelaki yang sedang duduk di samping
Aku dan Ihsan masih memandangi mereka di balik pintu kaca, samar-samar saja suara itu terdengar, hanya terlihat ekspresi wajah meledak-ledak saat Renata memperlihatkan kemarahannya.“San ….”“Iya Bu ….”“Pura-pura lewat sana yuk …,” ajakku antusias. Ihsan yang sepertinya sudah tahu masalahku sebelumnya bersama mereka, mengangguk setuju.Kami berjalan keluar dan pura-pura membincangkan sesuatu, sampai aku mendengar Renata berkata cukup keras, dan kami memutuskan untuk berhenti dan melihat.“Mana mungkin lelaki ini tunanganku, apalagi sampai menikah, ih najis!” Renata membuang wajahnya ke arah lain, sedangkan Mas Irawan hanya menunduk, taring yang biasanya ia gunakan, kini sudah tumpul dan tak mampu lagi menggigit, walaupun hanya sekedar menggigit kerupuk model Renata.“Nggak usah gitu kali Ren, kalau beneran tunanganmu ya akui saja,” timpal salah satu temannya.“Hih! mana mungkin sih, kalian halu dech, tunangan aku memang ada di kantor ini, tapi manager pemasaran bukan tukang cleanin
Wajah itu kulihat begitu dingin dan kaku, tak sedikit pun ia menengok, matanya fokus pada kemudi, tapi aku yakin perasaannya sangat gelisah.Atha menyetir mobilnya dengan cepat, melesat memecah padatnya jalanan, tanganku berpegangan kuat pada gagang atas pintu."Tha ..., suaraku bergetar melihat ia mengemudi seperti hilang kendali, seolah jiwanya tak ada di sini, tak sedikit pun Atha melihat ataupun mendengar getar ketakutanku."Awww!" aku menjerit histeris saat mobil kami menyelip truk besar yang sama-sama melaju kencang.'Ssssrrrrttt'Atha membanting mobilnya di tanah luas, hingga wajahku mengeduk ke depan.Jantungku berdegup tak karuan, napas Atha pun terdengar berhembus kasar, keringat terlihat merembes di dahinya, tangannya mencengkram keras stir mobil."Tha ...," aku mencoba menggapai pundaknya.Tak kusangka Atha berbalik dengan cepat hingga membuatku terkesiap."Jauhi dia!" bentaknya kasar.Aku menelan ludah, mataku membulat, mencoba tetap tenang, meski sebenarnya hati kalang k