"Apa yang kau pikirkan?" Aku mengangkat kepalaku, lalu berguling ke samping untuk melihat lebih jelas pacarku yang tampan. Kami telah berpelukan selama hampir satu jam, masih telanjang karena seks kilat setelah kuliah yang impulsif.
Saat ini, dia berbaring di sampingku, lengan terlipat di belakang di bawah kepalanya, menatap langit-langit. “Banyak hal.” Dia memberitahuku.
"Hal-hal menyenangkan? Ceritakan beberapa kepadaku,” pintaku.
“Seperti … aku harap kau masih mencintaiku.”
Jawaban itu membuatku tersenyum, lalu aku memberinya pelukan. “Aku masih sangat mencintaimu.”
“Sebenarnya aku tidak bermaksud menyampaikannya sekarang,” katanya, termenung. “Tapi kita jarang mendapatkan kesempatan untuk membahas banyak hal yang harus dibicarakan ‘orang normal’ sebelum hubungan mereka menjadi lebih serius.”
“Baiklah, mari kita berbicara seperti orang normal.”
"Aku tidak ingin p
Kali ini ketika Adib mengatakan dia akan pergi ke rumah Aris, itu membuatku gugup. Aris adalah ... entah, aku juga belum pernah bertemu dengannya, tetapi Adib sering pergi mengunjunginya. Mengetahui bahwa Aris mencoba meyakinkan Adib melakukan hal bodoh di belakang Aqmal, aku kehilangan antusiasme tentang dia. Jika dia ingin dirinya terbunuh, itu masalahnya, tetapi aku tidak ingin dia menyeret Adib ke dalamnya.Menciumku lalu mengucapkan selamat tinggal di pintu depan, Adib berjanji padaku, "Semuanya baik-baik saja, jangan khawatir."Aku ingin memberitahunya lagi untuk tidak melakukannya, tetapi ruang kerja Aqmal terbuka dan aku tidak tahu apakah dia ada di dalam? Itu cukup jauh sehingga kecil kemungkinan dia akan mendengarku, tetapi tidak ada yang tahu (Aqmal Bramantyo sialan yang serba tahu).Begitu Adib pergi, saat aku akan berjalan melewati ruangan kerja Aqmal, dia memanggil, "Irina."Aku menahan tangan di kusen
Setelah menderita sepanjang malam karena bingung apa yang harus kukatakan pada Adib tentang kejadian di ruang kerja Aqmal , aku hampir menyerah menunggunya, dan aku benar-benar ngantuk. Besok aku harus kuliah, jadi aku ragu dia akan membangunkanku begitu dia pulang, jadi aku harus berbicara dengannya di pagi hari saat perjalanan ke kampus. Itu pun jika aku siap berbicara dengannya. Aku masih belum menemukan kata-kata yang tepat untuk menceritakan apa yang terjadi di ruang kerja Aqmal.Namun ternyata dia membangunkanku saat dia pulang. Aku sedang tertidur sangat pulas, sampai meneteskan air liur di bantalku, dan sekonyong-konyong aku terbangun karena tangannya menjelajah sekujur tubuhku.Aku sedikit lega mengetahui dia masih ingin meniduriku, Andika mungkin belum mengadu.Dan persetan denganku, dia melakukannya. Aku mendapatkan orgasme lain yang menghancurkan bumi, bangkit dari bagian terdalam dari diriku, orgasme yang membuatku lema
Aku merasa kesal keesokan paginya. Kesal karena kebodohanku sendiri dan fakta bahwa Adib tidak pernah kembali ke kamar tidur tadi malam.Aku tidak tahu di mana dia dan apa alasannya, tetapi mau bagaimanapun, itu tidak baik, seharusnya dia kembali ke kamar. Aku melakukan apa yang aku bisa untuk menenangkan pikiranku sendiri: memeriksa siklus menstruasiku, melihat apakah ada kemungkinan bisa hamil, tetapi sialnya aku lupa mencatat menstruasi terakhirku dan aku tidak ingat ketika melihat kalender. Aku yakin tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari satu kesalahan, tetapi aku akan merasa lebih baik jika dapat memastikan kalau benar-benar tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“Kau terlihat sedang memikirkan sesuatu yang buruk,” kata Aqmal yang melangkah mendekati meja makan.Aku meliriknya, menggigit bibir bawahku dengan ragu. Aku kira aku bisa meminta bantuannya. Bagaimanapun, dia adalah kepala keluarga, kan?"Agak. Um, apa
Aku tidak berdaya saat Aqmal mendorongku masuk ke kamar tidurnya. Aku mencoba melepaskan diri dengan mendorongnya, tetapi dia terlalu kuat dan energiku sudah habis bahkan sebelum bertemu dengannya. Ketika dia mendorongku ke tempat tidurnya, aku mencoba untuk merangkak pergi, tetapi dia lebih cepat daripada aku.Di atas tempat tidur dia menekan kedua lenganku ke atas bantal empuk dan mengangkangi tubuhku. Matanya bersinar seperti singa yang hendak memakan kijang, seperti dia menang. Aku ingin bertanya kepadanya; apakah lega rasanya tidak harus berpura-pura baik lagi?"Lepaskan aku," ucapku sambil menangis."Oh, tentu tidak. Justru ini bagian yang menyenangkannya.” Dia memberitahuku, membungkuk untuk mencium leherku. “Tahukah kau betapa sulitnya untuk tidak berbicara saat aku menidurimu, Irina? Itu seperti penyiksaan. ""Berhenti mengatakan itu. Itu bukan seks! Itu pemerkosaan!"Sambil memutar m
Aku tidak tahu harus pergi ke mana setelah Aqmal selesai denganku.Dia turun dari tempat tidur, membersihkan dirinya, lalu berpakaian. Aku tidak bergerak. Kengerian telah menelanku. Aku tidak tahu ke mana akan pergi setelah ini.Apa yang akan terjadi padaku?Apakah aku harus kembali ke kamar Adib?Seperti kata Aqmal sebelumnya; apakah Adib benar-benar sudah tahu apa yang sudah terjadi? Apa yang diketahui Adib?Ya Tuhan. Adib.Menelan gumpalan di tenggorokanku, aku mencoba untuk mematikan perasaan takutku. Aku tidak bisa memproses semuanya sekarang, yang aku butuh sekarang … ketiadaan.Setelah selesai, Aqmal terlihat sebagus yang dia lakukan di meja makan saat sarapan, semuanya, dia mengenakan setelan mahalnya. Tidak ada yang bisa tahu ada monster di dalam dirinya. Monster yang sangat kejam dan bengis dan berengsek. Rambutnya sedikit lebih berantakan daripada t
Aku tidak bangun dari tempat tidur untuk melakukan lebih dari mandi atau buang air kecil sampai hari Minggu, bahkan aku tidak keluar kamar. Aqmal menyuruhku sarapan, meskipun itu membuatku mual, dan aku akan tinggal di sini lebih lama dalam cangkang kecilku yang mati, hanya saja dia tidak mengizinkanku.Menggantungkan tas pakaian baru di kaki tempat tidur, dia berkata, "Waktunya bangun.""Untuk apa?"“Ini hari makan malam keluarga. Kau wajib ikut.”"Aku harus ikut?”Dia hanya tersenyum.Sesungguhnya aku tidak siap untuk neraka ini, tetapi aku memaksa diri untuk mandi dan berpakaian. Baju baru itu berwarna putih dan tanpa lengan, berleher tinggi, dan agak ketat. Menatap diriku di cermin kamar mandi Aqmal, aku mempertimbangkan ironi bahwa dia mendandaniku dengan pakaian putih sekarang karena aku telah dinodai hingga tidak bisa dibersihkan lagi.Untuk sepatu, dia memba
Adib memelukku selama sisa malam itu. Aku berpikir seseorang akan datang memanggilku atas perintah Aqmal—setidaknya salah satu dari dari orang-orang Bramantyo yang dekat denganku—semalam, tetapi itu tidak terjadi. Aku tertidur beberapa saat sebelum matahari terbit, dan aku masih kelelahan saat mendengar alarm di ponsel Adib berdering.Aku menunggu dia mematikannya, tetapi setelah satu menit, aku berguling dan melihat dia tidak ada di sana. Aku meraih untuk mematikan benda sialan itu dari diriku, menggosok pelipisku saat kepalaku berdenyut. Ini akan menjadi hari yang melelahkan lagi.Putri membawakanku sarapan, yang biasanya tidak dilakukannya, jadi kurasa salah satu dari Adib atau Aqmal pasti menyuruhnya. Aku tidak tanya yang mana. Aku tidak peduli.Aku tidak mencari siapa pun untuk mengantarkanku ke kampus. Ada cukup waktu untuk berjalan dan aku bisa merasakan udara segar.Jarakku dengan kampus mungkin sudah seteng
Walau aku sudah keluar dari kamar Aqmal dan kembali ke kamar Adib, aku tetap tidak bisa merasa aman selama berada di rumah. Aku masih memikirkan kemungkinan adanya kamera tersembunyi sepanjang waktu, karena tidak ada yang terlihat di kamar Adib, yang berarti ada yang tersembunyi. Adib tidak menyentuhku lagi, dia memberiku waktu agar menyembuhkan memar yang ditinggalkan Aqmal di tubuhku.Hari-hariku cukup aman, aku pergi ke kampus, toko roti, dan bersembunyi di kamar Adib. Aku tidak bertemu Aqmal sampai hari ini, saat makan malam di Rabu malam.Asih datang untuk memberitahu Aqmal ingin menemuiku di ruang kerjanya sebelum makan malam. Dia membawa tas pakaian, tetapi aku tidak membukanya.“Bagaimana jika aku tidak ingin bertemu denganya?” Aku bertanya. Aku tidak tahu akan seperti apa reaksinya ketika bertemu lagi denganku setelah beberapa hari, dan entah apa yang ingin dia bicarakan hingga memanggilku ke ruang kerjanya. Aku benar-benar