“Tadi saat sedang menuju kampus, aku melihat pacarmu sedang berbicara dengan cewek lain. Mereka terlihat akrab.”
Aku mendongak saat Rini meletakkan piringnya di atas meja kantin. “Maksudnya?”
“Maksudku, Adib.” Dia meminum Teh Botol. “Aku melihatnya tadi, ya ... hanya ingin memberitahumu saja,” katanya kemudian.
“Cewek lain ... siapa?” tanyaku sambil mengernyit.
“Entah, aku tidak mengenalnya. Tapi dia cantik, seperti artis FTV.” Lalu dengan lagak kasihan yang dramatis, dia berkata, “Aku ikut perihatin. Semoga kau lekas mendapatkan pria lain yang bisa kau ajak ke pestaku.”
Aku memutar bola mata dan melanjutkan menyantap makananku—mie ayam sepuluh ribu. Rini bicara lagi—dengan sinis yang sudah pasti—dan masih tentang Adib yang dia lihat sedang berbicara dengan cewek yang entah siapa.
Lama-lama aku bosan juga mendengar ocehannya. Jadi aku celingak-celinguk menatap kant
Aku sedang dalam perjalan menuju kampus, dan kali ini aku yang melihat Adib sedang bersama Artis FTV. Kulitnya terlihat lebih gelap dari Adib—Jawa? Aku tidak bisa menebaknya dari jarakku sekarang, tetapi aku tahu dia cantik ... dan sedang tertawa sambil memukul pelan tangan Adib. Adib balas tersenyum, lalu mereka berjalan memasuki kampus.Apa yang aku lihat membuat kakiku tidak bisa digerakkan. Pikiranku meminta untuk mengikuti mereka, mendekat, dan pura-pura menyapa. Wanita itu mungkin hanya temannya, dan tidak ada yang aneh, kan, kalau Adib mengajaknya ke kampus untuk memperkenalkannya kepadaku?Tapi tubuhku sepertinya tidak menyukai kemungkinan itu. Kakiku tetap sulit digerakkan, pandanganku menatap gerbang yang baru saja mereka lewati, berdua. Hari ini mungkin aku tidak akan melihat Adib di kampus sampai kelas bahasa Inggris, dan semua itu membuatku merasa tidak nyaman.Aku lega saat Adib memasuki kelas sebelum bel, tetapi
Adel mengemudi selama hampir dua puluh menit dari kampus sampai toko kue milik Mutiara. Dia diam saja selama di perjalanan. Hal itu membuatku gugup. Namun ketika mobilnya berhenti dan kami melangkah menuju toko kue bercat hijau ..."Ini dia!" katanya ceria. Aku jadi tidak bisa menebak seperti apa dia sebenarnya, dan aku tidak bisa berhenti memikirkan siapa Adel: wanita yang diizinkan Adib mengenal semua orang yang tidak boleh aku kenal.Bel mungil emas yang tergantung di pintu berdentang saat Adel membukanya dan melangkah ke dalam. Seorang wanita berambut hitam, mungkin berusia akhir dua puluhan, mendongak dan tersenyum. Dari tatapannya, jelas dia mengenal Adel.“Kue Oreo?” tanya wanita itu yang aku tebak dia adalah Mutiara.“Wah! Siapa kau sebenarnya? Peramal? Kenapa kau tahu apa yang aku inginkan?” canda Adel, dan kedua wanita itu tertawa. Lalu dia merangkulku seperti seorang sahabat. “Ini temanku. Aku tidak tahu
Rini benar-benar mengadakan ‘Pesta Amerikanya’, dan aku tidak pergi, walau tadi dia memaksaku untuk datang.Sebaliknya, aku justru pergi ke bioskop bersama Adib. Ibuku tidak senang, karena sebelumnya dia mengharapkanku menjaga adik-adikku di rumah, jadi ... ya, dia harus membawa adik-adikku ke acara makan malamnya bersama Om Anton. Itu berarti ... untuk beberapa waktu, malam ini rumahku kosong. Dan aku memutuskan setelah selesai nonton, aku mengajak Adib untuk ke rumahku.Adib berdiri dengan sabar saat aku mengambil kunci rumah dari dalam tas dan menggemerincingkan kunci itu setelah mengeluarkannya. “Aku beritahu; ini yang disebut kunci. Benda ini yang harus kau pakai saat ingin memasuki rumah.”Dia tersenyum geli, melangkah ke belakangku dan melingkarkan lengan di pinggangku. Aku merinding saat bibirnya menyentuh tengkukku. Hal itu membuatku membuka pintu dengan cepat, melangkah terburu-buru, dan tersandung keset. Untun
Biasanya aku sangat membenci hari Senin, tetapi saat aku berdiri di depan pagar Sekolah Dasar—dipenuhi orang tua murid menunggu anak-anak mereka, aku berharap Ando masuk ke kelas sehingga aku bisa bergegas ke toko roti untuk hari pertamaku bekerja.Aku memutuskan untuk bolos kuliah hari ini. Pekerjaan ini membuatku menjadi sangat bersemangat. Aku sudah membicarakan ke Adib tentang ini kemarin, dan dia memperbolehkannya. Lagian, aku tidak ingin melihat wajah Rini. Temanku itu pasti marah karena aku tidak datang ke Pesta Amerikanya.Aku tidak bisa menahan senyum, bertanya-tanya akan seperti apa nanti. Ini adalah pekerjaan pertamaku, dan aku juga mendapatkan kesempatan untuk menjalin hubungan baik dengan salah satu saudara Adib—Mutiara.Saat Ando sudah memasuki kelasnya, aku memutar tubuh dan hampir menabrak seorang pria yang sejak tadi—sepertinya—berdiri di belakangku.“Oh, maaf,” katanya—padahal aku yang sala
Perasaan cemas bercampur lega menarikku dari arah yang berbeda ketika aku melihat Adib keluar dari mobilnya dan membanting pintu. Sambil menatapku lekat-lekat, dia melangkah ke arahku, ekspresi cemas terlukis jelas di wajah tampannya.“Na, ada apa?” tanyanya ketika berada di depanku.Aku belum mengatakan apa pun di telepon karena takut seseorang akan mendengar percakapan kami.“Aku bertemu dengan seorang pria saat mengantar Ando ke sekolah, hari ini.”Adib mengernyit. “Seorang pria?”“Ya, dia mengaku sebagai detektif swasta. Sepertinya beberapa hari ini dia mengawasiku, maksudku ... kita.”Wajah Adib menjadi pucat, dan kecemasanku berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap. “Sepertinya dia bukan—bukan suruhan Aqmal atau sesorang dari keluargamu.”“Kau yakin? Kalau aku jadi kau, aku akan memikirkan kemungkinan kalau dia suruhan Aqmal.”Aku menunduk, la
Sekarang, semuanya sudah selesai. Aku harus pulang, berbaring di tempat tidur, mendengarkan lagu-lagu sedih, dan mengurung diri sepanjang hari di dalam kamar untuk merayakan rasa sakit hati ini.Ya, mungkin itu yang akan orang lain lakukan. Tapi aku? Tidak. Aku pergi ke toko kue setelah menenangkan diri beberapa saat setelah Adib pergi.Mutiara tersenyum ketika mendengar suara bel pintu, tetapi senyumnya lenyap ketika dia melihatku. Tentu saja karena wajah murungku dan, ya, aku cukup lama menangis tadi.“Irina,” panggilnya. “Kau baik-baik saja?”“Kenapa kau harus melakukan itu?” tanyaku serampangan. Ini seperti menuduh, tetapi aku butuh sesuatu untuk melampiaskan kesengsaraanku. “Jika kau tidak ingin memperkerjakanku sejak awal, lebih baik tidak usah lakukan itu.”Mutiara menghela napas, menoleh ke belakang, memastikan tidak ada orang yang mendengar apa yang dia akan ucapkan. “Aku tidak
Keesokan harinya perasaanku tidak menjadi lebih baik. Adib masuk ke dalam kelas dan memilih duduk di kursi milik Riko (entah kenapa dia selalu memilih mengambil kursi milik Riko), dan ketika Riko—yang bingung—memasuki kelas, dia duduk di sebelahku.Setelah pulang kuliah, aku menjemput Edit di rumah nenekku, lalu pergi ke sekolah Ando. Di sana pandanganku terus menyapu sekitar untuk mencari detektif itu. Tapi dia tidak ada.Begitu aku sudah mendapatkan keduanya dan sedang dalam perjalanan—dengan Grab tentu saja—aku menyadari bahwa aku lupa memasak. Aku tahu ini kurang bijaksana untuk keuanganku, tapi aku pikir sekali-kali tidak apa deh; aku menggunakan gajiku untuk beli pizza di tempat Adib pernah mengajakku bolos.Aku harus memberikan semua toping pizza ke Ando yang walau sudah kuberikan semua dia masih mengeluh karena merasa kurang—aku bahkan tidak memakan topingnya sama sekali. Dan di tempat ini, rasa rindu terhadap Adib tib
Rasanya seperti tidak nyata.Aku sudah sering mendengar nama Monster itu dari orang-orang terdekat Adib yang menceritakan ancaman yang dia berikan, sehingga aku tidak bisa membayangkan jika aku akan melihat langsung sosok Aqmal Bramantyo yang legendaris.Ada mobil berhenti sekitar tiga rumah dari mobil yang di mana aku dan Adel berada di dalamnya. Tubuh Adel menyusut seolah dia ingin bersemnunyi di kursi yang dia duduki saat tepukan lembut langkah kaki di sepanjang jalan mendekati kami. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ketika orang itu sudah sampai kepada kami, dan aku takut untuk mengetahuinya.Adel mencengkeram ponselnya, semakin tenggelam di balik lindungan kursi mobil.Pria itu berhenti di belakang mobil, dan selama beberapa detik, aku rasa tidak ada yang berani bernapas.“Pulanglah, Adel.”Suaranya yang mengalir dari pintu pengemudi yang sedikit terbuka mengirimkan rasa tak