"Lihat Ayah mu? Apa ada perubahan dalam hidupnya? Ngga ada, kan?"
"Itu karena Ayah sambil main perempuan, Bu," jawab Indah.
"Nah, itulah salah satu dampaknya. Uang yang didapat dari hasil judi itu panas. Makanya agama kita melarang judi dan minum-minuman keras."
"Ibu kok kuat dan masih bertahan hidup dengan ayah yang total?"
"Total? Maksudnya?"
"Iya, total main perempuan, total judi, total mabuk-mabukan belum lagi ringan tangan." Indah menekan suaranya.
"Itu sudah takdir Ibu, Nak. Yang penting nasibmu tidak seperti ibu."
"Andai dulu Ibu tak dibutakan oleh cinta mungkin kamu tak ikut susah. Jika suatu saat kamu dipertemukan lagi dengan laki-laki, yang harus kamu lihat adalah sholatnya karena itu akan menjadi pondasi dalam rumah tanggamu." Bu Aminah menatap Indah dan melanjutkan kembali obrolannya.
"Ibu semakin miris melihat kehidupan zaman sekarang. Tuh lihat keluarga Pak Kusnendar."
"Memangnya ada apa dengan keluarga Pak Kusnendar? Bukanya dia orang terkaya di kampung kita, Bu?"
"Sekarang mereka sudah bangkrut. Kasihan istrinya sampe masuk rumah sakit jiwa?"
"Astagfirullah! Indah, kok, baru dengar, Bu?"
"Lihat saja rumah sama mobilnya sudah disita Bank. Yaa, gara-gara Pak Kusnendar terlibat judi online yang tadi ibu bahas."
"Astaghfirullah ... Indah kira judi online itu cuman permainan biasa."
"Judi kan salah satu perangkap setan. Awalnya sedikit. Menang, terus ketagihan eh ujung-ujungnya kecanduan."
"Betul juga, Bu, macam Bapak itu."
"Makanya, Ibu khawatir. Akhir-akhir ini bapakmu main handphone terus. Di tambah sekarang menghilang."
"Udah, ah, Indah mau mandi dulu. Nanti sehabis sarapan kita jalan-jalan." Indah berdiri sambil melilitkan handuk pada lehernya.
"Mau jalan-jalan ke mana?" Bu Aminah menatap anaknya yang menuju kamar mandi.
"Hari ini Indah kan mau jual sapi sama kambing. Habis itu kita jalan-jalan sama belanja sekalian ke salon!"
Walau suara indah tenggelam begitu masuk kamar mandi tapi Bu Aminah masih bisa mendengar jelas ucapan anaknya. Sambil terus melanjutkan masak, wanita berusia 45 tahun itu geleng-geleng kepala.
***
"Masyaallah ... Ibu cantik sekali!" seru Indah menatap ibunya yang terlihat pangling.
"Ahh, kamu bisa saja. Ibu malu. apa pantas umur Ibu yang sudah ngga muda lagi ini rambutnya dipotong model begini?" Bu Aminah menatap pantulan wajahnya lewat cermin.
"Iihhh, sis Ami ini sangat cucok dengan potongan rambut seperti ini. Eyke aja pangling!" puji pegawai salon.
"Nanti ayahmu marah kalau lihat Ibu berpenampilan seperti ini?" Wajah Bu Aminah mendadak sedih.
"Tenang saja, mulai saat ini ngga ada lagi orang yang bisa marahin Ibu. Pokoknya Ibu harus bahagia." Indah memeluk ibunya dari belakang kursi salon. Terlihat dari pantulan cermin kalau wajah keduanya kini seperti kakak beradik.
"Habis ini kita makan-makan, ya, Bu. Terus kita ke toko perhiasan." Indah mengapit lengan ibunya keluar dari salon.
"Tapi, Nak, nanti uang kamu habis. Tadi kita sudah belanja sembako dan pakaian. Uangmu kan buat modal usaha."
"Sekali-kali, Bu. Kata pak Ustad, kalau kita memberi pada orang tua dan yang diberi bahagia maka Allah akan menambah rezeki kita berlipat. Lagi pula yang hasil penjualan dua sapi dan tiga kambing masih banyak. Pokoknya hari ini aku ingin lihat Ibu bahagia." Indah merengkuh bahu ibunya.
Hari itu, Indah benar-benar memanjakan ibunya. Dari makanan, pakaian bahkan perhiasan. Ia berjanji akan selalu membuat wanita yang bertahun-tahun menderita lahir dan batin itu selalu tersenyum. Walau di balik semua ini ada dosa besar yang harus ia tanggung.
Indah bangga memiliki Ibu secantik Bu Aminah. Hanya saja ia bersuamikan pria yang tidak tepat. Bukan dijadikan ratu tapi malah dijadikan babu.
Orang tua almarhum suami Faiz menyerahkan semua harta milik anaknya pada Indah. Termasuk rumah yang sekarang ditinggali. Begitu juga dengan dua sapi dan tiga kambing. Mereka senang melihat menantunya sekarang terlihat lebih bersemangat.
Indah bersyukur memiliki mertua yang begitu baik dan perduli padanya. Walau mereka termasuk keluarga berada tapi tidak pernah membeda-bedakan.
"Ayah sama Ibu tidak akan ikut campur dengan hasil penjualan sapi dan kambing. Yang penting dipergunakan dengan baik," ucap pak haji Tajudin.
"Iya, Nak. Ibu ngga tega melihatmu setiap hari mencari rumput. Rumahmu kan pinggir jalan raya. Sangat strategis. Pekarangan yang luas bisa di bangun kedai. Kamu bisa mengajak ibumu juga. Bukan begitu, Pak?"
"Iya, Bu. Satu lagi pesan Bapak, jangan pernah tinggal Sholat yang lima waktu sesibuk apapun dan selalu tutup aurat. Selain wajib, menutup aurat juga bisa menghindarkan pandangan dari orang-orang yang bisa menimbulkan fitnah. Apa lagi kamu wanita yang tak bersuami. Kalau bukan kamu yang menjaga diri siapa lagi. Bapak percaya sama kamu."
"Setiap hari usahakan bersedekah, ya, Nak. Agar usahamu lancar. Tak perlu banyak yang penting kamu ikhlas. Ibu juga tak akan menghalangi bila suatu saat ada pria yang datang. Asal dia pria baik."
Indah yang sejak tadi menahan haru akhirnya tak bisa membendung air mata. Ia menagis sesegukkan di pelukkan Bu Ambar. Andai mereka tahu kalau menatunya itu pembunuh berdarah dingin apa mereka masih mau menerima?
***
"Heh! Kemana kalian sembunyikan Kang Danang?"
Indah yang sedang menyiapkan daging untuk membuat sate dikagetkan oleh suara cempreng wanita yang langsung menerobos ke dapur.
"Siapa yang menyembunyikan suami Ceu Lilis. Sana geledah atau lihat ke rumah Ibu. Paling juga Ayah kawin lagi." Indah malah membuat istri muda ayahnya semakin terbakar api amarah.
"Terus kami punya uang dari mana bisa buka usaha sate segala? Pasti uang dari Kang Danang?"
"Ibuku tiriku sayang, kalau ngomong jangan seenak jidat. Bukannya uang Ayah sudah habis oleh istri mudanya yang matre ini?"
"Heh, anak ingusan. Sekali lagi kamu bilang aku matre, tamat sudah riwayatmu!" Lilis mengambil pisau yang biasa digunakan untuk memotong daging dari atas meja dan mengarahkan ke leher Indah.
"Owww, sabar, sabar. Dua juta, tiga juta atau lima juta. Nanti aku kasih. Tapi bukan uang Ayah. Ini uang hasil penjualan sapi. Sekarang tolong letakan pisau itu." Indah bicara dengan nada lembut.
Mendengar nominal uang yang disebutkan Indah jelas tekanan darah Lilis langsung turun. Bibirnya yang dipoles lipstik merah menyala itu tersenyum. Apa lagi setelah melihat anak tirinya menyodorkan amplop berwana coklat.
"Terima kasih Ceu Lilis, dengan sidik jari ini permainan akan lebih seru," batin Indah menatap pisau yang tadi di pegang Lilis.
BERSAMBUNG
"Nak, kenapa setiap kamu bikin sate buat Bu Lilis, dagingnya harus yang di dalam freezer?" Bu Aminah menatap Indah yang sedang meracik daging sate untuk istri muda ayahnya. "Sengaja, Bu. Daging sate untuk Ceu Lilis aku pisahkan. Ibu tahu sendiri dia itu bawel. Indah sengaja pilih dading yang empuk. Pokoknya spesial.""Ibu di depan saja, jangan cape-cape. Biar para pegawai yang ngerjain ini semua. Ibu tinggal duduk manis sambil berdoa, semoga kedai sate Indah semakin ramai pembeli." Indah menatap ibunya yang kini terlihat lebih muda."Setiap sujud, Ibu selalu berdoa agar semua cita-citamu tercapai." Bu Aminah balik menatap putrinya yang kini memakai hijab panjang."Teh, di depan kewalahan. Hari ini banyak sekali pembeli. Kasihan yang sudah antri berjam-jam," ucap seorang pegawai Indah."Ya, sudah. Biar saya bantu di depan." Indah bergegas ke depan.Indah sangat bersyukur, walau baru seminggu berjualan. Kedai satenya mulai banyak pembeli. Ada yang makan di tempat ada juga yang dibaw
Psikopat, sebutan orang yang tega menghabisi nyawa manusia seperti Indah apa lagi yang jadi korban ayahnya sendiri.Sadis, entah di mana hati wanita yang terlihat lugu ini saat tangannya memotong-motong tubuh ayah kandunya dan memasaknya dengan berbagai olahan untuk istri muda ayahnya.Indah selalu menjaga agar ibunya tak sampai makan daging yang ia masak khusus untuk Lilis. Bahkan Indah selalu mengunci kulkas tersebut dengan alasan daging mahal khusus untuk pesanan orang tertentu walau faktanya daging itu hanya di peruntukkan buat istri muda ayahnya.Seperti hari ini, Indah sengaja bikin sambal kentang goreng ati secara terpisah. Ia membuat dua macam sambal ati. Ati sapi biasa dan ati ayahnya. "Loh, kok, Ibu ngga boleh makan sambal kentang yang itu?" Bu Aminah menunjuk mangkok yang berisi sambal kentang. "Sambal yang buat Ceu Lilis pakai Pete. Ibu kan ngga suka makan Pete." Indah yang sedang memindahkan sambal kentang buat Lilis memberi penjelasan.Ini hari kesepuluh ayahnya mengh
Bu Aminah yang merasa sudah lebih baik mengajak Indah untuk segera ke kantor polisi. Walaupun Indah males, apalagi ia tahu ayahnya tidak akan pernah kembali dalam keadaan hidup. Tapi demi membuat ibunya tenang, ia tak punya pilihan lain. "Sebentar, ya, Bu, seperti ada orang yang mengucap salam." Indah bergegas untuk melihat siapa yang bertamu ke rumahnya."Maaf, Ibu mau bertemu dengan siapa, ya?" Tiga orang wanita yang sedang berdiri di teras rumah saling pandang satu sama lain. "Maaf apa ini masih rumah Kang Danang?" jawab wanita paruh baya yang mungkin usianya tak beda jauh dengan Bu Aminah."Betul, Bu. Tapi pak Danang sedang tidak ada di rumah." Indah memperhatikan wanita yang seperti pernah ia kenal."Saya ke sini ingin bertemu dengan Bu Aminah.""Siapa, Nak? Loh, kenapa tamunya ngga diajak masuk?" Bu Aminah berdiri di samping Indah yang belum sempat pempersilahkan tamunya masuk."Teteh!""Ayi Asih!"Indah melongo saat melihat ibunya sudah saling kenal. Seperti saudara atau
"Apa maksud Tante?" Indah menangkap kayu yang hampir mengenai tubuh Euis. Di depan Bu Aminah dan tiga tamunya, Indah dan Lilis saling tarik menarik kayu. Sampai pada satu kesempatan Indah berhasil merebut kayu di tangan Lilis. Wanita yang hanya mengenakan daster itu memegangi bokongnya saat jatuh ke lantai karena hilang keseimbangan. "Lilis, jangan bikin masalah di sini. Hargai tamu saya!" Bu Aminah membentak Lilis. "Kamu jangan ikut campur urusan saya dengan anak sialan ini!" Lilis mendelik ke arah Bu Aminah. "Jelas ini urusan saya, karena kamu bikin keributan di rumah saya!" Bu Aminah yang biasanya lemah lembut, hari ini tak bisa mengontrol suaranya. "Euis, ayo kita pulang!" Lilis berdiri, kembali tangannya berusaha menarik putrinya yang semakin ketakutan di belakang punggung Indah. "Sebentar, tadi Tante bilang kalau ..."Indah tidak meneruskan ucapannya. Reflex tangannya menyangga tubuh Euis yang hampir saja ambruk ke lantai. "Ya Allah, darah!" Indah yang memangku tubuh E
"Bu Indah tenang dulu. Kami akan melakukan yang terbaik buat saudari Euis." Bidan Ella mengangkat pundak Indah yang masih berlutut. "T-terima kasih, Dok. Kasihan anak ini, masa depannya masih panjang. Saya tidak perduli dengan apa yang telah menimpanya.""Satu lagi, Dok. Tolong jangan kasih izin siapapun selain saya yang menjaga Euis.""T-tapi ..." Bidan Ella menatap wajah Indah yang terlihat sangat kacau."Lihat, Dok, lihat! Bekas luka di tubuh anak malang itu. Hanya Ibu yang berhati binatang tega melakukan itu. Bahkan harimau sekalipun tak tega memakan anaknya sendiri." Indah menatap Euis yang terbaring dengan selang infus di tangan kiri dan selang kantong darah sebelah kanan."Itulah yang ingin saya tanyakan tadi. Selain menemukan luka di beberapa bagian tubuh saya juga melihat Euis mengalami trauma hebat. Beruntung cepat dibawa ke rumah sakit, telat sedikit saja," ucap Dokter Ella."Saya yakin penyebab Euis keguguran karena anak itu habis mendapatkan siksaan oleh ibunya. Dan buk
Indah menyisir hampir semua area kebun yang sengaja ditanami pohon pisang dan singkong. Namun hasilnya nihil. Sambil duduk di bawah saung penyimpanan kayu bakar, Indah mengusap peluh yang membasahi keningnya.Sekali lagi pandangan Indah tertuju pada bekas galian tanah. Indah terus berpikir dan menduga-duga kemana hilangnya bagian tubuh ayahnya yang dikubur sekitar dua minggu lalu. Rasanya tak mungkin digondol anjing atau binatang lain. Selain dalam bagian atasnya sengaja di tutupi bebatuan.Kesibukannya mengurus kedai sate membuat Indah tak pernah lagi ke belakang rumah. Ia benar-benar tak bisa memperkirakan kapan pelastik yang berisi kepala dan bagian tubuh ayahnya hilang. Indah merasa kepalanya berdenyut. Semalaman hampir tak memejamkan mata membuat rasa kantuk yang sangat berat. Dengan lesu Indah kembali ke dalam rumah. Memejamkan mata beberapa jam mungkin bisa membuat tubuhnya kembali vit.***"Ibu tenang dulu, ya." "Tapi, Nak, kalau apa yang dikatakan polisi itu benar? Bahwa A
"Sudahlah, Bu. Untuk apa terus menangisi Ayah!" Indah mencoba menghentikan tangis ibunya."Ibu heran, sepertinya kamu tak sedikitpun merasa sedih atas meninggalnya ayahmu?" "Ibu ingin tahu mengapa aku tidak sedih,? Tidak menangis? Pertama karena belum pasti apakah benar itu kepala Ayah atau kepala orang lain? Yang kedua, apa bedanya bagiku ada Ayah dan tak ada Ayah. Terus terang aku merasa lebih tenang seperti ini."Astaghfirullah, kamu ngomong apa. Ingat sejahat apapun dia adalah ayahmu!""Indah heran, terbuat dari apa hati ibu ini? Dari kecil Indah melihat Ibu selalu disiksa lahir batin. Sekarang setelah Ayah pergi begitu banyak masalah yang mencuat ke permukaan.""Terus Ibu harus bagaimana?" Bu Aminah terlihat frustasi. "Ibu cukup tenang dan buka mata hati ibu. Lihat Tante Asih dan keponakannya yang jadi korban ayah. Belum lagi nasib anak tiri Ayah dari istri-istrinya yang lain. Atau Euis yang sekarang berada di rumah sakit?'" "Maksudmu, Euis ...?" "Makanya tadi Indah menyuru
Bu Ajeng yang melihat kemarahan suaminya berusaha menjadi penengah. "Toling kendalikan emosi Ayah," ucap Bu Ajeng."Tidak, Bu. Ini sudah jadi keputusan Ayah yang tidak bisa lagi diganggu gugat sekalipun anak tak tau diri ini merangkak minta ampun.""Baik Ayah, Amie tidak akan minta hak apapun dari keluarga Wijaya. Cukup menikahkan Amie dengan Kang Danang!" Wajah Wijaya bersemu merah saat melihat putri kesayangannya saling menautkan jemari dengan pria yang sangat ia benci. Mata seorang ayah tak bisa di samarkan oleh penghalang apapun. Ia tahu betul seperti apa laki-laki yang sedang diperjuangkan oleh anaknya. Cinta memang buta, itulah yang sedang menutupi mata hati Amie Wijaya. Bukan tak beralasan Wijaya menolak pria yang akan menjadi menantunya. Tapi ia sudah lebih dulu tau banyak tentang sosok yang telah berhasil membius putrinya sampai tak mau lagi mendengarkan ia sebagai ayah yang telah membesar penuh cinta kasih.Selain pengangguran, Danang juga seorang pria plamboyan yang pi