Share

BAB 7

"Yang namanya judi itu ngga ada untungnya, Nak. Baik itu judi biasa atau judi online. Nama dan caranya saja yang berbeda tapi tetap tujuannya sama dan dampaknya juga sama."

"Lihat Ayah mu? Apa ada perubahan dalam hidupnya? Ngga ada, kan?"

"Itu karena Ayah sambil main perempuan, Bu," jawab Indah.

"Nah, itulah salah satu dampaknya. Uang yang didapat dari hasil judi itu panas. Makanya agama kita melarang judi dan minum-minuman keras."

"Ibu kok kuat dan masih bertahan hidup dengan ayah yang total?"

"Total? Maksudnya?"

"Iya, total main perempuan, total judi, total mabuk-mabukan belum lagi ringan tangan." Indah menekan suaranya.

"Itu sudah takdir Ibu, Nak. Yang penting nasibmu tidak seperti ibu."

"Andai dulu Ibu tak dibutakan oleh cinta mungkin kamu tak ikut susah. Jika suatu saat kamu dipertemukan lagi dengan laki-laki, yang harus kamu lihat adalah sholatnya karena itu akan menjadi pondasi dalam rumah tanggamu." Bu Aminah menatap Indah dan melanjutkan kembali obrolannya.

"Ibu semakin miris melihat kehidupan zaman sekarang. Tuh lihat keluarga Pak Kusnendar."

"Memangnya ada apa dengan keluarga Pak Kusnendar? Bukanya dia orang terkaya di kampung kita, Bu?"

"Sekarang mereka sudah bangkrut. Kasihan istrinya sampe masuk rumah sakit jiwa?" 

"Astagfirullah! Indah, kok, baru dengar, Bu?"

"Lihat saja rumah sama mobilnya sudah disita Bank. Yaa,  gara-gara Pak Kusnendar terlibat judi online yang tadi ibu bahas."

"Astaghfirullah ... Indah kira judi online itu  cuman permainan biasa."

"Judi kan salah satu perangkap setan. Awalnya sedikit. Menang, terus ketagihan eh ujung-ujungnya kecanduan."

"Betul juga, Bu, macam Bapak itu."

"Makanya, Ibu khawatir. Akhir-akhir ini bapakmu main handphone terus. Di tambah sekarang menghilang."

"Udah, ah, Indah mau mandi dulu. Nanti sehabis sarapan kita jalan-jalan." Indah berdiri sambil melilitkan handuk pada lehernya.

"Mau jalan-jalan ke mana?" Bu Aminah menatap anaknya yang menuju kamar mandi. 

"Hari ini Indah kan mau jual sapi sama kambing. Habis itu kita jalan-jalan sama belanja sekalian ke salon!"

Walau suara indah tenggelam begitu masuk kamar mandi tapi Bu Aminah masih bisa mendengar jelas ucapan anaknya. Sambil terus melanjutkan masak, wanita berusia 45 tahun itu  geleng-geleng kepala.

 ***

 "Masyaallah ... Ibu cantik sekali!" seru Indah menatap ibunya yang terlihat pangling. 

"Ahh, kamu bisa saja. Ibu malu. apa pantas umur Ibu yang sudah ngga muda lagi ini rambutnya dipotong  model begini?" Bu Aminah menatap pantulan wajahnya lewat cermin.

"Iihhh, sis Ami ini sangat cucok dengan potongan rambut seperti ini. Eyke aja pangling!" puji pegawai salon.

"Nanti ayahmu marah kalau lihat Ibu berpenampilan seperti ini?"  Wajah Bu Aminah mendadak sedih.

"Tenang saja, mulai saat ini ngga ada lagi orang yang bisa marahin Ibu. Pokoknya Ibu harus bahagia." Indah memeluk ibunya  dari belakang kursi salon. Terlihat dari pantulan cermin kalau wajah keduanya kini seperti kakak beradik.

"Habis ini kita makan-makan, ya, Bu. Terus kita ke toko perhiasan." Indah mengapit lengan ibunya keluar dari salon.

"Tapi, Nak, nanti uang kamu habis. Tadi kita sudah belanja sembako dan pakaian. Uangmu kan buat modal usaha."

"Sekali-kali, Bu. Kata pak Ustad, kalau kita memberi pada orang tua dan yang diberi bahagia maka Allah akan menambah rezeki kita berlipat. Lagi pula yang hasil penjualan dua sapi dan tiga kambing masih banyak. Pokoknya hari ini aku ingin lihat Ibu bahagia." Indah merengkuh bahu ibunya.

Hari itu, Indah benar-benar memanjakan ibunya. Dari makanan, pakaian bahkan perhiasan. Ia berjanji akan selalu membuat wanita yang bertahun-tahun menderita lahir dan batin itu selalu tersenyum. Walau di balik semua ini ada dosa besar yang harus ia tanggung.

Indah bangga memiliki Ibu secantik Bu Aminah. Hanya saja ia bersuamikan pria yang tidak tepat. Bukan dijadikan ratu tapi malah dijadikan babu. 

Orang tua almarhum suami Faiz menyerahkan semua harta milik anaknya pada Indah. Termasuk rumah yang sekarang ditinggali. Begitu juga dengan  dua sapi dan tiga kambing.  Mereka senang melihat menantunya sekarang terlihat lebih bersemangat.

Indah bersyukur memiliki mertua yang begitu baik dan perduli padanya. Walau mereka termasuk keluarga berada tapi tidak pernah membeda-bedakan. 

"Ayah sama Ibu tidak akan ikut campur dengan hasil penjualan sapi dan kambing. Yang penting dipergunakan dengan baik," ucap pak haji Tajudin.

"Iya, Nak. Ibu ngga tega melihatmu setiap hari mencari rumput. Rumahmu kan pinggir jalan raya. Sangat strategis. Pekarangan yang luas bisa di  bangun kedai. Kamu bisa mengajak ibumu juga. Bukan begitu, Pak?"

"Iya, Bu. Satu lagi pesan Bapak, jangan pernah tinggal Sholat yang lima waktu sesibuk apapun dan selalu tutup aurat. Selain wajib, menutup aurat juga bisa menghindarkan pandangan dari orang-orang yang bisa menimbulkan fitnah.  Apa lagi kamu wanita yang tak bersuami. Kalau bukan kamu yang menjaga diri siapa lagi. Bapak percaya sama kamu."

"Setiap hari usahakan bersedekah, ya, Nak. Agar usahamu lancar. Tak perlu banyak yang penting kamu ikhlas. Ibu juga tak akan menghalangi bila suatu saat ada pria yang datang. Asal dia pria baik." 

Indah yang sejak tadi menahan haru akhirnya tak bisa membendung air mata. Ia menagis sesegukkan di pelukkan Bu Ambar. Andai mereka tahu kalau menatunya itu pembunuh berdarah dingin apa mereka masih mau menerima?

***

"Heh! Kemana kalian sembunyikan Kang Danang?"

Indah yang sedang menyiapkan daging untuk membuat sate dikagetkan oleh suara cempreng wanita yang langsung menerobos ke dapur. 

"Siapa yang menyembunyikan suami Ceu Lilis. Sana geledah atau lihat ke rumah Ibu. Paling juga Ayah kawin lagi." Indah malah membuat istri muda ayahnya semakin terbakar api amarah.

"Terus kami punya uang dari mana bisa buka usaha sate segala? Pasti uang dari Kang Danang?"

"Ibuku tiriku sayang, kalau ngomong jangan seenak jidat. Bukannya uang Ayah sudah habis oleh istri mudanya yang matre ini?"

"Heh, anak ingusan. Sekali lagi kamu bilang aku matre, tamat sudah riwayatmu!" Lilis mengambil pisau yang biasa digunakan untuk memotong daging dari atas meja dan mengarahkan ke leher Indah.   

"Owww, sabar, sabar. Dua juta, tiga juta atau lima juta. Nanti aku kasih. Tapi bukan uang  Ayah. Ini uang hasil penjualan sapi. Sekarang tolong letakan pisau itu." Indah bicara dengan nada lembut.

Mendengar nominal uang yang disebutkan Indah jelas tekanan darah Lilis langsung turun. Bibirnya yang dipoles lipstik merah menyala itu tersenyum. Apa lagi setelah melihat anak tirinya menyodorkan amplop berwana coklat.

"Terima kasih Ceu Lilis, dengan  sidik jari ini permainan akan lebih seru," batin Indah menatap pisau yang tadi di pegang Lilis.   

BERSAMBUNG

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dody haryadi
hmmm...mau deh disate sama indah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status