Share

10-SAHABAT

Sinar berwarna merah ke kuning-kuningan akhirnya muncul secara perlahan di ufuk timur, sinar yang disertai dengan burung-burung hutan yang berkicau dengan indahnya membuat suasana menjadi syahdu.

Apalagi sinarnya yang hangat, membuat orang yang awalnya terlelap tidur secara pelan-pelan terbangun dengan sendirinya, di iringi dengan hawa sejuk yang berhembus ketika pintu dan jendela rumah mereka yang dibuka lebar. Membuat mereka bersemangat untuk menyongsong hari baru karena hari sudah berganti dan mereka harus kembali bekerja ke kebun masing-masing yang ada dibelakang rumah.

Beginilah desa transmigrasi yang kita tinggali, sebagai desa perintis yang letaknya sangat jauh dari keramaian, dengan jarak yang berpuluh-puluh kilometer melewati hutan lebat dan rawa-rawa membuat kami harus bekerja keras setiap paginya, menggarap lahan pertanian yang sudah pemerintah beri untuk kami kelola.

Dengan harapan, desa ini akan maju seperti desa-desa yang sudah lebih dulu ada di tanah ini. Kami tinggal dengan sebuah tanah garapan yang harus kita olah, Tanah sebanyak dua hektar yang kami kelola bisa menjadi modal untuk para warga desa untuk kehidupan yang lebih baik bagi anak dan cucu mereka.

Meskipun desa ini desa yang sangat-sangat terpencil, namun fasilitas yang ada di Desa Muara Ujung sangat lengkap.

Ada tempat peribadatan dari berbagai agama di ujung desa, ada lapangan bola, juga gedung pertemuan bagi para warga untuk penyuluhan atau sekedar nongkrong dan mengobrol dengan para warga lain selepas berkebun.

Ada juga warung-warung kecil dari inisiatif beberapa warga untuk memenuhi kebutuhan hidup selama disana untuk penghasilan tambahan, meskipun secara kebutuhan kita di support oleh pemerintah di satu tahun pertama, namun tetap saja para warga harus membeli kebutuhan lainnya seperti minyak tanah untuk memasak, sabun untuk mencuci atau rokok sebagai kebutuhan hidupnya.

Selain tempat-tempat tersebut, ada salah satu tempat lagi yang kadang dikunjungi para warga, sebuah tempat yang dihuni oleh seseorang yang dihormati selain Pak Dani yang menjadi Kepala Desa.

Tempat itu dihuni oleh seseorang yang dipercaya oleh pemerintah untuk berdiam di sana, selain mendapatkan tanah dia juga digaji oleh pemerintah untuk mengurus kesehatan seluruh warga.

“Pak Ridwan, lagi diluar Pak?”

Tampak seorang warga yang berangkat pagi-pagi untuk mengambil air melewati tempat itu, dia menyapa seseorang yang sedang berdiri di depan rumah yang dia sulap menjadi sebuah Puskesmas sederhana untuk mengobati para warga yang ada disana.

Dengan tersenyum warga tersebut menyapa seseorang yang menjadi tuan rumah dan pemilik dari Puskesmas tersebut. Tak lama, seseorang yang dia panggil Pak Ridwan pun balik menyapanya dengan sedikit senyuman yang terlihat di wajahnya.

“Iya, ini lagi mau beresin plang Puskesmas, lagi nunggu si Ucok datang buat bantu.”

“Eh gimana istrimu Li? Udah mendingan sakitnya?” kata Pak Ridwan dengan senyum khas nya.

“Iya udah Pak, kemarin dia sudah mulai ke dapur lagi, benar kata Pak Ridwan istriku kangen suasana kota jadi kepirikan terus ampe sakit."

“Tapi sekarang sudah agak mendingan Pak, dia aku suruh buat istirahat dulu di rumah sampe benar-benar tenang pikirannya,” katanya sambil sedikit berteriak.

“Oh ya syukurlah, nanti kalau ada apa-apa datang lagi kesini aja ya!” kata Pak Ridwan dengan nada yang ramah.

“Iya Pak, makasih ya Pak sudah bantu rawat istri ku.”

“Oh iya, maaf gak bisa lama-lama, aku harus segera pergi, mau ngelanjutin pekerjaan Pak Satria buat masang-masangin pipa dari rawa Pak, biar kebun-kebun kita banyak suplai airnya,” katanya dengan sedikit berteriak dan mengangkat salah satu tangannya.

“Ok kalau begitu, hati-hati ya Li,” katanya sambil membalasnya dengan mengangkat tangannya.

Pak Ridwan tersenyum ketika melihat Ali akhirnya pergi kembali menyusuri jalanan besar yang menjadi jalan utama yang masih berupa tanah yang becek dan bergelombang.

Setelah berdiri cukup lama di depan rumah untuk melihat matahari yang secara perlahan muncul dengan sinarnya yang terang. Akhirnya Pak Ridwan berbalik melihat rumahnya, mencoba menghangatkan punggungnya dari sinar matahari pagi sambil mengambil satu batang rokok yang ada di salah satu sakunya.

Rasa hangat secara perlahan-lahan muncul dan meresap ke seluruh tubuh, sebagai Dokter Puskesmas dia tahu fungsinya berjemur pada pagi hari. Sehingga hampir setiap hari dia melakukan hal ini.

Sambil memandang rumah yang dia ubah menjadi Puskesmas sederhana. Dia akhirnya mendapatkan impiannya, sebuah impian untuk mendapatkan tempat prakteknya sendiri. Meskipun harus tinggal di tempat yang jauh seperti ini.

Fuhhhh

Asap rokok terlihat mengepul keluar dari mulut Pak Ridwan secara perlahan.

“Kalau saja kamu masih hidup Satria, di waktu pagi seperti ini pasti ada teman mengobrol, ngobrol tentang kehidupan kita dulu ketika di kota, mengobrol tentang kehidupanmu yang melanglang buana mengelilingi pulau-pulau.”

“Juga kehidupanmu yang penuh akan tantangan seperti kuliah dulu.”

Fuhhhh

“Aku tidak terlalu akrab dengan mereka Satria, bahkan dengan istrimu sendiri. Kamu tahu kan aku orangnya seperti apa, susah bergaul dengan orang, hanya denganmu saja aku bisa membuka kedokku, seperti halnya kamu membuka kedokmu selama ini.”

“Aku juga sengaja mengajakmu ke tempat ini, mensupport segala hal agar kamu bisa lolos dan tinggal disini bersama istri dan anakmu, agar aku ada teman.”

“Tapi…..”

Hahhhhhh

Sebuah nafas panjang terlihat dari tubuh Pak Ridwan pada saat itu, mulut yang awalnya penuh asap rokok dia hentikan sementara. Seperti ada penyesalan ketika dia mengingat Satria harus pergi meninggalkan dirinya disana sendirian, karena mungkin saja Pak Ridwan sudah menganggap Satria adalah teman semasa hidup yang bisa menjadi teman mengobrol dan bertukar pikiran ketika sedang berada di tempat ini.

Dia tiba-tiba tersenyum kecil, bahkan kepalanya di gelengkan beberapa kali sambil kembali menghisap rokoknya secara perlahan.

“Apakah aku bisa bertahan selama lima tahun disini dan bersosialisasi dengan para warga dari berbagai daerah dengan watak yang berbeda satu sama lain.”

Fuhhhh

Pak Ridwan terus-menerus bergumam. Seperti ada sesuatu persahabatan yang mengikat dirinya dan Satria sehingga mereka berdua memutuskan untuk tinggal di tempat ini

Pikirannya melayang kemana-mana ketika dirinya bersama-sama kuliah di tempat yang sama, berjuang bersama ketika lulus, hingga akhirnya berakhir di tempat ini.

Namun,

Tak lama lamunannya terhenti ketika dia mendengar sebuah suara meminta tolong dari arah kanan. Tampak ada seseorang yang sedang berlari dengan tergesa-gesa ke arahnya sambil menggendong seorang anak yang dia bawa oleh kedua tangannya.

“Pak Ridwaaaaan!”

“Tollonggggg, tolonggg Pak!”

“Toloong Ayuuuuu!”

Pak Ridwan yang sedang melamun di depan rumahnya langsung menoleh ke asal suara itu, tampak Minah berteriak sambil membawa Ayu yang penuh luka berlari ke arah Pak Ridwan.

Dengan wajahnya yang tampak kusut, rambutnya yang berantakan, bahkan di sekitar matanya terlihat menghitam karena kekurangan tidur. Minah benar-benar terlihat memprihatinkan, apalagi Ayu yang sedang dia bawa yang kini penuh dengan luka memar dan sayatan atas kejadian teror yang dia alami kemarin membuat tubuhnya lebih memprihatinkan.

Pak Ridwan tampak kaget, dengan segera dia berlari menghampiri Minah dan menggendong Ayu dengan kedua tangannya.

“Minah, apa yang terjadi, kenapa Ayu bisa seperti ini?” katanya dengan nada yang panik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status