Share

Bab 3

Aku terdiam. Jawabannya sudah jelas, Mas Adit keberatan Mak Ida menginap disini. Ku tahu, momennya sangat tidak pas. Mas Adit ingin berdua saja. Aku pun tak berani membantahnya.

Aku melangkah keluar kamar, tapi Mak Ida sudah tidak ada di tempat semula. Kemana perginya ini orang, cepat sekali. Mana pula tidak pamit lagi. Syukurlah kalau dia sudah pulang.

Ah, baiknya aku tidur siang saja. Aku melangkah menuju kamar. Hatiku sudah lega, karena akhirnya mak Ida pulang.

"Reina, Mak udah bawa baju nih. Mak tidur di kamar kamu, ya?"

"Tunggu, tunggu. Gak bisa gitu, Mak. Di kamar Reina gak muat kalau bertiga. Kasurku sangat kecil, lagian di sana juga ada hantunya," aku mencoba mencari ide.

Biarlah berbohong, kata guru ngaji dulu, kita  boleh berbohong, asal tujuannya buat kebaikan. Kali ini aku praktekan berbohong demi kebaikan, tentunya kebaikan diri sendiri dan Mas Adit.

"Ha...ha...ha...," aku tertawa dalam hati.

Kali ini aku tidak boleh diam. Tidak selamanya seorang Reina Salsabila bisa ditindas. Mas Adit, akan kuperjuangkan malam pertamamu. Eh...

Mak Ida ini tipe orang paling penakut.Dia tidak berani tinggal di rumah sendirian, meskipun itu siang bolong. Dia juga paling tidak bisa mendengar orang cerita masalah hantu. Makanya mbak Arum jarang sekali bermalam di rumah mertuanya. Sekalian saja kubilang kalau kamarku ada hantunya, fix Mak Ida tak bakal berani. 

"Terus, Mak nanti malam tidur di mana?. Dulu waktu Ibumu masih hidup, gak pernah tuh kayanya dia cerita masalah hantu di rumah ini," Mak Ida bingung.

"Di depan tv aja, Mak. Kalau di depan tv tidak ada hantunya. Dengerin cerita Reina, Mak. Rumah ini berhantu tuh, sejak Reina tinggal kuliah di Malang, Mak. Kan Mak tahu sendiri, kalau dulu Reina jarang pulang. Pasti hantunya pikir, rumah ini sudah kosong, jadilah hantunya keenakan tinggal di sini. Ih, serem banget pokoknya. 

Hantu di sini ada banyak, Mak. Itu, yang di kamar Reina, ada hantu Mbak-Mbak pakai gamis putih. Rambutnya panjang, menjuntai sampai ke lantai lho, Mak. Matanya melotot tajam, lidahnya menjulur sampai lantai. Kata teman Reina yang bisa lihat sih, mbak kunti katanya.

Tapi, anehnya, dia gak akan ganggu orang yang baik hati seperti Reina. Ya udah, Reina biarin aja, Mak, mereka tinggal di sini. Yang penting gak bikin masalah. Hantu di sini tidak mengganggu penghuni rumah ini, mereka ganggu orang lain, Mak. Malah, mereka bisa bantuin Reina kalau mau ada maling," aku mengarang cerita.

"Nglantur kamu, Na. Bilang aja Mak gak boleh nginap sini. Dosa kamu bohong sama orang tua," Mak Ida mencebik kesal.

"Ya udah kalau gak percaya, tapi Reina gak mau tanggung jawab ya, kalau ada apa-apa sama Mak," aku mencoba meyakinkan.

Mak Ida terlihat sedang berpikir keras. Maaf, Mak, bukan aku bermaksud jahat, tapi aku juga nggak mau menderita selamanya.

"Duh, kok Reina jadi merinding ya, Mak. Jangan-jangan mereka dengar lagi, kalau kita gosipin. Udah ah, jangan ngomongin mereka, nanti mereka marah," aku mendramatisir suasana.

Kulihat Mak Ida agak ketakutan. Dia mulai merepetkan duduknya didekatku.

"Jangan nakut-nakutin, lah, Na," Mak Ida memegang erat tanganku. Dingin sekali tangannya, pasti dia ketakutan.

"Emang Mak gak merasa merinding, ya?"

"Iya sih."

Asyik. Mak Ida mulai terpengaruh ceritaku. 

"Kalau di kamar belakang, gimana, Na?" Mak Ida bernegosiasi.

"Boleh saja, tapi apa Mak, gak ingat, kalau itu kamarnya almarhumah Ibu?. Dulu Ibu meninggalnya di kamar itu lho, Mak. Kan kata Mak Ida, orang kalau sudah meninggal, tiap malam Jum'at selalu pulang, ya pasti Ibu pulang langsung menuju kamarnya dong. Apalagi nanti malam Jum'at, Mak ,"aku berusaha membuat suasana semakin mencekam.

"Iya, juga ya, kenapa aku bisa lupa?"

"Ha...ha...ha...," kudengar Mas Adit tertawa terpingkal-pingkal. Jahat sekali kamu, Mas, aku susah payah berbohong, kamu malah tertawa di atas penderitaanku.

"Mending, Mak telfon Mbak Arum saja, suruh cepat pulang, ini malam Jum'at lho, Mak," aku memberi ide. Semoga saja ideku diterima. Aamiin. 

"Ha...ha...ha...."

Lagi, suara tawa Mas Adit seolah mengejekku. Awas, ya Mas. 

"Tapi, katanya Arum dia mau nginap tiga hari di sana, Na," Mak Ida bingung.

"Biar aku aja yang hubungi Mbak Arum."

Buru-buru kuraih benda pipih kesayanganku. Aku tak ingin Mak Ida berubah pikiran.

[Assalamualaikum, Mbak Arum. Ini Mak Ida darah tingginya kumat. Mbak Arum disuruh pulang secepatnya]

Ting. Pesan terkirim, namun belum ada tanda-tanda mbak Arum membalas pesan.

"Gimana, Na, bisa Arum pulang?" Tanyanya penuh harap.

"Tunggu, Mak, belum dibalas sama Mbak Arum."

****

Huek huek

Aku muntah lagi. Mak Ida yang belum pulang buru-buru menyusulku ke dapur.

"Kamu muntah lagi, Na, apa kubilang, pasti kamu hamil kan?"

Tak kuhiraukan mak Ida. 

"Mas Adit, tolong kemari," aku setengah berteriak.

Huek. Aku muntah lagi.

"Sayang, kamu kenapa?" Mas Adit memijat tengkukku.

"Perutku mual sekali, Mas," 

Mas Adit meraih gelas, lalu menyodorkan minum kebibirku. Ah, kamu perhatian sekali sih, mas. Hatiku berbunga-bunga. 

"Sayang, sekarang kita ke dokter, aku gak mau kamu kenapa-kenapa," Mas Adit terlihat khawatir.

"Tapi aku gak apa-apa,Mas." 

"Bawa aja ke dokter, Dit. Istrimu itu lagi hamil, biar anak kalian sehat juga," timpal Mak Ida.

"Kamu disini aja, Mas siapkan keperluanmu," Mas Adit bergegas ke kamar.

"Mak Ida pulang aja, ya, tadi Reina sudah hubungi Mbak Arum kok. Reina kayanya sampai malam ini, Mak."

"Yaudah, lah," akhirnya Mak Ida pulang. Ku lihat dia membawa semua pakainnya. 

"Yes," aku bersorak saat Mak Ida sudah tak nampak.

"Ayo Sayang, kita berangkat," Mas Adit tergopoh menghampiriku. 

Mas Adit membopongku. Dibukanya pintu Mobil, lalu mendudukanku dengan sangat hati-hati. 

"So sweet banget sih, Mas," aku tersenyum sambil menatap wajah tampannya.

Mas Adit melajukan mobilnya keluar halaman. Kulihat Mak Ida sedang duduk di teras rumahnya. 

Kutatap wajah Mas Adit yang sedang serius mengemudi. Wajahnya yang tampan, membuatku betah berlama-lama memandangnya. Sorot matanya yang tajam, hidung mancungnya, dan bibir tipisnya itu yang selalu membuatku gelisah.

Beruntung sekali aku mendapatkannya. Baik hati, tampan, rajin menabung, tidak sombong pula.

"Jangan dilihatin terus, nanti jatuh cinta," ucapnya membuatku salah tingkah.

Pasti wajahku sudah seperti kepiting rebus. Tuhan, aku malu sekali. Andai aku punya jurus menghilang, aku mau menghilang sejenak.

"Siapa juga yang liatin, Mas. Tuh, aku liat es degan kok," jawabku seraya menunjuk penjual es degan di perempatan Tunglur. Untung ada penjual es degan yang menyelamatkanku. 

"Kok aku jadi pengen minum es degan, ya. Pasti seger banget, Mas,"  dasar aku, makanan saja yang ada di otakku.

Mas Adit tak menanggapiku. Dia senyum-senyum sendiri. Mas Adit melajukan mobilnya ke arah selatan, menuju arah Pare. Mas Adit tipe orang yang kalau sudah berkendara, dia akan fokus dan irit bicara. 

"Kita mau kemana, Mas?"

"Mau ke rumah sakit lah, Sayang."

"Aku sudah sembuh kok, Mas."

Ciit. 

Brak.

Mas Adit mengerem mendadak. Untung saja jalanan sedang sepi. Andai kendaraan lalu lalang, entah bagaimana nasib pengantin baru ini.

"Hati-hati dong, Mas. Untung kepalaku gak benjol,"

"Kok bisa?"

"Woi, hati-hati dong kalau nyetir," seru Emak berdaster menggedor pintu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status