Aku terdiam. Jawabannya sudah jelas, Mas Adit keberatan Mak Ida menginap disini. Ku tahu, momennya sangat tidak pas. Mas Adit ingin berdua saja. Aku pun tak berani membantahnya.
Aku melangkah keluar kamar, tapi Mak Ida sudah tidak ada di tempat semula. Kemana perginya ini orang, cepat sekali. Mana pula tidak pamit lagi. Syukurlah kalau dia sudah pulang.
Ah, baiknya aku tidur siang saja. Aku melangkah menuju kamar. Hatiku sudah lega, karena akhirnya mak Ida pulang.
"Reina, Mak udah bawa baju nih. Mak tidur di kamar kamu, ya?"
"Tunggu, tunggu. Gak bisa gitu, Mak. Di kamar Reina gak muat kalau bertiga. Kasurku sangat kecil, lagian di sana juga ada hantunya," aku mencoba mencari ide.
Biarlah berbohong, kata guru ngaji dulu, kita boleh berbohong, asal tujuannya buat kebaikan. Kali ini aku praktekan berbohong demi kebaikan, tentunya kebaikan diri sendiri dan Mas Adit.
"Ha...ha...ha...," aku tertawa dalam hati.
Kali ini aku tidak boleh diam. Tidak selamanya seorang Reina Salsabila bisa ditindas. Mas Adit, akan kuperjuangkan malam pertamamu. Eh...
Mak Ida ini tipe orang paling penakut.Dia tidak berani tinggal di rumah sendirian, meskipun itu siang bolong. Dia juga paling tidak bisa mendengar orang cerita masalah hantu. Makanya mbak Arum jarang sekali bermalam di rumah mertuanya. Sekalian saja kubilang kalau kamarku ada hantunya, fix Mak Ida tak bakal berani.
"Terus, Mak nanti malam tidur di mana?. Dulu waktu Ibumu masih hidup, gak pernah tuh kayanya dia cerita masalah hantu di rumah ini," Mak Ida bingung.
"Di depan tv aja, Mak. Kalau di depan tv tidak ada hantunya. Dengerin cerita Reina, Mak. Rumah ini berhantu tuh, sejak Reina tinggal kuliah di Malang, Mak. Kan Mak tahu sendiri, kalau dulu Reina jarang pulang. Pasti hantunya pikir, rumah ini sudah kosong, jadilah hantunya keenakan tinggal di sini. Ih, serem banget pokoknya.
Hantu di sini ada banyak, Mak. Itu, yang di kamar Reina, ada hantu Mbak-Mbak pakai gamis putih. Rambutnya panjang, menjuntai sampai ke lantai lho, Mak. Matanya melotot tajam, lidahnya menjulur sampai lantai. Kata teman Reina yang bisa lihat sih, mbak kunti katanya.
Tapi, anehnya, dia gak akan ganggu orang yang baik hati seperti Reina. Ya udah, Reina biarin aja, Mak, mereka tinggal di sini. Yang penting gak bikin masalah. Hantu di sini tidak mengganggu penghuni rumah ini, mereka ganggu orang lain, Mak. Malah, mereka bisa bantuin Reina kalau mau ada maling," aku mengarang cerita.
"Nglantur kamu, Na. Bilang aja Mak gak boleh nginap sini. Dosa kamu bohong sama orang tua," Mak Ida mencebik kesal.
"Ya udah kalau gak percaya, tapi Reina gak mau tanggung jawab ya, kalau ada apa-apa sama Mak," aku mencoba meyakinkan.
Mak Ida terlihat sedang berpikir keras. Maaf, Mak, bukan aku bermaksud jahat, tapi aku juga nggak mau menderita selamanya.
"Duh, kok Reina jadi merinding ya, Mak. Jangan-jangan mereka dengar lagi, kalau kita gosipin. Udah ah, jangan ngomongin mereka, nanti mereka marah," aku mendramatisir suasana.
Kulihat Mak Ida agak ketakutan. Dia mulai merepetkan duduknya didekatku.
"Jangan nakut-nakutin, lah, Na," Mak Ida memegang erat tanganku. Dingin sekali tangannya, pasti dia ketakutan.
"Emang Mak gak merasa merinding, ya?"
"Iya sih."
Asyik. Mak Ida mulai terpengaruh ceritaku.
"Kalau di kamar belakang, gimana, Na?" Mak Ida bernegosiasi.
"Boleh saja, tapi apa Mak, gak ingat, kalau itu kamarnya almarhumah Ibu?. Dulu Ibu meninggalnya di kamar itu lho, Mak. Kan kata Mak Ida, orang kalau sudah meninggal, tiap malam Jum'at selalu pulang, ya pasti Ibu pulang langsung menuju kamarnya dong. Apalagi nanti malam Jum'at, Mak ,"aku berusaha membuat suasana semakin mencekam.
"Iya, juga ya, kenapa aku bisa lupa?"
"Ha...ha...ha...," kudengar Mas Adit tertawa terpingkal-pingkal. Jahat sekali kamu, Mas, aku susah payah berbohong, kamu malah tertawa di atas penderitaanku.
"Mending, Mak telfon Mbak Arum saja, suruh cepat pulang, ini malam Jum'at lho, Mak," aku memberi ide. Semoga saja ideku diterima. Aamiin.
"Ha...ha...ha...."
Lagi, suara tawa Mas Adit seolah mengejekku. Awas, ya Mas.
"Tapi, katanya Arum dia mau nginap tiga hari di sana, Na," Mak Ida bingung.
"Biar aku aja yang hubungi Mbak Arum."
Buru-buru kuraih benda pipih kesayanganku. Aku tak ingin Mak Ida berubah pikiran.
[Assalamualaikum, Mbak Arum. Ini Mak Ida darah tingginya kumat. Mbak Arum disuruh pulang secepatnya]
Ting. Pesan terkirim, namun belum ada tanda-tanda mbak Arum membalas pesan.
"Gimana, Na, bisa Arum pulang?" Tanyanya penuh harap.
"Tunggu, Mak, belum dibalas sama Mbak Arum."
****
Huek huek
Aku muntah lagi. Mak Ida yang belum pulang buru-buru menyusulku ke dapur.
"Kamu muntah lagi, Na, apa kubilang, pasti kamu hamil kan?"
Tak kuhiraukan mak Ida.
"Mas Adit, tolong kemari," aku setengah berteriak.
Huek. Aku muntah lagi.
"Sayang, kamu kenapa?" Mas Adit memijat tengkukku.
"Perutku mual sekali, Mas,"
Mas Adit meraih gelas, lalu menyodorkan minum kebibirku. Ah, kamu perhatian sekali sih, mas. Hatiku berbunga-bunga.
"Sayang, sekarang kita ke dokter, aku gak mau kamu kenapa-kenapa," Mas Adit terlihat khawatir.
"Tapi aku gak apa-apa,Mas."
"Bawa aja ke dokter, Dit. Istrimu itu lagi hamil, biar anak kalian sehat juga," timpal Mak Ida.
"Kamu disini aja, Mas siapkan keperluanmu," Mas Adit bergegas ke kamar.
"Mak Ida pulang aja, ya, tadi Reina sudah hubungi Mbak Arum kok. Reina kayanya sampai malam ini, Mak."
"Yaudah, lah," akhirnya Mak Ida pulang. Ku lihat dia membawa semua pakainnya.
"Yes," aku bersorak saat Mak Ida sudah tak nampak.
"Ayo Sayang, kita berangkat," Mas Adit tergopoh menghampiriku.
Mas Adit membopongku. Dibukanya pintu Mobil, lalu mendudukanku dengan sangat hati-hati.
"So sweet banget sih, Mas," aku tersenyum sambil menatap wajah tampannya.
Mas Adit melajukan mobilnya keluar halaman. Kulihat Mak Ida sedang duduk di teras rumahnya.
Kutatap wajah Mas Adit yang sedang serius mengemudi. Wajahnya yang tampan, membuatku betah berlama-lama memandangnya. Sorot matanya yang tajam, hidung mancungnya, dan bibir tipisnya itu yang selalu membuatku gelisah.
Beruntung sekali aku mendapatkannya. Baik hati, tampan, rajin menabung, tidak sombong pula.
"Jangan dilihatin terus, nanti jatuh cinta," ucapnya membuatku salah tingkah.
Pasti wajahku sudah seperti kepiting rebus. Tuhan, aku malu sekali. Andai aku punya jurus menghilang, aku mau menghilang sejenak.
"Siapa juga yang liatin, Mas. Tuh, aku liat es degan kok," jawabku seraya menunjuk penjual es degan di perempatan Tunglur. Untung ada penjual es degan yang menyelamatkanku.
"Kok aku jadi pengen minum es degan, ya. Pasti seger banget, Mas," dasar aku, makanan saja yang ada di otakku.
Mas Adit tak menanggapiku. Dia senyum-senyum sendiri. Mas Adit melajukan mobilnya ke arah selatan, menuju arah Pare. Mas Adit tipe orang yang kalau sudah berkendara, dia akan fokus dan irit bicara.
"Kita mau kemana, Mas?"
"Mau ke rumah sakit lah, Sayang."
"Aku sudah sembuh kok, Mas."
Ciit.
Brak.
Mas Adit mengerem mendadak. Untung saja jalanan sedang sepi. Andai kendaraan lalu lalang, entah bagaimana nasib pengantin baru ini.
"Hati-hati dong, Mas. Untung kepalaku gak benjol,"
"Kok bisa?"
"Woi, hati-hati dong kalau nyetir," seru Emak berdaster menggedor pintu.
"Kok bisa?""Ya bisa lah, Mas. Mas Adit sih mengerem mendadak gitu, pasti sudah benjol kepalaku," sungutku kesal."Bukan itu maksudku, kenapa bisa sembuh secepat ini. Bukannya tadi kamu masih lemes?""Aktingku bagus, kan, Mas?""Akting?" Mas Adit menganga gak percaya."Kamu mangap gitu aja masih ganteng, Mas," kekagumanku tak dapat kusembunyikan."Gak lucu," sungutnya kesal."Auw, sakit tahu, Mas. Kenapa sih suka sekali nyubit pipiku," aku manyun."Akting, kamu bilang. Dari tadi aku khawatir tapi ternyata kamu malah akting.""Hehe," aku nyengir kuda."Dasar ratu akting," mas Adit mencebik kesal."Jangan marah, dong, Mas. Aku akting kan demi Mas juga. Kalau aku gak akting sakit, pasti Mak Ida bakalan bermalam di rumah."Mas Adit nampakn
"Mas, jangan masuk dulu," aku bicara takut-takut."Kenapa?" Mas Adit heran."Aku lupa gak bawa buah tangan, Mas.""Santai saja," ucapnya setenang mungkin. Ya iya lah dia tenang, ini kan rumahnya sendiri. Dasar mas Adit.Kami memasuki halaman yang sangat luas. Mas Adit mematikan mesin Mobil, lalu dengan cepat membukakan pintu untukku. Dinginnya kota Batu di malam hari membuatku semakin mulas. Hatiku semakin tak karuan. Bagaimana kalau Mama mertua tak menyukaiku?. Kug erat tangan Mas Adit untuk menghilangkan rasa gugupku. Seolah merasakan apa yang ku rasa, Mas Adit menggenggam erat tanganku."Assalamualaikum, Ma. Aku bawa oleh-oleh buat Mama sama Papa," Mas Adit langsung mengajakku ke ruang tamu, karena pintu rumah dalam keadaan terbuka.Ternyata rumah mas Adit sangat mewah dan megah. Jika dibanding dengan rumahku, tak ada apa-apanya. Mak Ida pasti pingsan kala
Ku cubit perut Mas Adit. Biar tahu rasanya malu sampai ke ubun-ubun itu bagaimana. "Bagus itu," mata Mama berbinar. "Bisa gak kita bahas yang lain aja?" tanyaku kikuk."malu tahu, Mas." "Kalian jangan bingung, nanti biar Mama yang urus semuanyaa. Kalian terima beres saja!" Mama bersemangat. "Kok Mama semangat sekali, ya. Yang bulan madu kan Adit, kenapa Mama yang sibuk." "Diam kamu Adit, kamu mau diakui sebagai anak Mama atau bukan?. Harus nurut sama Mama kali ini," Mama kelihatan serius. "Ya deh, Mamaku Sayang," Mas Adit memeluk mamanya. Harmonis sekali keluarga ini. Aku begitu bersyukur bisa menjadi bagian dari mereka. Kehangatan begitu terpancar dari keluarga mas Adit. Meskipun Mama dan Mas Adit seringkali berbeda pendapat, namun mereka tetap selalu menyayangi. ****** "Adit, Mama sudah
Bab 7"Pakai apa ya, Mbok, enaknya nanti?" aku bingung mau pakai apa nanti, karena ku lihat di kamar Mas Adit tidak terlihat koper."Bawa bajunya, Mbak?""Iya, Mbok. Reina panggil Mas Adit apa Mama ya, enaknya?" aku berpikir."Panggil Mas Adit, saja, Mbak?" Mbok Yah memberi usul. "biar saya panggilkan, Mbak.""Terima kasih ya, Mbok.""Mbak Reina ini, sedikit-sedikit bilang terima kasih, Mbak Reina memang baik hati.""Mbok ini, bisa saja."Ku keluarkan baju Mas Adit dari lemari. Ku pilih baju yang sekiranya dipakai nanti selama liburan. Ternyata Mas Adit rapi juga.Bajunya tidak ada yang berantakan di lemari."Sayang, ada apa?" Mas Adit sudah masuk kamar di susul Mbok Yah di belakangnya."Kita bawa baju pakai koper atau tas, Mas?""Kalau barang
"Ayolah, Mas. Masa tega biarin aku pulang sendiri?" aku mulai jengkel."Lihat nanti saja, ya?""Terserah!""Cie, merajuk beneran nih?" Mas Adit malah menggodaku." Gak lucu.""Kamu yang lucu," tersenyum menggoda."Tau ah," ku palingkan wajahku keluar jendela. Kini kami melati alun-alun Batu yang masih sepi.Mas Adit mengarahkan mobilnya menuju Jalan Gajah Mada. Lalu Mas Adit mengambil jalur menuju wisata Selecta."Makin lucu kalau merajuk begitu," candanya membuatku semakin jengkel.Aku terdiam, malas sekali menanggapinya."Bercanda, Sayang. Mas mana tega biarin kamu pulang sendirian, naik bus pula.""Bercandanya gak lucu.""He...he..., maaf deh. Ok?" Mas Adit menggenggam tangan kananku sebagai permohonan maaf.
Mas Adit langsung menghentikan aktifitas makannya. Tatapan tak suka ia tujukan pada seniorku. Sementara aku, masih mencoba mengorek memori, berharap menemukan serpihan nama di masa lalu. Aku benar-benar lupa.Kepalaku mendadak pusing. Namun, wajahnya tak asing. Aku ingat semuanya, sekelebat bayangan masa lalu mendesak hadir kembali. Namun, aku tak berhasil menemukan namanya."Kita sudah selesai, ayo pulang!" Mas Adit menggandeng tanganku paksa."Mas?" aku meminta jawaban. Dengan terseok, aku berdiri.Kenapa tiba-tiba sikap Mas Adit berubah. Apa aku melakukan kesalahan?."Pak, ini uangnya," Mas Adit mengeluarkan selembar rupiah bewarna merah dari dompetnya. Dengan langkah lebar, aku berusaha mengimbangi langkahnya.Aku merasa tak enak dengan kakak seniorku. Dia hanya bengong melihat kami pergi begitu saja."Maaf Mas
"Kamu sudah membuatku marah tadi. Kamu harus menebus kesalahanmu, Yang," ucap Mas Adit serius."Please deh, Pak Dosen.... Aku ini bukan mahasiswimu, aku istrimu. Mentang-mentang dosen hukum, seenaknya sendiri menghukum orang lain. Awas kena karma!" ucapku kesal."Justru karena kamu istriku, Yang. Makanya aku menghukummu.""Sadis kamu, Mas." Mas Adit tersenyum."Sadis mana, aku dengan si Ronald tadi?""Sadis kamu.""Masih saja membela Ronald, awas ya," mas Adit mencubit pipiku gemas."Siapa juga yang membelanya.""Itu tadi buktinya. Ronald yang sudah menghianatimu saja masih di bela.""Aku tidak membelanya, Mas. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.""Ternyata Ronald masih mencintaimu, Yang. Buktinya dia sampe nyamperin tadi.""Sudah deh, jangan mulai
Bab 11KruuukCacing di perutku berdemo, menuntut haknya. Mas Adit masih terkapar, di sampingku. Kupungut pakainku lalu berjinjit menuju kamar mandi. Tak ingin mengganggu tidur Mas Adit. Sepertinya dia sangat kelelahan. Aku pun tak tega mau membangunkannya.Selesai mandi, kulihat Mas Adit masih tertidur. Mungkin dia memang benar-benar lelah. Kutinggalkan Mas Adit yang masih pulas, menuju balkon, menikmati hangatnya mentari."Mas, bangun!" kugoyangkan tubuhnya.Belum ada reaksi, padahal perutku sudah tidak bisa diajak kompromi ini."Mas, ayo cepat bangun!" Mas Adit hanya menggeliat sebentar, namun matanya tetap terpejam."Mas, aku kelaparan. Kalau gak mau bangun, aku cari makan sendiri aja," bisikku di telinganya.Sontak Mas Adit langsung membuka matanya."Mas sudah bangun," ucapnya seraya mengucek m