SENTUHAN HARAM SUAMIKU
Pov Fajar
Menempuh hampir satu jam perjalanan, akhirnya aku sampai di depan rumah. Turun dari motor lalu mengucapkan salam pada Ayu yang kebetulan memang sedang berada di halaman rumah, membolak-balik jemuran biar cepat kering.
"Kok, sebentar, Mas?" tanya Ayu tanpa menoleh. Tangannya masih sibuk membolak-balik jemuran baju.
"Iya, Dek. Kata Pak Iwan, besok mulai kerjanya."
"Memang, Mas disuruh ngisi posisi apa di perusahaan Pak Iwan?" tanya Ayu lagi.
"Masuk, dulu, yuk. Nanti, Mas cerita di dalam." Aku masuk ke dalam rumah diikuti oleh Ayu dari belakang.
Kuempaskan tubuhku ke atas sofa. Membuka kancing kemeja sebagian agar tak terlalu panas. Ayu datang memberikan segelas air putih, lalu ikut duduk di sampingku.
"Terima kasih," ucapku sambil menyimpan gelas yang menyisakan air tinggal setengah ke atas meja.
Ayu hanya tersenyum kecil.
"Putra belum, pulang, Dek?" tanyaku.
"Belum, seb
SENTUHAN HARAM SUAMIKUPov FajarHari berganti, minggu telah berlalu berlalu. Tidak terasa aku sudah bekerja di kantor ini selama sebulan. Sejauh ini ... belum ada perubahan yang signifikan.Hari ini hari pertama kali aku gajian, setelah sebulan terlewati. Kucek ATM sebelum pulang ke rumah. Alhamdulillah, batinku melihat deretan angka yang tertera di layar ATM. Nominalnya sama dengan struk gaji yang diberikan staf keuangan. Kuambil sebagian uang itu. Aku keluar dari ruang ATM dengan mata berbinar.Aku berhenti di sebuah minimarket. Masuk kemudian membeli beberapa macam camilan dan roti untuk Putra. Setelah itu, aku kembali melanjutkan perjalanan pulang."Assalamu'alaikum." Aku berlalu masuk rumah dengan menenteng keresek putih."Wa'alaikum salam. Ayahhh ... !" Putra langsung menyambutku kemudian bergelayut manja. Segera kusodorkan keresek putih itu
SENTUHAN HARAM SUAMIKUPov FajarAyu memutuskan memilih pantai untuk tempat liburan kami sejenak. Hal itupun didukung penuh oleh Putra.Jam delapan pagi, setelah semua selesai sarapan, kami berangkat. Putra duduk di depan, sementara Ayu duduk di belakang menemani Putri yang di dudukkan di car set. Putri kecil yang dalam proses belajar berjalan ini terlihat duduk anteng memainkan boneka beruang kecil berwarna coklat. Sesekali dia mengoceh dengan kata-kata yang masih susah untuk di tebak. Sesekali juga di ajak bernyanyi oleh ibunya. Mengurangi kejenuhannya di perjalanan yang akan memakan waktu lumayan lama.Putra sendiri lebih asyik dengan cemilannya. Ya, Putra termasuk anak yang hobi ngemil. Apalagi semacam makanan ringan dan coklat.Setelah satu jam perjalanan, Putri mulai merengek, sesaat kemudian menangis kencang. Sepertinya dia mulai bosan berada di dalam mobil. Tak heran, karena dia memang sedang aktif-aktifnya. Rambatan ke sa
SENTUHAN HARAM SUAMIKUFov FajarDi depan jendela, Nina sedang mematung. Matanya menatap lurus hamparan sawah yang mulai menguning di luar sana. Ya, persis di belakang puskesmas ini terdapat area persawahan yang luas.Aku ikut berdiri di sampingnya. Mataku tertuju pada langit yang mulai berubah senja."Nin, emang ga apa-apa Risa ditinggalin? Takutnya dia nangis nyariin kamu," ucapku pada Nina setelah kembali ke dalam ruang rawat."Ga apa-apa, Bang. Risa kan sudah besar. Dia emang suka anteng di rumah Bibi. Malahan dia suka nangis kalau di ajak pulang," jawab Nina." Oh, sukur kalau gitu. Jadi kamu bisa fokus di sini merawat Ibu. Oh, iya, tadi Ayu titip salam buat kamu. Tadinya Ayu mau ke sini, tapi aku larang.""Iya, Bang. Mbak Ayu mending di rumah aja. Kasian Putri juga kan masih ASI.""Fajar ... Nina ...."Terdengar rintihan ibu memanggil namaku dan Nina. Aku dan Nina langsung menoleh ke arah Ibu se
SENTUHAN HARAM SUAMIKUPOV Fajar"Ibu, sudah tidak ada."Perkataan Nina bak petir di siang bolong. Hatiku serasa dihantam palu godam. Sakit tak terperi. Badanku gemetar hebat, hingga menyebabkan ponsel yang masih dalam genggaman terjatuh. Tubuhku terasa lunglai seketika. Menepikan mobil, aku menangis sesenggukan. Berkali-kali kupukul stir mobil. Merutuki kebodohan yang telah aku lakukan. Pergi bekerja meninggalkan ibu yang sedang sakit tak berdaya. Andaikan aku tadi tetap bersama ibu, menemaninya di saat-saat terakhirnya. Maafkan aku, Ibu.Segera kuhapus jejak air mata di pipi. Aku harus kuat. Aku harus segera sampai di puskesmas. Kasian Nina, dia pasti sangat terpukul dengan kepergian Ibu.Bergegas aku kembali memacu mobilku. Membelah jalanan dengan air mata yang masih mengaliri pipi.Langit bak ikut berduka. Mendung makin pekat di atas sana. Titik-titik air mulai turun, kemudian berubah deras dalam sekejap.Aku b
SENTUHAN HARAM SUAMIKUPov AyuMalam ini, Mas Fajar memintaku untuk menemaninya tidur di kamar ibu mertua. Katanya, dia masih ingin mengenang ibu. Menghirup aroma minyak angin yang masih menguar tajam di tempat ibu biasa beristirahat.Namun sayang , sampai larut mataku tak kunjung mau terpejam. Aku yang tidur menyamping, memunggungi Mas Fajar, merasakan ada pergerakan di ranjang ini. Setelah aku berbalik, ternyata, Mas Fajar yang turun."Mau ke mana, Mas?" tanyaku pada Mas Fajar."Mau ke dapur, Dek, ambil minum," jawab Mas Fajar seraya menoleh ke arahku."Biar aku yang ambilkan, Mas. Kamu tunggu aja, di sini." Aku beringsut untuk segera bangkit."Ga usah, Dek. Kamu temani Putri saja, takutnya bangun mau nenen." Aku mengangguk seraya kembali merebahkan tubuhku.Jujur aku penakut. Bulu kudukku menegang seketika saat M
SENTUHAN HARAM SUAMIKUMas Fajar yang sedang minum langsung tersedak mendengar ucapanku."Ya ampun, Mas. Hati-hati dong!" Aku memberikan tissue yang sudah tersedia di meja makan kepada Mas Fajar."Maaf, Dek. Habisnya, kamu ngomong ada-ada saja. Memang gampang cari calon suami untuk Nina? Kalaupun ada, Nina juga belum tentu mau.""Namanya juga usaha, Mas."***Hari berganti bulan berlalu. Tak terasa sudah hampir setengah tahun ibu mertua berpulang. Aku sering berkunjung dan menginap di rumah Nina untuk menemani dan menghiburnya.Putri pun kini sudah semakin besar, sudah pandai berlari. Sudah mulai bisa bicara juga meski masih banyak yang belum dimengerti.Malam Minggu ini, aku kembali menginap di rumah Nina. Aku juga ingin kembali membujuk Nina, agar mau ikut tinggal bersama di rumahku."Nin, coba dipikirkan lagi tawaranku untuk tinggal di rumahku? Biar aku juga ada teman, ga kesepian. Mas Fajar ju
SENTUHAN HARAM SUAMIKUPesan yang kubaca di ponsel Mas Fajar, berhasil membuat dadaku sesak seketika. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Bayang-bayang pengkhianatan yang telah dilakukan Mas Fajar dulu, kini kembali menari-nari di ingatan. Bagaimana tidak, dia kini telah melakukan kesalahan yang sama. Membuka kembali pintu perzinahan yang seharusnya ditutup rapat-rapat. Seharusnya jangan lagi memberi celah, jika ingin perbuatan haram itu tak terulang lagi.Derap langkah kaki Mas Fajar yang baru saja selesai menunaikan solat isya terdengar semakin dekat. Dia terpaku menatapku yang sedang berlinang air mata menggenggam gawainya di tanganku."Kamu, kenapa, Sayang? Kok, nangis?" Mas Fajar menghampiriku kemudian duduk di sebelahku.Sesak yang masih menyeruak seolah mengunci rapat mulutku. Aku tak dapat berkata apa-apa.Melihatku yang tak kunjung bersuara, Mas Faja
SENTUHAN HARAM SUAMIKU[ Pagi, Pak Fajar. Maaf pagi-pagi sudah ganggu. Boleh saya numpang kembali ke kantor?]Kontak yang sama dengan yang semalam. Belum lagi masalah semalam selesai, sekarang ditambah lagi. Aku jadi curiga, apa benar apa yang dikatakan Mas Fajar semalam itu? Atau mungkin hanya rekayasa untuk menutupi kebohongannya. Duh ... Kepala rasanya pusing, serasa mau pecah memikirkan semua ini.Kenop pintu terdengar diputar, sepertinya Mas Fajar yang akan masuk ke kamar. Aku segera berpura-pura merapikan tempat tidur, melipat selimut, dan membereskan area ranjang dengan sapu lidi agar debu dan kotoran yang menempel hilang.Mas Fajar masih diam, tak menyapaku. Dia langsung menghampiri gawainya. Aku terus memperhatikannya sambil masih berpura-pura membereskan bantal, menepuk-nepuk sarung bantal dan guling. Mas Fajar terlihat serius sedang mengetik sesuatu pada gawainya."Bun, Kakak mau berangkat."Tiba-tiba ter