SETELAH NUR KELUAR KAMAR MANDI, Nek Iyam langsung memanggil cucunya itu. Namun, lelaki tua yang berada di sampingnya hanya bengong saja sampai mulutnya seperti pintu guha. Nur terlihat biasa saja, dia berjalan mendekati neneknya dengan keadaan handuk masih melilit menutupi rambutnya.
"Ada apa, Nek?" tanya Nur yang sudah berada persis di depan neneknya.
"Kamu, sehat?" Nek Iyam balik tanya.
"Sehat, dong. Emang kenapa, sih, Nek?"
"Nggak ada apa-apa."
"Terus, dari kapan Nenek dan Kakek ada di sini?"
"Dari semalam. Kamu, nggak ingat, ya?"
"Nggak, Nek," jawab Nur, "mungkin aku sudah tidur, ya?" lanjutnya.
Nek Iyam hanya mengangguk saja. Dia tidak mungkin untuk menceritakan hal sebenarnya kepada Nur dan kakeknya pun hanya bisa mengikuti apa yang dikatakan Nek Iyam. Memang, mereka pun merasakan ada yang aneh dengan cucunya ini. Namun, mereka juga melihat Nur baik-baik saja di pagi hari ini. Dan mereka pun tidak ingin membuat Nur menjadi bertanya-tanya jika menceritakan kejadian yang semalam.
*
Di depan warung pedagang bubur ayam, Ani memberhentikan dulu sepeda motor yang dia kendarai. Dia pun langsung masuk ke dalam warung itu dan memesan satu porsi bubur ayam tanpa bawang, dibungkus. Menunggu pesanannya sampai jadi. Dia pun duduk di kursi panjang yang berada di warung sambil sesekali memainkan ponselnya. Entah, apa yang dilihat dan dibaca di dalam ponselnya. Namun, sorot matanya sangat serius sekali ketika melihat ponsel yang dia mainkan.
Alangkah terkejutnya Ani ketika ada suara memanggil namanya dari arah kursi yang lain di dalam warung. Sewaktu Ani menengok ke arah sumber suara, ternyata suara itu bersumber dari lelaki yang dia idam-idamkan sejak lama. Teman SMA. Riki, Lelaki yang mempunyai paras tampan itu memanggilnya dan melemparkan senyum untuknya.
Ani hanya bisa melemparkan senyuman untuk lelaki yang tadi memanggil namanya. Namun, ada yang aneh dengan perasaan Ani, dia pun merasakan jantungnya berdetak sangat kencang. Dia selalu meleleh ketika melihat Riki. Maklum, ada gejolak cinta yang begitu besar untuknya. Namun, Ani tidak mampu untuk mengucapkannya sehingga cinta itu hanya bisa dipendam saja.
Hidup Ani pun seperti mendung, kadang sedih dan bahagia. Mendung yang terus menggerogoti tubuhnya, membuat dia selalu hati-hati dalam memainkan cinta. Dan sampai-sampai, dia menahan semua rasa cinta yang terkandung dalam dirinya agar tidak merasakan sakit hati. Memang, ini keputusan yang berat untuknya, tetapi hanya dengan itu dia bisa berjalan terus untuk menuju kebahagiaan.
Cinta yang tertahan, akan membuat Ani tak berdaya di hadapan Riki. Dia hanya bisa memandang wajah Riki yang tampan rupawan, sedangkan batinnya ingin sekali dekat dengan lelaki itu. Namun, semua itu hanya rasa yang tak kunjung menjadi kenyataan. Dia tidak mampu. Dan dia pun seorang wanita yang tidak ingin menyebutkan cinta duluan kepada seorang lelaki.
"Neng, ini buburnya sudah jadi!" Tiba-tiba saja pelayan bubur mengagetkannya dari lamunan yang terjadi di warung itu.
"Oh. Ini uangnya, Kang!" Ani memberikan uang yang pas sesuai harga satu porsi bubur. Kemudian, dia langsung keluar dari warung itu tanpa pamit terlebih dahulu kepada Riki.
Mengendarai sepeda motor di pagi hari, sungguh membuat Ani lebih hati-hati. Jalanan yang dilewatinya pun terisi oleh kendaraan roda dua maupun empat. Dan mungkin saja, mereka-mereka yang memakai kendaraan di jalan raya itu mau berangkat kerja. Ani yang seorang diri harus berangkat kerja, melewati jalanan kurang lebih 15 KM pun selalu menurut terhadap rambu-rambu lalu lintas.
*
Rasa lapar pun muncul di pagi hari, Nur sangat beruntung dengan adanya Nek Iyam di rumahnya. Setidaknya, masalah sarapan selalu dipersiapkan. Nasi kuning. Goreng bakwan. Bahkan, teh manis pun selalu tersedia setiap Nek Iyam kalau sedang berada di rumahnya.
Perut yang terus meminta untuk diisi oleh makanan bergizi. Akhirnya, Nur pun langsung mengambil sepiring nasi kuning dan dua bakwan. Kemudian, dia menyantapnya sambil duduk di kursi meja makan.
'Ah, enak sekali pagi-pagi makan ini!' Batin Nur berbicara.
Kakek Samad yang dari tadi memperhatikan Nur, terus memandang wajah cucunya itu sampai dia pun memikirkan kejadian semalam. Seorang lelaki tua itu tidak mengerti dengan hal yang dia alaminya. Melihat Nur makan tikus. Mulut cucunyanya berdarah. Namun, sekarang dia melihat cucunya seperti biasa. Hanya masih terlihat sering melamun yang dilakukan oleh Nur.
'Apa mungkin karena semalam itu malam Jumat?' Kakek Samad terus mencoba untuk mencari tahu penyebab bisa terjadi hal yang sangat buruk terhadap keluarganya itu.
Memang orang tua Nur, dulu pernah cerita kepada Kakek Samad bahwa di rumah mereka ada penunggunya. Dan penunggu itu selalu keluar waktu malam Jumat. Namun, Kakek Samad selalu bilang bahwa semua rumah juga ada penunggunya. Lelaki tua itu pun selalu mengacuhkan ketika anaknya bercerita tentang rumah tempat tinggalnya, sedangkan Nek Iyam tidak pernah diberitahu tentang hal semacam ini. Sebab, ketika orang tua Nur mau cerita kepada Nek Iyam selalu dicegat oleh Kakek Samad dan beliau pun berkata:
"Jangan cerita sama ibu! Kan tahu ibu sedang sakit. Abah takut, ambu jadi tambah sakit kalau mendengar cerita kamu ini."
Orang tua Nur pun selalu menahan dan tidak jadi kalau mau cerita kepada ibunya itu. Sebab, selalu ingat kata Kakek Samad. Dan ada benarnya juga kata Kakek Samad. Jadi, orang tua Nur pun hanya bisa memendam apa yang harus diceritakan kepada ibu tersayangnya.
Setelah memandang terus Nur sembunyi-sembunyi, lelaki yang sudah tua itu pun mengayunkan kakinya ke luar rumah lagi. Tampak jelas di matanya terlihat langit yang begitu cerah. Udaranya masih segar. Pohon-pohon bergoyang. Daun-daun berterbangan. Halaman rumah jadi banyak daun. Namun, Kakek Samad menyukai pemandangannya jika dibandingkan dengan kejadian semalam yang menimpa keluarganya.
JANTUNG RIKI BERDETAK SANGAT KENCANG, di saat mengetahui ada wanita yang dia idamkan selama ini masuk ke warung bubur ayam. Tidak enak diam. Tidak fokus untuk makan. Hanya satu yang dirasakan olehnya, bunga-bunga cinta itu muncul kembali di indahnya suasana pagi hari. Tak lupa dia menatap Ani sambil melayangkan sapaan yang dibarengi senyuman khas.Indah bola matanya sangat menusuk sanubari Riki. Sampai-sampai, Riki dibuat salah tingkah oleh kehadiran Ani di warung itu. Namun, dia juga sangat merasa beruntung bisa bertemu Ani di waktu pagi-pagi sebelum berangkat kerja. Katanya, ini rejeki bisa memandang indah wajahnya di pagi hari. Ani hanya bisa tersenyum kepada Riki. Mungkin saja, dia juga gugup ketika melihat Riki berada juga di warung bubur ayam.Ada benarnya kata orang-orang, cinta akan semakin tumbuh bila berhadapan langsung dengan orang yang dicintainya. Dan semua itu akan terasa sangat indah bila bisa bersama serta saling menjag
KAKEK SAMAD MELIHAT ADA BENDA YANG MENCURIGAKAN. Dia pun langsung membuka benda itu yang berada di lemari orang tuanya Nur. Terlihat ada kain putih bertuliskan tinta emas dan sebuah keris. Kakek Samad menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak percaya dengan apa yang dimiliki oleh orang tua Nur ini.Setelah memikirkan apa yang dilihat itu, dia langsung memberitahukan Nek Iyam untuk bisa mengetahui hal ini. Dengan membawa sebuah kotak yang dia temukan. Lelaki tua itu pun memperlihatkan semua benda yang dia temukan kepada Nek Iyam. Nek Iyam tampak sekali mengkerutkan dahi, dia tidak percaya dengan kelakuan anaknya yang menyimpan barang semacam itu."Bah, ini nggak mungkin!""Nggak mungkin gimana? Ini sudah ada buktinya!""Kita tahu anak kita, anak yang baik-baik. Jadi, ini nggak mungkin!" Nek Iyam, tetap dengan pendiriannya."Coba ingat kembali dengan k
CINTA ANI TUMBUH, TETAPI TERTAHAN OLEH KEADAAN. Tidak semua orang bisa merasakan apa yang diinginkan. Semua itu pasti ada halangan dan rintangan yang harus dilewati. Memang, akan terasa hampa bila keinginan tidak tercapai. Namun, Ani mengerti dengan keadaan yang harus lebih mementingkan kesehatan kakaknya daripada dia main cinta.Pagi yang mulai datang lagi dibarengi suara burung yang terus berkicau. Ani sangat beruntung masih bisa menghirup oksigen secara gratis di pagi hari. Dia juga sangat bahagia jikalau masuk ke hari libur kerja. Berarti, dia mempunyai kesempatan lebih untuk bisa mengurus kakaknya dan menemaninya.Sudah kebiasaan dia di pagi hari jikalau sedang libur kerja. Ani selalu membersihkan halaman serta rumah yang terlihat berantakan, sedangkan kakaknya hanya bisa merundung kegalauan. Wajahnya tampak sekali suram dan yang lebih dikhawatirkan oleh Ani pun ketika kakaknya berbicara sendiri. Dia sangat sedih kalau sudah
SEORANG LELAKI TAMPAN BERADA DI DEPAN RUMAH ANI. Matanya menyorot terus ke arah rumah Ani seperti ada yang sedang dicari, sedangkan jalanan di depan rumah wanita itu tampak sepi sekali. Malam pun sudah semakin merangkak. Dan mungkin saja, orang-orang sudah pada istirahat.Ani yang berada di ruang tengah rumah pun dia sangat sibuk sekali dengan laptopnya. Dia berkutat terus dengan benda itu, biasanya sampai tengah malam. Katanya, dia harus mengerjakan pekerjaan yang terpenting dulu. Berbanding terbalik dengan seorang wanita yang sedang dirundung galau—kakaknya—sudah istirahat.Ani hanya sendiri saja berada di ruangan tengah rumah. Andaikan, dia melihat ke arah luar rumah. Pasti, hatinya akan merekah seperti bunga mawar yang indah. Namun, dia juga tidak mengetahui ada sesosok lelaki idaman berada di depan rumahnya. Dan lelaki itu menunggunya untuk keluar rumah. Sebab, kalau Riki yang mengetuk pintu rumah dan mengucap sa
"LIHAT, TUH! SI NUR SUDAH MULAI BICARA SENDIRI, KETAWA SENDIRIAN. DIA BENAR-BENAR GILA, YA?" tanya seseorang kepada teman-temannya yang sedang lewat di depan Nur.Mereka itu terdiri dari ibu-ibu yang mau pergi ke pasar. Mereka sering sekali melewati jalur depan rumah Nur. Maklum saja, jalur rumah wanita itu salah satu jalan yang cepat untuk mencapai pasar. Jadi, banyak warga yang selalu lewat jalan itu.Di beranda rumah, Nur duduk sambil memandang bunga mawar yang tertanam di sebuah pot hitam. Dia sangat menyukai tempat itu. Sampai-sampai, dia bisa menghabiskan waktunya hanya untuk memandangi bunga. Kadang kala, Nur sangat sedih jikalau ada satu bunga yang gugur. Namun, setelah dia mengalami kegalauan, bunga mawar yang ditanamnya tidak terurus.Setiap hari yang dijalaninya, tampak sekali tidak ada kebahagian. Gejolak batin pun terus berteriak kesedihan di dalam dadanya. Dia terlalu memikirkan Diki, sehingga jalan hidup y
"AYO, KITA MAKAN!" ajak Nek Iyam kepada Ani dan sekalian menyuruhnya untuk membangunkan Nur yang masih istirahat.Semalam, makanan yang dibawa oleh Nek Iyam tidak dimakan. Jadi, pagi harinya oleh Nek Iyam dipanaskan kembali. Dan masih untung, makanan tersebut belum basi ataupun bau.Aroma makanan yang menyeruak sehingga mengisi full ruangan meja makan. Duh, pasti enak, batinnya Ani berbicara di kala mencium aroma makanan. Akan tetapi, lelaki tua—Kakek Samad—yang rambutnya sudah memutih itu baru saja tiba dari depan rumah. Alangkah nikmatnya rasa yang tercium oleh mereka. Sampai, cacing-cacing yang ada di perut pun mulai berdemo ingin segera dikasih makan.Nek Iyam sibuk dengan menata piring-piring di meja makan, sedangkan Ani yang disuruh untuk membangunkan kakaknya langsung pergi ke kamar. Wanita muda itu mengayunkan kakinya dengan memegang sebuah ponsel.Alunan m
LANGIT YANG CERAH MENJADI SAKSI KETIKA SEORANG LELAKI SEDANG BERUCAP KEPADA ANI. Wanita itu pun tidak menyangka kepada apa yang diucapkan oleh Riki. Mulut Ani menjadi kaku di saat ucapan lelaki yang duduk di sampingnya itu menerobos masuk telinga. Dia bingung harus menjawab apa. Pikirannya pun tidak menampilkan jawaban-jawaban yang mau dia lontarkan. Sungguh, dia hanya dibuat terpaku atas ucapan yang Riki lemparkan kepadanya."Aku mau main ke rumahmu, boleh?" tanya Riki.Ani terdiam dengan pertanyaan itu. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Dalam hati yang bergejolak, jantung berdetak kencang. Wajahnya menunduk, seakan-akan itu kode yang baik bagi lelaki di sampingnya."Ya, udah. Ntar malam, aku ke rumahmu!" kata Riki mantap."Eh, t--tapi ....""Pokoknya, aku akan ke rumahmu titik." Riki memotong ucapan Ani.Siang yang begitu bers
ADA CAHAYA YANG TERPANCAR DARI DALAM SUMUR. Kakek Samad yang sedang duduk pun melihat itu semua. Dia langsung mendekatinya, sampai-sampai Kakek Samad tidak mengerti apa yang sedang terjadi di dalam sumur itu. Tubuhnya disandarkan ke tembok. Kakek Samad berpikir, ini hal yang janggal bahwa di dalam sumur itu seperti ada lampunya.Malam ini juga belum terlalu malam, jam masih menunjukan pukul 20.00 yang mana Riki pun belum pulang dari rumah cucunya. Namun, lelaki tua itu malah mendapatkan kejadian yang di luar nalar. Kakek Samad menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian, dia langsung mengayunkan kakinya untuk memberi tahu Nek Iyam yang sedang asyik menonton layar cembung bergambar; sinetron."Ambu ... Ambu ...!" panggil Kakek Samad yang sudah berada di belakang Nek Iyam.Nek Iyam tidak menjawab, dia terlalu asyik dengan sinetron. Jadi, fokusnya hanya kepada layar cembung yang ada di depannya.&nb