Hari ini, adalah hari di mana aku harus datang ke pengadilan agama memenuhi undangan sidang.
Oke, aku siap berpisah dengan Rina. Apalagi keluarganya itu, mereka sama aja tidak sabar menungguku untuk mencari pekerjaan.Aku akan datang ditemani oleh Mbak Ratih. Mbak Ratih juga setuju kalau aku pisah sama Rina, malah tempo hari dia nyuruh aku pisah, dan akhirnya kejadian juga.Saat ini, aku dan Rina sudah berada di ruang sidang. Pokoknya semua berjalan lancar, aku gak peduli dia menjelekkan namaku di depan hakim, yang penting aku akan pisah sama dia. Dipikir-pikir, aku juga udah muak hidup sama dia.Setelah kami keluar dari ruangan, tiba-tiba Rina berteriak menuduh Mbak Ratih mengambil jam tangannya,"Heh, Mbak! itu jam tanganku kan?""Eh, jangan asal nuduh ya! ini jam tangan dibeliin suamiku, enak aja dibilang punyamu!" jawab Mbak Ratih."Oke, akan aku buktikan kalau itu punyaku!" ucapnya, sambil membuka paksa jam tangan yang sedang dipakai Mbak Ratih, dasar gak sopan."Tuh, lihat! Di belakang jam tangan ini ada bertuliskan namaku, RINA. Udah deh, jangan mengelak lagi atau ... mau aku laporin ke polisi kalau Mbak adalah maling?" Benar-benar keterlaluan si Rina, masalah jam tangan aja dia perpanjang. Tidak bisa dibiarkan ini."Heh, Rina. Kamu itu, biarin aja kek. Jam tangan butut gitu dipermasalahkan!" Aku mencoba membela Mbak Ratih."Kamu, gak usah banyak bacot deh! Mbakmu itu salah, malah dibela. Emang dasar kalian berdua itu sama saja sifatnya. Tidak bisa membedakan mana yang benar dan yang salah," bentaknya padaku, benar-benar sudah keterlaluan."Buruan, ngaku gak kalau kamu malingnya! atau kalau enggak, aku laporin sekarang!" teriak Rina, mengancam, sehingga membuat orang-orang yang berada di sekitar memperhatikan kami."I-iya, aku yang ngambil. Bener kata Revan, gitu aja dipermasalahkan. Toh jam tangannya juga udah dikembalikan!" jawab Mbak Ratih."Hu ...." tiba-tiba orang-orang menyoraki Mbak Ratih, membuat dia malu terlihat dari raut wajahnya yang memerah."Benar-benar benalu kalian!" ucap Rina, lalu dia melenggang pergi bersama orang tuanya.Benar-benar memalukan si Rina! Umpatku dalam hati.**"Mbak, jadi mbak ya yang sudah ngambil jam tangannya si Rina?" tanyaku, ingin memastikan."Iya, waktu mbak ganti celana. Celana dia juga masih ada di rumah mbak," jawabnya."Aduh, Mbak. Kalau Mbak ngambil, ngapain Mbak pakai tadi. Kan jadinya ketahuan si Rina," ucapku."Mbak gak sadar, Van," jawabnya."Ya sudah deh. Mbak, aku boleh pulang ke rumahmu gak?" pintaku, karena kalau aku tinggal di rumah, aku gak akan makan dong. Aku gak punya uang, cuma ada lima ribu buat bayar hutang ke si Angga."Ya sudah, kamu tinggal saja di rumah Mbak," ucap Mbak Ratih, untung saja dia baik padaku."Terus, bang Rendi gak bakal marah?""Enggaklah, masa sama adik ipar tidak mau serumah."Aku pun mengangguk. Lalu membereskan baju-bajuku untuk dibawa ke rumah Mbak Ratih.***Sesampainya di rumah Mbak Ratih, ternyata di teras ada Bang Rendi, suaminya Mbak Ratih sedang menata tanaman ke dalam pot."Lho, Revan. Kamu mau pindah kemana?" Baru saja datang, sudah disuguhi pertanyaan yang tidak enak."Anu, Bang. Aku mau tinggal di sini, bolehkan?" pintaku, agak sedikit takut.Kulihat sorot mata Bang Rendi seperti tidak setuju kalau aku ada di sini. Kalau benar begitu, berarti dia sulit orangnya, tidak mau membantu sesama."Memangnya rumahmu kenapa? Digusur? Terus istrimu, Rina kemana?" Astaga ... dia itu bawel sekali si. Memberondong aku dengan pertanyaan."Bang, dia cerai sama si Rina. Kalau rumahnya masih ada kok," jawab Mbak Ratih.Lalu, Bang Rendi malah melihatku keheranan sekarang, kenapa si."Kok bisa cerai, Van. Kenapa emangnya?" tanyanya, lagi."A-anu Bang, masalah kerjaan," jawabku."Masalah kerjaan gimana,?" tanyanya lagi.Aku sudah tidak mau menjawab pertanyaan dari Bang Rendi, kuarahkan pandanganku pada Mbak Ratih, sebagai isyarat."Bang, sudahlah. Kasihan Revan, sementara dia nyari kerja, dia tinggal dulu di sini." Akhirnya Mbak Ratih mengerti aku."Ya sudah, masuk masuk," ucapnya.Nah gitu dong, dari tadi kek. Ini mah udah kayak interview kerja aja pake segala rupa ditanya.Akhirnya aku masuk ke dalam rumah Mbak Ratih, rumahnya luas dan juga rapi sekali, ternyata Mbakku itu rajin."Van, kamarmu di sebelah sana!" Mbak Ratih menunjukkan sebuah kamar yang akan aku tempati."Baik, Mbak," ucapku, lalu aku masuk ke dalam sebuah kamar. Di dalam kamar sudah ada lemari pakaian, aku masukkan satu persatu bajuku ke dalam lemari.'kruuuuk ... kruk ....'Oh iya, aku kan belum makan dari tadi. Makannya perutku bunyi seperti itu, sebagai tanda mau diisi.Kuhampiri Mbak Ratih yang lagi asik nonton TV."Mbak, aku lapar belum makan." Aku mengelus perutku yang bunyi."Mbak sudah masak ikan goreng, kamu makan aja. Tadi mbak taro di meja makan."Aku melangkah menuju meja makan, kubuka tudung sajinya, dan ternyata benar ikan nila goreng dan sambel sekaligus lalapannya.Langsung saja aku mengambil piring di dapur, lalu mengambil nasi sepiring penuh. Aku makan begitu lahap, enak sekali masakan Mbak Ratih.Saat suapan terakhir, tiba-tiba Bang Rendi datang."Makan, Van?" tanyanya.Aku sedikit malu si, kalau ada Bang Rendi."Iya, Bang," ucapku.Aku melahap nasi terakhir yang ada di piring, setelah itu aku minum.Kulihat Bang Rendi menatapku seperti kesal, kenapa ya? Apa aku melakukan kesalahan? Aneh.Dia berlalu menuju dapur, tampaknya dia juga mau makan. Dia membawa piring yang berisi nasi. Astaga ... ikan gorengnya tinggal kepalanya doang, gimana ini.Bang Rendi sudah semakin dekat menuju meja makan. Saat dia duduk, dan akan mengambil ikan gorengnya, tiba-tiba tangannya berhenti di atas piring yang sudah berisi kepala ikan, lalu dia melihat sinis ke arahku."Kok kamu habisin lauknya, Van?""A-anu maaf, Bang. Aku lapar soalnya," ucapku."Ya gak dihabisin juga dong, aku juga belum makan ini, terus aku harus makan kepala ikan sisa kamu gitu?" ucapnya kesal."Iya, Bang maaf. Kirain Abang udah makan," kataku."Lain kali, kalau makan itu harus ingat sama orang lain. Jangan mementingkan perut sendiri, apalagi di sini bukan tempat kamu, jangan seenaknya." tegasnya, pelit banget jadi orang.Lalu Bang Rendi melenggang begitu saja, menaruh kembali nasi dan piring yang sudah dibawanya tadi. Sepertinya dia tidak jadi makan. Jadi orang kok baper-an amat. Apalagi dia laki-laki."Van, jangan lupa piring bekas makan cuci yang bersih, dan itu kepala ikan juga bawa ke dapur. Nanti biar aku kasih sama kucing."Apa-apaan Bang Rendi, piring cuma satu aja harus langsung dicuci lagi."Iya, Bang. Entar aku cuci kok," ucapku, malas."Bagus.""Abang, gak jadi makan?" tanyaku, basa-basi."Mau makan sama apa? makannya Van, jadi orang itu jangan rakus. Orang lain jadi gak kebagian kan? gara-gara kamu habisin semuanya, padahal itu ikan ada lima ekor lho?" jawabnya, membuat perasaanku sedikit tersentak.Sudah hampir satu bulan, aku berada di rumah Mbak Ratih. Bisa makan enak, santai-santai, main game, nonton TV. Ah pokoknya aku senang banget berada di sini. “Van, ini tugas buat kamu, ya!” Bang Rendi menghampiriku saat sedang menonton TV, lalu memberikan sebuah kertas yang berisi penuh dengan tulisan. “Apa ini, Bang?” Aku menerima sebuah kertas yang dia berikan. “Baca saja,” ucapnya datar. Tugas harian Revan, selama berada di rumah saya, Rendi. - Beres-beres rumah (Ngepel, nyuci baju, nyuci piring, nyapu, lap kaca, sikat kamar mandi dll) - Setrika baju, jemur baju, angkatin jemuran. Catatan: Berlaku setiap hari, jangan malas-malasan. Kalau tidak mau, silakan angkat kaki dari rumah ini. Demikian isi kertas yang diberikan Bang Rendi padaku. Astaga ... dia ini sebenarnya menganggap aku adik ipar, atau babu, sih? Gak habis pikir. “Benaran ini, Bang?” tanyaku. Aku menelan ludahku yang terasa amat berat di tenggorokan. “Apa ada tanda-tanda bercanda dengan diri saya?” Dia berkata
Sampai di rumah, aku semakin malas saja melihat keadaannya. Sebulan lebih ditinggalkan, rumput-rumput sudah memenuhi pekarangan rumah. Belum debu-debu yang ada di dalam dan luar rumah. Huh! Gara-gara Bang Rendi, dasar! Aku berbaring di atas sofa, perutku sudah kelaparan saja. Uang gak punya, beras juga gak ada di sini. Gimana ya, caranya aku mendapatkan uang. Aku berpikir sejenak. Dan ... Aha aku ada ide! Bukannya dari dulu ya, aku coba pinjam uang lewat aplikasi, syaratnya juga mudah cukup pakai foto KTP doang. Aku mulai mencari aplikasi pinjol di internet. Di sana banyak sekali aplikasi-aplikasi serupa yang sedang aku cari, dan aku memilih aplikasi yang berada paling atas. Ratingnya juga bagus. Langsung saja aku klik download. Tak lama kemudian, aplikasi sudah terpasang otomatis. Aku begitu bersemangat membuka aplikasi tersebut. Langsung saja kuajukan pinjaman senilai empat puluh juta rupiah, lalu mengisi syarat-syarat yang ada. Ting! Hanya menunggu beberapa menit, uang sudah m
Setelah menunggu berlalunya malam yang panjang, akhirnya aku bertemu dengan fajar. Aku begitu bersemangat pagi ini. Mulai dari mandi, memilih baju terbagus dan tidak lupa memakai parfum. Mungkin ini parfumnya si Rina ketinggalan, soalnya aku tidak pernah memakai parfum sebelumnya. Aku begitu penasaran ingin mengecek ponselku yang semalaman aku cas. Begitu kulihat, tidak ada pesan masuk dari Nina. Aku akan mencoba mengirimi dia pesan lagi.(Nin? Sudah siap?) Hah? Langsung centang biru.(Iya, deh aku siap bertemu. Kebetulan ini hari libur) "Yes! Yes! Yes!" Aku berteriak kegirangan setelah membaca balasan dari Nina. Huhuuu ... pasti dia mau balikan sama aku. Gak mungkin dia nolak, secara sekarang aku kan banyak duit, udah gitu tampan dari lahir. Tak henti-hentinya aku senyum-senyum sendiri sambil bernyanyi-nyanyi layaknya orang yang sedang kasmaran. Sekali lagi aku bercermin, memastikan kalau penampilanku sudah keren. Dompet berisi uang pinjol itu sudah aku masukkan ke dalam tas k
Mau ngapain dia, apa dia ngintilin aku sama Nina? Bagus deh! Biar aku panas-panasin sekalian dia."Sayang, pokoknya kamu mau apa pun, aku akan belikan. Silakan kamu pilih yang mana saja di mall ini, yang menurut kamu suka!" ucapku pada Nina, sengaja dengan nada yang sedikit keras."Beneran, sayang? Aku mau banget! Ya sudah sekarang kita makan aja dulu, nanti habis makan kamu temani aku belanja baju dan aksesoris lainnya." Nina begitu antusias, dia senang sekali ditraktir olehku.Aku melihat Rina ke belakang, tapi dia sudah tidak ada. Ck! Gagal deh manasin hati dia. Rupanya dia mampir ke stand ice cream, dia begitu banyak membelinya. Ah aku gak peduli, sekarang pokoknya aku harus nyenengin Nina.***"Spaghetti bolognese sama steak sudah siap, Kak," ucap seorang waiters sambil meletakkan makanan tersebut dengan hati-hati. "Terima kasih, Mbak," balasku sambil tersenyum ramah. "Sama-sama, selamat menikmati," ucapnya lagi, sambil berlalu meninggalkan kami berdua. "Apaan sih, kamu sok ra
Hujan begitu deras saat aku sudah sampai di halaman rumah. Buru-buru memasuki rumah, pasti akan banyak yang bocor, aku mengambil ember-ember yang berada di kamar mandi untuk menampung air yang menetes dari langit-langit rumah. "Yap! Beres deh, tinggal bersantai ria." Aku bergumam sendiri. Oh iya aku lupa. Aku harus chat Nina, dia sudah sampai apa belum ya.(yang, gimana kamu sudah sampai belum?)Dua centang biru, pesanku langsung dibacanya.(Sudah, sayang. Aku sudah sampai di rumah) (Baiklah, selamat istirahat sayangku) Baru sadar, kalau aku sekarang sudah menjadi duda, berasa masih ABG aja. Hahaha. Gak papa lah, duda-duda juga keren aku. Ting! Satu pesan baru masuk lagi.(Yang, boleh minta transfer gak?) Apa? Gak salah nih. Nina, baru aja aku traktir udah minta di transfer. Buat apa, coba? (Buat apa, yang?)(Ih, ayang. Emangnya aku gak boleh ya minta uang sama pacar aku sendiri?) (Iya, boleh sayang. Maksudnya berapa yang kamu minta?) (Gak banyak kok, cuma lima juta saja) H
Aku menyangkal prasangkaku yang buruk. Mana mungkin dan mustahil, Nina seperti itu. Dah mendingan aku pulang saja.Ting! Pesan baru masuk.Nina(Terima kasih, sayang)(Sama-sama, sayang) Balasan pesanku hanya dibacanya. Huh! Dasar cewek!Sudah lama aku tidak melihat status teman-temanku. Mataku fokus pada status Nina. Lima menit yang lalu, dia membuat status. Sebuah foto dirinya dan laki-laki berambut putih, namun masih terlihat gagah dengan jas berwarna abu-abu.My sugar daddy love. Caption yang Nina tulis di foto mereka. Membuat hatiku mendadak panas.Apa-apaan ini? Apa Nina selingkuh? Kurang ajar! Saat aku ingin men-screenshot, tiba-tiba statusnya sudah hilang."Dihapus! Argh, apa dia tahu kalau aku sudah melihatnya? Mungkin dia lupa privacy statusnya. Benar-benar kurang ajar si Nina!" Aku marah sekali pada Nina, aku merasa bodoh banget jadi laki-laki yang hanya dimanfaatin doang.Aku kebingungan, harus ngapain sekarang. Apa aku harus ke rumah Nina? Aku mencoba menelponnya, dan
"Lu, jangan dulu putusin tu cewek. Lu pura-pura maafin dia. Terus lu bujuk tu cewek, biar dia membujuk si selingkuhannya itu untuk tidak berani melaporkan lu ke polisi. Laki-laki mah, pasti tunduk pada cewek dah!" tutur si Angga panjang lebar."Oke ide bagus tuh, gue telepon sekarang?" "Terserah lu, mau sekarang apa mau besok kek?" "Sekarang, keburu gue dilaporin."Aku mencoba menghidupkan kembali data, lalu menelepon Nina. Panggilan tersambung, langsung dia menjawab teleponku. "Halo, Nin? Aku sudah memaafkan kamu," ucapku, tanpa basa-basi. "Makasih, ya sayang. Aku cinta banget sama kamu." Si Angga malah ketawa mendengar percakapan kami berdua."Tapi, kita harus bertemu, Nin." "Dimana?" "Di rumah aku, sekarang. Gimana? Ada yang perlu aku bicarakan sama kamu, penting!" "Ya sudah, kita bertemu." "Gak papa gak aku jemput? Kamu masih ingat kan, rumah aku?" "Aku ke sana naik taksi online saja. Iya aku masih ingat kok, yang." "Oke, kalau begitu aku tunggu ya, sayang." Tut! Pangg
"Iya, kayaknya aku harus menjual rumah peninggalan bapak ini. Oke, sekarang aku harus memotretnya dan posting di grup jual beli rumah!" Tidak ada cara lain lagi selain menjual rumah ini, masalah tinggal dimana terserah nanti lah. Yang terpenting aku selamat dari debt colector. Luar rumah dan setiap ruangan sudah aku potret. Aku posting di grup jual beli dengan harga enam puluh juta, mengingat rumah ini berukuran kecil, dan banyak yang harus direnovasi. Semoga saja ada yang mau beli. "Maafkan Revan, Pak. Revan terpaksa jual rumah ini untuk melunasi hutang-hutang Revan," Aku bergumam sendiri, sembari memposting foto-foto rumah di beberapa grup. Rumah ini harus laku sebelum si penagih datang. Mbak Ratih? Ah, nggak. Aku ogah minta bantuan dia, orang dia udah ngusir aku. Aku sudah anggap dia bukan saudaraku lagi. Ting! Ada dua pesan baru lewat inbox.Oh, ternyata ada juga yang menanyakan rumahku, baru saja beberapa menit, sudah ada yang minat. [Lokasi di mana, bang?]Oh iya, aku lupa