Share

3. Ingin Jujur

*Dari sekian menu yang ada di hadapanku, yang paling aku sukai adalah menu-a bersama mu.

***

Aku masih berdiri dengan terbengong karena bingung apa yang harus kulakukan saat ini, ketika sebuah suara yang tidak asing terdengar.

"Siapa yang datang, Nis?"

Ayah muncul dari ruang makan.

"Loh, Nak Erick, kok mendadak kesini? Apa ada hal yang ingin dibicarakan? Kenapa tidak telepon saja?" tanya ayah sambil duduk di hadapan mas Erick.

"Bund, ini loh ada anak kita datang. Calon manten ini terlihat semakin ngganteng saja," sambung ayah tertawa.

Mas Erick langsung menyalami dan mencium tangan ayah dengan takzim.

"Kata Mama juga harus datang sendiri karena ada hal yang penting yang berkaitan dengan sedikit perubahan dalam pernikahan nanti."

"Ada perubahan apa?" tanya ayah mencondongkan tubuhnya semakin dekat ke arah mas Erick. 

"Eemm, begini. Keluarga kami yang datang rupanya lebih banyak dari perkiraan dan tidak jadi menginap saat H-1, tapi besok sudah mulai berdatangan ke penginapan yang dipersiapkan oleh Ayah."

Mas Erick tampak terdiam sejenak. 

"Karena kabarnya mendadak dan kesalahpahamannya dari pihak kami, maka biaya yang ditimbulkan ...,"

"Nak Erick, tolong jangan terlalu dipikirkan. Di sini yang bertugas sebagai tuan rumah itu kan Ayah. Jadi walaupun ada perubahan rencana dan jadwal, Ayah yang akan menanggung semua biaya akomodasinya."

Mas Erick tersenyum samar.

"Yang penting kalian bisa menikah dengan meriah dan Rengganis bahagia. Itu sudah cukup untuk Ayah."

Mas Erick tersenyum lebar.

'Astaga, dia begitu menjijikan. Padahal dia sekolah atas biaya Ayah. Sekarang saat keluarganya berbondong-bondong kesini dan membuat biaya membengkak, dia masih tega merencanakan hal yang buruk untukku. Sial*n. Lihat saja besok Erick!'

"Iya Yah. Saya juga sudah tidak sabar ingin menjadi menantu Ayah dan membuat Rengganis bahagia," tukas mas Erick sambil tersenyum padaku.

'Aaarrgggh!'

Rasanya ingin kucakar saja wajahmu itu!

"Ya kan, Ganis?"

Aku hanya tersenyum menanggapinya. 

"Ganis, kok cuma senyum? Calon suamimu nanya loh! Kok gak excited seperti biasanya?" tanya Ayah.

"Uhm, Rengganis nggak enak badan, Yah," jawabku pendek.

"Astaga! Sakit apa Sayang? perlu diantar ke dokter?" tanya mas Erick dengan tangan terulur hendak memegang dahiku.

'Oh, tidak semudah itu Fergusso! Enak saja mau megang-megang!' umpatku dalam hati dan secara refleks menghindari tangan mas Erick. 

Mas Erick dan ayah tampak terkejut melihat kelakuanku. 

'Bodo amatlah! Muak dengan kelakuannya yang sok yes. Harusnya kamu jadi aktor saja Mas. Bukan arsitek!'

"Uhm, Ganis pusing dan mual. Mungkin maaghnya kambuh. Ganis ke kamar dulu ya."

Akhirnya aku pamit dan berdiri meninggalkan mas Erick dan Ayah yang sedang duduk berdua. 

"Ganis, buketnya!" panggil mas Erick menghentikan langkahku.

Aku membalikkan badan lalu berjalan ke arah mas Erick yang mengulurkan buket bunganya padaku.

'Baiklah Ganis, mereka telah memainkan drama dengan baik. Sekarang sabar dulu saja. Ikuti permainan mereka sampai hari H tiba.'

"Makasih Mas Erick. Bunganya cantik sekali." 

Aku mengambil buket bunga dari tangan calon suamiku dan menciumnya sekilas.

Biasanya aku akan menghirup bunga kesukaanku dengan sepenuh hati.

Tapi entah kenapa sekarang melihat bunga mawar merah saja membuatku mual. 

"Ganis ke kamar dulu ya Mas. Lagi nggak badan." 

Aku mengulas senyum dan segera berlalu melewati bunda yang datang dari arah dapur membawa dua gelas teh hangat dan sepiring brownis.

"Loh, mau kemana Ganis? Bawa nampan ini dulu ke depan!"

Bunda keheranan saat aku melewatinya dengan acuh tak acuh dan langsung masuk ke dalam kamar.

Begitu pintu kamar kututup, buket bunga langsung kujatuhkan di lantai begitu saja. 

'Ya Tuhan, keluargaku sudah begitu baik dengan keluarga Mas Erick untuk menebus kesalahan yang dibuat ayah dulu. 

"Mas, tega kamu sama keluargaku. Apa kamu tidak lihat keluargaku tulus berusaha menebus ketidaksengajaan yang diperbuat oleh Ayahku padamu?" omelku sambil menangis dan memeluk guling.

Aku meraih ponsel dan ingin mendengarkan lagu. Karena biasanya jika suntuk aku mendengarkan lagu sampai tertidur pulas. Entah kenapa malam ini setelah melihat wajah Mas Erick, hatiku kembali sedih dan air mata jatuh satu persatu membasahi pipi.

Sebelum sempat aku membuka galeri musik, sebuah notifikasi pesan terdengar dari aplikasi hijau. Aku membuka dan membacanya. 

'Dari Dokter Reyhan? Ada apa lagi sih?' gumamku. Dan pertanyaanku ini langsung mendapatkan jawaban.

[Kamu tahu nggak, kenapa Tuhan menciptakan ruang kosong di antara jari-jari tangan manusia? Itu karena nanti suatu saat akan ada orang yang datang padamu untuk mengisi ruang-ruang kosong tersebut dan menggenggamnya erat untuk selama-lamanya.]

Aku tersenyum kecut setelah membaca pesan dari dokter muda itu. Segera kuketik balasan untuk menjawabnya.

[Hm, teorinya gitu, prakteknya yang susah!]

Langsung terbaca. Centang biru.

[Nggak susah kok. Buktinya kamu sekarang sudah menemukan orang yang tepat dan akan segera menikah kan?]

Aku tersenyum miris. 'Gini amat sih nasib. Padahal tiga hari lagi menikah, undangan juga sudah disebar, malah menemukan sesuatu yang harus membatalkan pernikahan. Duh!'

[Entahlah Dok. Saya sendiri nggak yakin akan menikah.]

[Hah? Apa kamu bilang? Jangan bercanda, Nis. Kamu tahu kan kalau bisa, pernikahan itu sekali seumur hidup. Jangan membuat pernikahan itu seperti sebuah permainan.]

[Justru karena saya menganggap pernikahan itu sakral, jadi saya mengkaji ulang rencana pernikahan saya.]

[Sebenarnya apa yang sedang terjadi padamu?]

Aku menghela nafas panjang. Ini dokter kepo banget dengan urusan sesama. Heran.

[Sudahlah Dok, nanti juga tahu sendiri. Mungkin akan viral.]

[Eh, ada apa sih? Cerita saja. Siapa tahu aku bisa membantu saran. Aku kan dokter cinta.]

Aku tertawa setelah membaca balasan dari dokter Reyhan. "Ini dokter narsisnya bukan main. Tapi kalau kumat seriusnya wajahnya serem banget kek demit. Tapi kalau lagi bercanda, kek badut. Tapi nggak garing,' batinku.

[Enggak ah. Dokter cinta apaan? Mana ijazahnya?]

Tak ada balasan walaupun pesanku sudah centang biru. Tapi sebagai gantinya, dokter Reyhan justru melakukan panggilan video padaku. 

"Astaga, Dokter Reyhan! Bisa-bisanya dia langsung telepon! Apa di sana tidak ada pasien?" gumamku sambil menekan tombol tolak dari layar ponsel. 

Baru saja aku mematikan data seluler dari ponselku , terdengar suara ketukan di pintu kamar dan suara bunda.

"Sayang, boleh Bunda masuk?" 

Aku segera menghapus sisa air mata dengan punggung tangan. Dan meraih ponsel. Pura-pura memainkannya.

"Masuk saja Bunda. Pintunya tidak dikunci."

"Ganis, kamu kenapa? Ada masalah dengan hubungan kalian? Tiga hari lagi kalian menikah lo."

Bunda masuk ke kamar dan mendekat ke arah ranjang lalu mengelus rambut panjangku.

'Ah, Bunda. Bagaimana kalau Bunda tahu apa yang sebenarnya direncanakan oleh mas Erick dan keluarganya padaku?'

"Ganis sakit perut. Penyakit maaghnya kambuh. Mungkin terlalu tegang menjelang akad."

"Oh, syukurlah kalau tidak ada masalah dengan hubungan kalian. Biasanya kalau mau menikah, ada saja rintangannya. Ya, namanya ujian sebelum berumah tangga. Sekarang kamu minum obat dulu ya," kata bunda lembut.

Aku mengubah posisi dari tengkurap menjadi duduk lalu menatap mata bunda dengan seksama.

"Bunda, seandainya Rengganis tidak jadi menikah dengan mas Erick, bagaimana?"

"Hah? Apa?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status