Namun yang membuat dadaku seperti ditusuk banyak pedang, ketika Mas Jaka mencium 0ipi wanita itu secara bergantian, begitupun sebaliknya. Setelah itu Mas Jaka mengusap pucuk kepalanya. Lalu membukakan pintu mobil untuk wanita yang sangat terlihat menggoda itu.Mataku memanas, sebisa mungkin aku menahan agar tak menangis sekarang. Kupegang erat stir mobil meredakan gemuruh di dalam dada.Lama kuperhatikan video itu, mereka langsung melajukan mobilnya. Kulempar ponselku ke atas sofa, lagi-lagi aku harus menahan sesak dalam dada.Tapi ada yang aneh disitu, aku kembali membuka video yang dikirimkan Nandini. Aku memperhatikan video itu dengan saksama.Disitu terlihat perempuan tersebut menggunakan pakaian khas seperti orang yang bekerja di kantoran. Apa dia bekerja bersama dengan Mas Jaka? Pikiranku mulai berkelana, memikirkan siapa dan darimana wanita itu berasal.Kenapa di video itu, terlihat seolah-olah hubungan mereka sudah terjalin lama. Jika benar, sungguh sangat hebat Mas Jaka men
Namaku Jaka Wijaya, papaku seorang pengusaha terkenal, sedangkan mama memiliki banyak toko butik. Jadi bisa dipastikan aku takkan kekurangan harta tujuh turunan.Aku dilahirkan dalam keluarga yang berkecukupan, dididik sedari kecil bagaimana cara mengelola perusahaan.Saat kuliah, aku menjalin hubungan dengan seorang wanita. Dia sederhana jauh dari kata kaya, dia baik, ramah kepada semua orang. Dia juga sering kulihat membantu Ibu kantin untuk berjualan.Aku menyukainya, aku mulai berani mendekatinya walau sebenarnya dia selalu menjauh. Dari mulai kukirim surat, setangkai bunga mawar. Namun tak kunjung dapat meluluhkan hatinya.Padahal apa kurangnya aku, tampan, cerdas, mandiri. Iya mandiri, mandi sendiri. Untuk urusan pekerjaan aku hanya meminta ayahku memberikan satu perusahaannya untukku dan akulah yang mengelolanya.Papa dan mama sangat memanjakanku. Apapun yang kuinginkan pasti akan selalu dituruti oleh mereka. Jadi wajar saja, jika sampai kuliah aku masih tak bisa hidup mandiri,
[Pulanglah malam ini, ada yang ingin kubicarakan! Jangan selalu beralasan lembur, aku juga perlu waktumu walah hanya semenit!]Begitulah isi pesan yang kukirimkan pada Mas Jaka. Kumatikan ponselku, aku tak ingin melihat penolakan pada dirinya.Aku akan memberikanmu kejutan, Mas! Perlahan tapi pasti. Aku berbicara pada diriku sendiri lalu menyunggingkan bibir sebelah."Kenapa kau?" Suara Nandini mengagetkanku dari rencana yang kupikirkan."Nggakpapa, aku mau bikin Mas Jaka kebablasan." Aku tertawa pelan, biarlah Nandini menganggap ku tak waras."Ini bukti kan udah terkumpul, gimana kalo kamu ngajuin perceraian. Aku rasa tidak akan memberatkan sidangnya nanti," ucap Nandini to the point."Nggak semudah itu, Nan. Bukti ini belum terlalu kuat, dan tentu saja Mas Jaka bisa mengelak nantinya." Aku berucap lirih.Aku tak pernah membayangkan keluarga yang kuimpikan harus berakhir nantinya. Aku bermimpi memiliki keluarga kecil yang bahagia namun akhirnya hanya kecewa yang ada.Kenapa kau mengi
Aku memejamkan mataku. Mengistirahatkan pikiran yang sempat lelah.Tunggulah, Mas. Besok aku akan pergi ke kantormu! Aku membatin dengan perasaan yang campur aduk.****Aku tertidur dengan sangat pulas, saat terbangun tak kudapati mas Jaka disini. Kemanakah dia? Aku bertanya-tanya pada diri sendiri.Ah, terserah lah apa peduliku. Toh, sebentar lagi kami juga tidak akan bersama. Aku harus membiasakan diri tanpanya.Cukup tadi malam aku terlihat bodoh, dan hampir saja membuat diri ini tersiksa. Bahkan juga bisa kehilangan nyawa.Entah jin apa yang merasukiku tadi malam sampai-sampai aku melakukan hal tak waras itu. Ah, mengingat kejadian itu aku bergidik ngeri sendiri.Untung saja Tuhan masih sayang terhadapku, dan sekarang dia memberikanku kesehatan sepenuhnya.Aku bergegas mandi membersihkan diri, di dalam kamar mandi aku mengingat kejadian malam tadi. Tiba-tiba aku tertawa sendiri. Ah, pokoknya betapa bodohnya aku tadi malam.Tok ... Tok ... Tok ...Pintu kamar mandi diketuk, aku ter
"Wah! Ada acara apa nih. Main pangku-pangkuan kayanya seru!" teriakku yang langsung melempar tas ke atas meja kerjanya.Mereka berdua terkejut, Mas Jaka mendorong wanita itu hingga bangkit dari pangkuannya.Sepertinya mereka baru menyadari kehadiranku. Keringat membasahi wajah kedua manusia yang ada di depan.Aku masih bersikap santai, kedua tangan kutaruh di pinggang layaknya seorang majikan yang marah sambil menatap pembantunya."Loh, kok dihentikan acara pangku-pangkuannya. Padahal aku lihat, seru loh." Aku berucap sambil menaikturunkan alis."Sayang, aku bisa jelaskan! Ini sama sekali nggak seperti apa yang kamu lihat dan pikirkan!""Ya sudah kalo begitu silakan jelaskan padaku! Agar aku tak terus berkelana dengan pikiran negatif yang sedang menari-nari dalam benakku. Cepat jelaskan!" tegasku penuh penekanan sambil menatap Mas Jaka dengan tajam.Entah kenapa tidak ada lagi rasa sakit, mungkin sudah terhempas jauh dari awal saat aku mengetahui penghianatan Mas Jaka.Mungkin saat in
"Lebih baik kita berpisah!" teriakku lantang sebelum meninggalkan ruangan itu. Masih sempat kulihat senyum meremehkan dari wanita itu.Aku berlari melewati karyawan, banyak tatapan iba dari mereka. Namun tak kuhiraukan. Tak ada airmataku yang keluar, hanya rasa benci yang tertanam sekarang.Masih terasa tetes demi tetes darah yang keluar dari hidungku. Hatiku sudah membeku, hancur lebur tak bersisa.Kuusap berkali-kali darah yang keluar, mungkin orang akan iba. Namun aku, aku merasa sakit ini tak terlalu menyakitkan.Kulewati kerumunan orang yang menatap dengan bingung, aku tak peduli. Aku terus berlari menuju mobilku.Entah kenapa air mata tak keluar, padahal jelas-jelas bibirku bergetar menahan sesak di dada.Bergegas aku masuk ke mobil, ku kirim pesan pada Nandini agar menyusulmu ke kantor Mas Jaka. Kukirim alamat kantornya, untuk saat ini sepertinya aku belum bisa membawa mobil sendiri.Lihatlah, bahkan saat aku berlari Mas Jaka tak mengejarku. Apa wanita itu lebih penting dari ak
Tapi apa?! Sekarang aku menangis lagi, karena luka yang ditoreh Mas Jaka bukan sekali tapi berkali-kali.Kuhapus sisa air mataku dengan kasar. Begitupun Nandini. Nandini melajukan mobil dengan kecepatan sedang.Jika bukan karena ia menangis, mungkin aku juga tidak akan menangis."Apa rencanamu?"tanya Nandini."Aku ingin mengobati bekas tamparan ini?"jawabku dingin sambil menatap lurus ke depan."Apa perlu kita melakukan visum?"tanyanya lagi."Tentu saja, ini akan kujadikan bukti di pengadilan," ucapku tegas."Apa kau yakin?" tanya Nandini sekali lagi."Tentu saja. Sudahlah Nandini apalagi yang perlu dipertahankan. Apa kau ingin aku dijadikan samsak saat dia marah," ucapku menatap Nandini tajam."Bukan begitu, siapa tau kau ingin mendapatkan bukti lebih," ucap Nandini."Bukti apalagi, bukankah ini sudah termasuk KDRT," ucapku tegas."Betul, siapa tau kau ingin memergoki mereka sedang enak-enak," ucapnya diiringi kekehan kecil."Ah, peduli badai lah. Mau mereka ngapain itu juga bukan ur
"Kurang ajar! Awas saja kau Jaka! Tidak akan aku ampuni dirimu."Ayah berteriak lalu mengambil vas bunga dan melemparkannya.Untung saja vas bunga itu terbuat dari bahan plastik, jadi tak mudah pecah. Aku menatap Ayah dengan perasaan yang berkecamuk.Baru kali ini aku melihat ayahku semarah ini, biasanya jika sedang marah Ayah pasti bisa mengendalikan amarahnya.Kugenggam erat pakaianku, rasa takut menyeruak di dalam dada. Ibu memelukku lalu mengajakku untuk duduk di sofa.Ibu pergi ke dapur dan kembali membawakan segelas air putih untukku.Aku meminumnya hingga tandas, tenggorokanku rasanya kering sekali. Seperti sudah lama tak minum.Kutatap Nandini yang melamun memandang vas bunga di lantai. Aku memandangi Ibu, sepertinya Ibu mengerti lalu menarik tangan Nandini.Nampak raut terkejut darinya, aku segera mengajaknya duduk di sofa.Sedangkan Ayah, dada Ayah naik turun. Nafasnya tak beraturan.Ayah meremas rambutnya frustasi lalu duduk di sofa lainnya."Ayah ...," panggilku.Baru saja