Share

Suara Merdu dari Surau

*Kekayaan sejati bukan diukur dari banyaknya harta yang kamu miliki, melainkan diukur dari hatimu yang merasa cukup.*

***

Ketukan pintu mbah Sarmi mengagetkan kami, ku usap sisa airmata yang ada di pipi. Mbah Sarmi bergegas membukakan pintu. 

“Kamu … !” 

Kuintip melalui celah kain yang menjadi pembatas ruang tengah dan ruang dapur. Mbok Inah? 

“Ada apa lagi, Nah?” tanya mbah Sarmi. 

“Mbah kan, yang bilang ke warga-warga sini, kalau tadi pagi aku dimarahi sama si Nia?” tandasnya

Hei, namaku disebut. Kubiarkan saja dulu mbah Sarmi melayani mbok Inah, aku penasaran apa yang akan terjadi. 

“Su’udzon kamu, Nah. Nyebut gusti Allah, kamu sendiri tahu, kalau disana bukan Mbah saja, kan?” 

“Halah, tapi Mbah yang lebih senior. Mereka mana berani sama aku, apalagi ceritain kejadian tadi,” 

“Senior? Makanan apa tu, Nah?” jawab mbah Sarmi lugu. 

Aku terkikik geli mendengar percapakan beda generasi tersebut. 

“Pokoknya, Mbah harus tanggung jawab!” ucap mbok Inah ketus. 

“Tanggung jawab? Emang kamu hamil anakku?” 

Kubekap mulutku agar tidak menimbulkan suara, ah, mbah Sarmi bisa juga bercanda di saat seperti ini. Kembali kubuka tirai, terlihat mbok Inah mengepalkan kedua tangannya dan tanpa kata, langsung menarik tangan mbah Sarmi dengan kasar. Mbah Sarmi terkejut, jika saja ia tidak memegang gagang pintu, mungkin ia akan jatuh tersungkur. 

“Pokoknya, Mbah harus katakan sama warga kampung, kalau … .”  

“Hei, Mbok. Lepaskan tangan Mbah Sarmi,” ujarku seraya keluar dari balik layar. 

Mbah Sarmi dengan cepat melepaskan tangannya dari genggaman mbok Inah, yang masih terkejut dengan kehadiranku di tengah-tengah mereka. 

“Inah, Inah, kualat kamu sama orang tua,” ucap mbah Sarmi seraya mengelus tangannya. 

“Kamu, lagi. Si miskin,” ucap mbok Inah sarkas, sambil melipat tangan didepan dada. 

“Mau Mbok, apa sih?” 

“Mau saya? Kamu harus minta maaf dan mengatakan kepada warga kampung, kalau kamu yang salah,” 

“Oke, dimana saya harus melakukannya?”  

“Kita ke surau, sekarang,” 

Baiklah mbok, ku ikuti permainanmu kali ini. Tanpa melepas mukenanya, mbah Sarmi telah jalan bersisian denganku. Sedangkan mbok Inah, berada didepan kami, berjalan dengan angkuhnya. 

Sampai di surai, kulihat beberapa warga sudah duduk disana, melihat kedatangan kami, suasana menjadi semakin ramai. Kulihat dipojok surau duduk mbak Risma dan mbak Atun, tertunduk ketika pandanganku tepat melihatnya. Mbah Sarmi semakin erat menggenggam tanganku.  

“Nih, mic nya sudah hidup,” Mbok Inah menyodorkan sebuah mic padaku. Aku tertegun. 

“Untuk apa, Mbok?” tanyaku lugu

“Ya, kamu umumkan lah. Biar semua warga kampung dengar dan tahu kalau kamu yang salah,” ucapnya tegas.

Kugaruk alisku yang tidak gatal, sebuah ide gila muncul dipikiranku. 

“Baiklah, Mbok. Jika itu memang keinginanmu,” kuraih mic yang masih ada di tangan mbok Inah. Senyumnya mengembang, sedangkan warga yang hadir mulai tenang tanpa mengeluarkan suara. 

“Nia, kamu yakin, nduk?” mbah Sarmi berbisik pelan di belakang punggung ku. 

“Sangat yakin, Mbah,” jawabku cepat. 

“Tes, tes, 1, 2, 3.” Layaknya seperti MC, aku pun mengetes suaraku. 

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya Nia, putri dari bapak Arman dan emak Halimah, mengumumkan ke warga kampung Kesuma, bahwa saya dengan sadar menyatakan tidak bersalah atas kejadian yang terjadi di kedai Mbok Inah. Saya hanya menanyakan, mengapa hutang kedua orang tua saya yang berjumlah tujuh puluh lima ribu, ketika saya bayar menjadi dua ratus lima puluh ribu. Sekian dan terimakasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” kuucapkan dengan perlahan, agar terdengar jelas oleh warga selain yang ada di surau. 

Seketika surau mendadak sunyi seperti kuburan, para warga melongo melihatku. Kuletakkan mic disembarang tempat, meraih lengan mbah Sarmi untuk segera beranjak. Tepat diambang pintu, terdengar ibu-ibu berteriak. 

“Mbok Inaaahhhh … .” 

*** 

Pukul 07.45 aku sudah duduk rapi di dipan depan rumah. Menunggu kedatangan Intan, yang akan menjemputku untuk pergi bersama ke sekolah. Sudah beberapa kali aku menguap, menghapus jejak air mata yang keluar. Setelah kejadian di surau, bapak dan emak menjemputku, dan setelahnya aku di sidang oleh mereka. Lima jam, bapak dan emak menceramahiku bergantian. 

Ah, bagaimana keadaan mbok Inah sekarang, ya? Kabarnya ia pingsan setelah mendengar pengumuman itu, dan dibawa ke puskesmas kampung Padi. Rasa bersalah kembali hinggap, mungkin setelah pulang dari sekolah aku akan singgah ke kedainya. 

Tin 

Tin 

Seorang gadis berbaju dinas coklat dengan jilbab senada duduk di kereta roda duanya. 

“Intan! Kamu Intan? Makin cantik aja,” ujarku menghampirinya. 

“Nanti aja temu kangennya. Yuk, naik, hari pertama jangan terlambat,” ucapnya seraya menyerahkan helm padaku. 

Setiba di sekolah, Intan mengantarkanku menemui kepala sekolah. Pak Wahyu, dengan kepala plontosnya memberikan arahan dan bimbingan.  

“Ayo, saya antar keruangan guru. Sekalian akan saya kenalkan dengan guru lainnya,” kuanggukkan kepalaku sebagai tanda setuju. Ku Ikuti langkah kakinya yang melewati beberapa ruangan kelas siswa. 

“Bukannya, kamu yang bersuara merdu itu, ya? Yang dari kampung Kesuma, kan?” ujar seorang guru berjilbab merah. Sontak guru yang ada diruangan melihat ke arahku, ah, apalagi ini, batinku. 

*** 

"Ha ha ha, enak ya sekarang, jadi terkenal," tawa Intan pecah saat honda yang dikendarainya meluncur meninggalkan sekolah. 

"Dih, iya kalau terkenal jadi artis kota, lah, ini," ucapku, aku yang duduk diboncengan sedikit mengeraskan suara, agar ia bisa mendengarnya. 

"Tan, menurutmu, salah gak, apa yang kulakukan kemarin?" 

"Hem, menurutku kelakuan mbok Inah, sudah di luar batas. Mungkin hanya kau yang bisa menyadarkannya," candanya.

Tak lagi ku balas ucapan Intan, kami terdiam sampai gapura kampung Kesuma terlihat. 

*** 

"Fik, temani Kakak, yuk," 

"Kemana, Kak?" 

"Jenguk mbok Inah," 

Taufik memuntahkan minuman dari mulutnya, memandang heran padaku. 

"Gak salah, Kak," 

"Hem, entah kenapa, Kakak kepikiran ucapan bapak dan emak semalam,"  

"Yowes, aku antarkan sekarang aja," 

Kami bercanda sepanjang perjalanan, adikku yang kini lebih tinggi dariku itu mulai menunjukkan kemiripan dengan bang Ilham. Paras dan wataknya hampir sama. 

"Kak, lihat," Taufik menunjuk dengan ujung dagunya. 

Mataku membulat sempurna, ketika membaca sebuah tulisan dengan arang di papan bawah kedai mbok Inah. 

'ORANG MISKIN (KELUARGA ARMAN) DILARANG BELANJA, 

@@@ 

Aww, aww 

Bersambung dulu mak ya.😍😍

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status