Share

Rencana Licik Abimana

"Javier!" 

Alpha berseru dengan mata berkilat tajam, pria itu benar-benar murka sekarang. "Aku peringatkan sekali lagi, hentikan hubungan konyol kalian sampai di sini, kamu tentu tau jika keluargamu juga tidak akan diam saja, Vier." 

"Dan aku tekankan sekali lagi, mereka tidak akan ikut campur dengan urusan asmaraku. Cukup kamu restui aku dengan Jenala, lalu semuanya beres." Abimana mengambil sikap defensif, ia tak mau jika perkataan Alpha mempengaruhinya. 

"Tidak! Mau kamu jungkir balik sekali pun, aku tidak akan setuju!" 

"Ssttt.. saya pusing sekali Jenala." 

"Papa…. jangan mengatakan seperti itu. Lihat, Om Abimana jadi pusing karena teriakan Papa." Jenala menggerutu pada papanya, lalu secepat kilat ia mengalihkan atensinya pada Abimana. Dan memijat pelan kepala pria itu. Membuat Alpha mendecih sinis melihatnya.

"Halah! Itu hanya bualan Javier saja!" Alpha mendelik ke arah Abimana. "Lebih baik kamu pulang, dan kita akan membicarakan ini di apartemen kamu besok pagi!"

"Papa, sudah ya. Biarkan Om Abimana istriahat dulu," ujar Jenala pelan, dia juga ikutan pusing mendengar gerutuan papanya yang tak ada habisnya.

"Kamu ini, dari tadi membela Abimana terus. Segitu cintanya kamu sama dia? Iya?!" sindir Alpha ketus. 

Jenala menggeleng panik, perempuan itu bahkan mencengkram lengan Abimana, lain halnya dengan Abimana yang mengulum senyum tertahan, rasa tak enak dalam dadanya kala Alpha membahas soal keluarga hilang tak tersisa ketika melihat raut menggemaskan Jenala.

"Papa…. tidak seperti itu! Maksud Jena, inikan sudah malam, tidak baik bertengkar disaat waktu istirahat. Belum lagi tetangga yang akan terganggu dengan keributan ini, jadi lebih baik Papa juga istirahat. Biar aku sama Om Abimana-"

"Kalian juga mau istirahat di kamar yang sama! Begitu? Astaga Jena, Papa sama Mama saja masih shock dengan hubungan konyol kalian ini. Dan kamu mau menambah tensi Papa lagi?!"

"Papa….!" Jenala meraup wajahnya frustasi, lalu menatap Abimana dengan mata berkaca-kaca. "Om.. bantuin, Papa saya mulai melantur tidak jelas…" Rengeknya sembari mencebikkan bibir. 

Abimana tersenyum kecil, ia melirik Alpha sekilas. Setelahnya Abimana memfokuskan pandangannya pada Jenala. "Memang jika sudah tua sering naik darah, biarkan saja. Yang terpenting saya cinta kamu."

"Om!" Jenala berseru sembari melotot tajam, dia menatap ke arah papanya yang siap mengeluarkan laharnya kembali. 

"Jena, Papa hitung sampai tiga. Jika kamu tidak kembali ke kamar kamu sekarang juga. Papa akan buat malam ini adalah terakhir kamu melihat Javier." Tekan Alpha disetiap kata-katanya. Raut dingin tak terbantahkan itu mampu membuat Jenala menelan ludah susah payah. 

Dengan perlahan Jenala beringsut menjauh, ia sempat menatap Abimana sekilas. Dan direspon kedipan mata oleh pria itu. Jenala menggeleng tak percaya, benar-benar om-om yang satu itu. Apakah dia tidak ada takutnya dengan ancaman papanya?

"Selamat istirahat calon istriku!" 

Abimana berseru ketika Jenala hendak mencapai pintu, membuat perempuan itu langsung berlari terbirit-birit menuju kamarnya. 

***

Jenala menguap ketika suara ketukan tak sabaran dari pintu kamarnya. 

Perempuan itu berdecak kesal, lalu melihat jam weker di atas nakas yang menunjukkan pukul enam pagi. Aneh, biasanya jam segini mama serta papanya sedang lari pagi di sekitaran komplek perumahan mereka. Tetapi, kenapa sekarang mamanya membangunkannya pagi-pagi buta begini?

Jenala pun melangkah malas-malasan menuju pintu, ia tak mempedulikan penampilan serta rambutnya yang masih awut-awutan sehabis bangun tidur. "Mama… ini masih pagi dan- ARGH! OM ABIMANA KENAPA ADA DI SINI!" 

BRAK!

Jenala menutup pintu kamarnya kuat, bahkan dindingnya sampai bergetar. Jantung Jenala bertalu-talu dengan nafas terengah. Kini rasa kantuknya tergantikan oleh rasa kaget luar biasa. 

Bagaimana ini, penampilannya pasti membuat Abimana ilfil, Jenala menggigit bibir bawahnya, sungguh, dia ingin menghilang detik ini juga!

"Jenala, tolong bantu kompres wajah saya, karena tangan saya tiba- tiba sakit." 

Terdengar seruan Abimana dari balik pintu. Jenala semakin dibuat serba salah sekarang. Lagipula mengapa Abimana masih di rumahnya, Jenala pikir pria itu sudah pulang semalam. 

"Jenala, tidak usah malu. Kamu tetap cantik kok. Walaupun rambut seperti singa, serta terdapat bekas iler di sudut bibir."

Jenala mencebik.Tolong, itu pujian atau hinaan! Jenala menarik nafas dalam-dalam sebelum memutuskan untuk keluar, bahkan perempuan muda itu tak mau repot-repot membenahi penampilannya. 

"Apa! Om ini ganggu sekali. Masih pagi juga, ayam saja belum bangun!" 

Abimana menatap Jenala dalam, jika dilihat lebih teliti, ada sorot geli pada netra hazel itu. "Kamu tidak membersihkan wajah dulu? Atau menguncir rambut, misalnya?" 

Jenala mendelik kesal. "Om bilang tadi saya tetap cantik dengan penampilan seperti ini, dasar tidak konsisten! Ya sudah, katanya mau saya mandikan, ayo cepat. Sebelum saya berubah pikiran!"

Jenala yang tersadar akan apa yang ia ucapkan dengan cepat melarat. "Ma-maksud saya, ya… eum.. saya kompres wajahnya Om." Jantungnya memompa lebih cepat dikala Abimana mulai beringsut mendekat padanya.

"Ayo, saya juga mau." bisik pria itu lirih, membuat bulu kuduk Jenala meremang.  

Namun, dengan cepat perempuan itu mengubah raut wajahnya, ia mendongak menatap tepat pada netra memukau itu. "Dasar mesum! Maksud saya bukan yang itu!" 

Abimana melangkah mundur, lalu bersedekap dada. Dia menatap Jenala dengan tatapan geli. "Lho, memangnya saya mengatakan apa? Lebih baik bersihkan wajah saya secepatnya, takutnya kamu lepas kendali dan menyerang saya di sini." 

Setelahnya Abimana melenggang santai menuju kamar yang ia tempati semalam, meninggalkan Jenala yang mencak-mencak sembari meremas rambutnya gemas.

***

"Stt …. pelan-pelan, kamu kasar sekali." 

"Diam, ini juga saya sudah selembut mungkin."

"Awh… kamu menekannya terlalu kuat."

Jenala memejamkan mata kesal, benar-benar om yang satu ini. Manjanya luar biasa, padahal bekas lukanya juga tak separah itu. 

"Kalau Om tidak mau diam, saya tinggal tidur nih! Biar Papa saja yang bersihin wajah Om!" Jenala menekan kuat sudut bibir Abimana, membuat pria itu meringis menahan perih.

"Sabar-sabar… nanti anak kita takut kalau Mamanya emosian." Abimana menepuk lembut pucuk kepala Jenala. Sedangkan Jenala yang menerima serangan tak terduga itu hanya mengulum bibirnya.

"Om, kalau keluarga Om dan keluarga saya tetap tidak setuju, apa sebaiknya kita berhenti sampai di sini?" 

Jenala tersentak kala tangannya dicekal kuat oleh Abimana. Perempuan itu terpaku melihat perubahan ekspresi Abimana, tak ada raut jenaka seperti tadi. Kini tergantikan oleh mimik geram menahan emosi. 

"Sepertinya kamu melupakan kesepakatan kita, jika dilarang mengatakan hal seperti ini. Dari mana keberanian kamu itu berasal, Jenala?"

Jenala menelan ludah susah payah, padahal niatnya hanya mengalihkan pembicaraan, tapi mengapa respon pria itu sangat serius. 

"Lepas, Om. Sakit…." Jenala berucap takut-takut, Abimana yang tersadar akan apa yang ia lakukan dengan segera menormalkan ekspresinya. Bahkan kini dia mengusap pergelangan tangan Jenala. Sesekali mengecupnya penuh kelembutan.

"Maaf, saya lepas kendali. Dan untuk seterusnya, boleh saya minta untuk jangan mengatakan hal konyol seperti ini lagi?" Jenala terdiam, ia membuang pandangan ke arah lain sambil mengusap pergelangan tangannya. Abimana yang melihat itu menghela nafas berat. 

"Jenala, semuanya akan baik-baik saja. Kamu tidak perlu mencemaskan apapun. Dan jika keluarga kamu sudah menyetujuinya, saya akan membawa kamu ke rumah keluarga saya. Apa kamu siap?"

Jenala menoleh cepat ke arah Abimana, perempuan itu meremas kedua tangannya. Padahal tadi Jenala memancing duluan, namun saat akan dikenalkan, ia menjadi gugup tak menentu. 

"Om, saya hanya bercanda. Lupakan saja oke, bukankah waktu kita masih banyak? Lebih baik kita pikirkan bagaimana caranya meluluhkan orang tua saya dulu." 

Abimana tersenyum miring, lalu mengusap kening Jenala pelan. "Kamu mau tau caranya supaya direstui oleh Papamu?" bisik Abimana pelan. 

Jenala menggeleng polos, keningnya berkerut seolah-olah meminta penjelasan lebih. 

Abimana beringsit mendekat, lalu menangkup pipi Jenala. "Pejamkan mata kamu, dan hitung sampai tiga. Maka kamu akan mengetahui jawabannya." 

Memang pada dasarnya Jenala yang polos, dengan mudahnya ia mengikuti perkataan Abimana. 

"Cup"

Jenala menegang kala merasakan keningnya dicium penuh kelembutan. Tak lama kemudian terdengar seruan murka dari arah pintu. 

"JAVIER BRENGSEK, KAMU APAKAN PUTRIKU!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status