Tepekur di atas kursi taman yang menghadap kolam ikan, lobus frontalisnya merepetisi setiap kejadian di masa lampau dengan penuh penyesalan. Kata andai yang mengiringi setiap embusan napas yang terpeta pada luruhan di kedua pipi menjadi saksi bahwa pribadi tangguh itu kini tengah mencapai titik lelah.
Segala bentuk penghakiman yang dilayangkan orang-orang di dalam rumah mewah itu terkadang begitu menyakitkan, terlebih suami yang seharusnya menjadi tameng kokoh pelindung ikut serta menjadi penyebab lara.
Tangannya tengah sibuk menghapus jejak air mata di pipi tatkala menyadari sebuah jaket menyampir apik di kedua pundaknya.
"Kau kenapa, Noona? Di sini dingin." Dia Jimmy--adik Yunki--salah satu penghuni di rumah mewah keluarga Shin yang bersikap ramah seperti Sunhee.
Pria bersurai keemasan itu membentangkan senyum kelewat tulus yang serta-merta menghangatkan hati Jihye. "Apa Yunki hyung menyakitimu? Aku melihatmu berlari sambil menangis."
Jihye mengulas senyum lantas mengembuskan napas panjang. "Ini pertengkaran rumah tangga biasa, Jim."
"Apa dia selalu kasar seperti ini? Maksudku ... bajumu ...." Pria itu menunjuk kemeja Jihye yang sedikit terkoyak dengan pendar penuh kekhawatiran. "Kalau kau ingin bercerita, aku selalu siap mendengarkan."
Jika sebelumnya Jihye berkata semua orang yang berada di rumah ini membencinya, dia menarik kembali ucapan itu, dia nyaris saja melupakan entitas pria baik hati seperti Jimmy.
"Terima kasih ...," lirih Jihye, lagi-lagi pelupuknya menghangat.
Jimmy menepuk pundak Jihye lembut. "Menangis saja sepuasnya, aku akan menemanimu."
Terkadang saat semuanya sudah tak tertahankan, menangis adalah salah satu jawabannya. Segala bentuk perlakuan Yunki yang begitu dingin selama ini, ditambah perkataan sarkasnya bisa Jihye atasi dengan hati kelewat tangguh. Namun, pria itu telah melewati batasnya hari ini dan gadis itu merasa terhina.
Ditemani Jimmy si pria lembut dengan binar begitu teduh, gadis itu tidak lagi terisak, melainkan menangis begitu kencang mengeluarkan segala kelesahnya mengalahkan suara jangkrik yang bersahutan dengan suara kodok di sekitar kolam yang menjadi backsound pada malam tenang di sana. Sampai sebuah tepukan tangan memburai semuanya.
"Sayang, tidak baik seorang wanita yang sudah berstatus istri orang malah berduaan dengan pria lain." Dengan roman tak terbaca Yunki menghampiri Jihye dan Jimmy. Jari-jemarinya meraih jaket di pundak Jihye lantas menggantinya dengan jaket yang dia pakai.
"Aku hanya menemani Noona di sini, Hyung. Tolong jangan salah paham," terang Jimmy.
"Simpan perhatian lebihmu itu, Jim. Istriku sudah mendapatkan seluruh perhatianku." Yunki merendahkan tubuhnya di depan Jihye, tangan pucatnya meraih jemari gadis itu lantas meremasnya erat. "Maafkan aku. Ayo kembali ke kamar, aku tidak ingin kau sakit nanti."
Jihye tahu, tentu saja pria di hadapannya itu sedang memainkan perannya. Bersikap manis hanya untuk menutupi topeng busuk dari hubungan mereka, sungguh dia lelah. Namun, energi gadis itu benar-benar terkuras hari ini. Maka berjalan dengan tundukkan kepala kian dalam gadis itu memilih geming untuk kemudian melanjutkan tangis dalam redaman bantal yang menyembunyikan wajah sembabnya.
Diam-diam Yunki menatap punggung Jihye yang tampak naik turun dalam keteraturan yang tidak wajar. Berkali-kali pria itu menyugar surainya disertai dengkusan lirih.
Ya, ada secercah rasa bersalah yang kini menggelayuti hatinya. Dia akui, dia memang keterlaluan tadi, tetapi tendangan Jihye juga tidak main-main.
Aku sudah minta maaf, kan?
Yunki memilih mengedikkan bahu, melangkahkan tungkainya keluar kamar lantas mendudukkan bokong di mini bar rumah mewah itu. Menenggak bersloki-sloki Corriveckan Whisky dengan beberapa kali mengacak rambutnya. Sungguh, sikap Jihye tadi mengusik relungnya.
Bagaimanapun, Jihye masih begitu asing. Tiba-tiba saja datang ke dalam hidupnya mencoba menjadi seseorang spesial yang tentu saja Yunki tidak bisa begitu saja menerima.
Memainkan bibir sloki di tangannya, nalar pria itu terbang ke masa di mana dia bertemu dengan Seo Jihye untuk kedua kalinya.
TTT
Pribadi dengan setelan jas biru tua itu mengetuk-ngetukkan jemari pucatnya dengan sesekali mendecih tak sabar sambil menatap ke arah pintu masuk.
Tidak lama setelah sedotan terakhir americano di tangannya habis bersaing dengan kesabaran yang nyaris saja tandas. Suara gemerincing lonceng di atas pintu masuk terdengar, menampilkan gadis dengan dandanan yang ... well ... jelas bukan tipenya menghambur dan tersenyum ke arahnya.
"Apa kau tahu, aku ini jenis pria yang menganut paham time is money?" protesnya sambil melipat kedua tangan.
"Maaf, Tuan. Hari ini restoran tempatku bekerja sedang ramai sekali." Gadis itu melontarkan alasan dengan roman penyesalan yang begitu kentara.
"Duduk," ucap pria itu menunjuk kursi dengan dagunya lantas menyodorkan map cokelat.
"Apa--"
"Baca baik-baik, aku sudah mengatur semuanya."
Gadis itu membuka amplop tersebut, lantas membacanya dengan saksama, menggerakkan kepala ke kiri dan kanan dengan sesekali kernyitan menyertai di bawah sorot tajam si pria pucat.
"Me-menikah? Maksudnya kau akan menikah de-denganku?" Gadis itu menunjuk hidungnya dengan mata membulat menggemaskan.
Pria itu terkekeh. "Mungkin menikah dengan pria kaya sepertiku adalah impianmu sejak kecil, hm? Nona ...." Pria itu menjeda lalu melirik kertas di tangannya dan melanjutkan. "Seo Jihye?"
Mendengar penuturan menyebalkan tersebut gadis itu jelas kesal bukan main, maka sebagai reaksi Jihye malah tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk wajah si pria pucat yang tentu saja menarik atensi dari orang-orang yang berada di restoran itu. "Astaga, percaya diri Anda kelewatan, Tuan ...." Jihye menjeda untuk melirik kertas di tangannya lantas berkata, "Shin Yunki." Tentu saja apa yang dilakukan sang gadis mengikuti gaya si pria pucat itu.
Sejak awal, bahkan Jihye dapat mendeteksi adanya gestur merendahkan dari Yunki saat menatapnya. Jadi tanpa berpikir panjang sang gadis berdiri dengan maksud pergi meninggalkan pria angkuh itu. "Dan satu lagi Tuan Shin, pria dengan wajah kucing seperti Anda, tentu saja bukan tipeku. Astaga ... melukai harga diriku saja."
Yunki hanya bisa membuka mulut lalu mengatupkannya kembali seolah silabel yang selalu lancar keluar dari mulutnya terserap habis oleh presensi gadis itu.
Apa? Wajah kucing? Harga dirinya terluka dia bilang?
Netranya memicing memperhatikan punggung Jihye yang mulai menjauh.
"Yang benar saja." Dengkusan diikuti entakan kaki di bawah meja yang mengundang sejuta kesal di dada Yunki mengantarkannya berdiri untuk menyusul gadis itu.
Namun, tentu saja Shin Yunki mendapatkan apa yang menjadi keinginannya. Pria itu harus membentangkan senyum tatkala melihat gadis itu menghampirinya kembali dengan roman tak terbaca.
"Menyesal?" tanya pria itu penuh kemenangan.
Jihye menatap tak kalah angkuh seakan dia terpaksa menemuinya lagi, dan benar saja bentangan senyum yang terpeta di wajah Yunki serta-merta berubah tatkala netranya disuguhkan wajah sang nenek—Shin Sunhee—yang tersenyum lebar.
"Kalian ini apa tidak bisa? Tidak bertemu dulu menjelang pernikahan, hm? Aigo, anak muda jaman sekarang." Sunhee menepuk pundak Yunki begitu keras dengan kekehan geli.
Yunki melirik Bu Ahn—asisten pribadi sang nenek—memberikan pertanyaan dengan sorot matanya.
"Nyonya Shin memaksa ingin jalan-jalan, Tuan, dan kami bertemu Nona Jihye di depan."
Yunki mengangguk lantas menggeser kursi di sebelahnya.
"Sayang, duduk di sini." Menatap Jihye dengan tatapan lembut dan bentangan senyum terlihat tulus yang tentu saja palsu.
Jihye otomatis menurut seperti anak anjing lucu bila dirinya dihadapkan dengan presensi Shin Sunhee yang menatapnya dengan binar penuh harap.
TTT
Masih dengan suasana hati kelewat muram, pria itu menenggak minuman terakhirnya. "Seo Jihye apa motifmu di balik semua ini? Bagaimana bisa nenek begitu menyayangimu?" ucapnya lirih.
Jihye sedang tidak bermimpi, di balik gemingnya mengatur tangis tertahan di atas ranjang besarnya bersama Yunki, lagi-lagi dia harus merangkum setumpuk masalah yang menderanya akhir-akhir ini. Pertemuannya dengan Shin Sunhee dan pertemuannya dengan Yunki mengantarkan mereka pada sebuah perjanjian yang ternyata membuat hidupnya menjadi penuh drama.Kembali ke hari itu, saat Shin Sunhee akhirnya meninggalkan mereka berdua di kafe. Tensi yang terjadi di antara keduanya cukup menurun."Apa kita bisa berbicara baik-baik, Nona Seo Jihye? Kita bisa mendiskusikan kembali poin-poin itu kalau kau keberatan." Tangan pucat dengan otot kebiruan yang menonjol pada setiap ruasnya itu menyerahkan kembali amplop cokelat yang serta-merta Jihye baca kembali dengan saksama.Wedding Agreement antara Shin Yunki dan Seo Jihye1. Seo Jihye bangun lebih awal untuk menyediakan segala keperluan Shin Yunki bekerja, seperti m
Mungkin beginilah rasanya tidur di atas lautan busa kelewat empuk yang konon didatangkan langsung dari Eropa, ditambah sprei super lembut berbahan jacquard tencel yang begitu nyaman membuat siapa pun akan betah berlama-lama berbaring di sana.Sinar fajar pertama sudah tergurat pada bentangan langit di luar sana, mengundang obsidian sepekat jelaga itu untuk menyusuri garis wajah sang istri. Gadis itu tertidur pulas tampak begitu nyaman bergelung manja dalam dekapannya.Well, harus dia akui bahwa pribadi di hadapannya itu terlihat sangat cantik, polos sekaligus menantang. Jangan lupakan tangisan lirih Jihye yang mau tidak mau mengusik ketidakpeduliannya selama ini. Pribadi kelewat datar itu menyadari bahwa begitu banyak hal yang tidak dia ketahui mengenai teman hidupnya itu."Kau hampir melanggar semua poin dalam perjanjian kita," kata Yunki dengan intonasi datar tatkala pelupuk besar Jihye mulai terbuka. Terhitung sepul
Mari kita cari tahu apa saja yang sebenarnya terjadi. Pada hari itu, apa yang dikatakan dr. Kim cukup membuat suasana hati Yunki menjadi buruk. Kesehatan sang nenek yang mengalami penurunan terutama pada bagian daya ingat membuatnya mau tidak mau harus bersiap untuk mengemban tugas tertinggi di Shin Geum Corp."Ini baru gejala awal, tetapi aku menyarankan agar Nyonya Shin segera pensiun dari dunia kerja untuk menghindari beban kinerja otaknya. Sudah waktunya kau menjadi pimpinan, Yun ." Kim Junho--sahabat sekaligus dokter pribadi Keluarga Shin--menepuk pundak Yunki pelan lantas melenggang ke arahcoffeemakerdi sudut ruangan.Yunki memijat pelipisnya dan mendengkus kasar, membayangkan beban baru yang benar-benar berat itu. "Apa tidak ada obat yang bisa menyembuhkannya?""Demensia tidak bisa disembuhkan, hanya bisa diperlambat. Sebisa mungkin hindari segala sesuatu yang membuatnya stress. Bahagiakan dia, ikuti semua k
Pagi yang nahas bagi Jihye dan gadis itu tidak dapat memetakan hatinya. Teriakan Shin Sunhee yang histeris ketika mendapati dirinya dan Yunki tertidur di atas sofa yang sama dan saling menggenggam tangan, itu jelas terlihat sangat buruk. Salahkan dirinya yang mudah sekali tertidur di mana saja saat kelelahan mendera.Belum lagi tatapan menuduh pria itu, membuatnya percaya bahwa segala niat baik tidak selalu diterima dengan baik jika orang yang kita tolong tidak tepat.Setelahnya, Jihye menghabiskan sekitar satu jam duduk tepekur dengan kepala menunduk bersama Yunki di sebelahnya yang tampak masih merangkum pemahaman dengan keadaan yang ada. Mereka hanya mengangguk-angguk mendengarkan ceramah panjang lebar Shin Sunhee yang ajaibnya menatap Jihye dengan binar penuh suka cita."Kalau kalian sering bermalam seperti ini, lebih baik segera menikah," ucap Sunhee sungguh-sungguh. "Nona cantik, siapa namamu?""Se-Seo Jihye, Nyonya," cicit Jihye dengan keadaan hati
Desahan panjang bersama peluh yang membanjiri tubuh menyertai suasana paginya. Jika pikiran kalian sedangtravellingpada hal yang tidak-tidak, maka tolong segera hentikan. Karena Jihye saat ini sedang membersihkan rumah, jenis pekerjaan yang memang cukup mudah, tetapi membutuhkan energi yang sangat besar.Sejak pukul tiga dini hari, dia sudah bangun dan mulai melakukan aktivitasnya. Hari Sabtu, Jihye dan Yunki berjanji pada Sunhee akan berkunjung ke rumah besar.Apartemen sudah rapi dan bersih, sarapan pagi sudah tergelar di atas meja, dirinya pun sudah mandi dan berganti pakaian. Tugasnya sekarang adalah menyiapkan air hangat untuk sang suami dan membangunkannya.Apa yang terjadi setelah insiden tenggelam dibathtubdangkal itu? Yang dilakukan Jihye adalah bermain petak umpet. Sebanyak mungkin dia menghindari kontak mata dengan Yunki dan bagian lucunya setelah menyiapkan air hangat dibathtub, dia akan menyet
Aku tahu aku cantik, tidak usah menatapku seperti itu, Shin Yunki-ssi," ucap Jihye ringan, melupakan presensi Sunhee di ruangan itu. Kecantikan Jihye yang diam-diam Yunki kagumi itu, tiba-tiba luntur akibat kalimat yang baru saja terlontar. Pria itu memilih mengedikkan bahu dengan ulasan senyum tipis. Sementara ledakan tawa Sunhee menyadarkan Jihye. "Nenek!" Pekiknya tanpa sadar, "maaf kukira tidak ada Nenek di sini." "Aku tidak sabar menanti cicit-cicitku kelak," ucap Sunhee masih dengan tawanya. "Yunki-ya, kenapa belum juga membuat istrimu hamil,eoh?" Pribadi bermata sipit itu menatap Jihye dengan tatapan tak terartikan. "Mungkin, kalau sudah saatnya nanti, Nek." Mata Jihye sukses membola berusaha mengartikan silabel yang baru saja Yunki lontarkan. Sebelum akhirnya menggeleng samar. "Sebaiknya aku antar Nenek ke kamar, ya? Nenek harus istirahat." ***
Bila ditelaah kembali dan ditepekuri dengan tenang sambil menyesap kepulan teh hangat di kursi santai yang terdapat di balkon apartemen. Kehidupan pernikahannya bersama Shin Yunki yang sudah berumur tiga bulan lebih itu tidaklah terlalu buruk. Diam-diam Jihye mulai berhitung berapa banyak hal tidak terduga yang terjadi di dalam hubungan mereka.Setidaknya Yunki bukan seseorang yang senantiasa kasar, walau seringkali Jihye merasa jengkel setengah mati karena lembaran kewajiban yang harus dia lakukan di rumah itu kelewat banyak dan kadang membuat kesal. Seperti suhu air dibathtubyang harus bersuhu tiga puluh tujuh derajat itu, ini salah satu perintah Yunki yang tidak masuk akal dan seringkali Jihye dikomplain karena suhu airnya tidak sesuai. Kenapa tidak sekalian saja dia menyuruh Jihye menabur kelopak bunga mawar di dalamnya. Sungguh merepotkan.Gadis itu masih saja bergidik mengingat sikap manis nan keren Yunki saat di pesta minggu lalu. Mungkin di
Yunki mengembuskan napas berat dan panjang, mencoba konsentrasi pada apa yang tengah dikerjakannya--proyek besar mengenai pembangunansmart citydi daerah Busan--tetapi, fokusnya hilang saat kelebatan wajah marah Jihye terus saja muncul."Argh! Bisa tidak, kau tidak terus muncul, Hye!" ucapnya geram pada sosok imajiner yang mengusik otaknya.Yunki sangat gusar, mengacak surai legamnya kasar lantas berdiri menghadap kaca besar, mencoba mencari ketenangan pada bentangan alam Seoul yang hari ini tampak cerah. Sayang, hal itu tidak berhasil, hingga bunyi dering ponsel menarik atensinya, menampilkan nama Jeongguk di layar benda pipih itu."Ya," jawab Yunki datar."Hyung,tidak lupa 'kan? Makan siang bersamaku?""Ya," jawab Yunki malas. Sebenarnya janji dengan adik kelasnya saat kuliah di Amerika sekaligus salah satu direktur Shin Geum Corp itu dia lupakan sama sekali."Oke, sampai bertemu nanti. Ada s