Share

Bab 4 SUAMIKU TAK TAHU AKU ISTRINYA

Kali ini aku memang belum mendapat kesempatan untuk memberitahu Bapak dan Ibu kalau aku adalah Sundari.

Perubahanku memang sangat jauh berbeda dari Sundari satu tahun yang lalu. Makanya Bapak dan Ibu juga tidak mengenaliku. Bahkan, diriku sendiri saja kadang masih tidak percaya kalau Rubi adalah Sundari.

Hemh .... Bagaimanapun, aku harus mencari cara agar bisa bicara dengan Bapak ataupun Ibu.

Kurang ajar. Kalian telah menjadikan kedua orang tuaku sebagai pembantu.

"Rubi ... ayo dimakan! Jangan malu-malu! Anggap saja di rumah sendiri! Siapa tahu berjodoh sama Ardian."

Seketika netraku membulat sempurna mendengar ucapan dari Nyonya Mala.

Berjodoh?

Maksud dia, aku berjodoh dengan Ardian? Heh ... aku ini menantu kamu Nyonya Mala. Istri dari Ardian. Tapi aku tidak ingin berjodoh dengannya.

"Mama ... kenapa bicara seperti itu? Ngga enak sama Rubi," sela Ardian.

"Tapi Kak Ardian memang sangat cocok dengan Kak Rubi. Kak Ardian ganteng dan Kak Rubi cantik. Lagian status sosial kita seimbang, Kak." Flo ikut nimbrung bicara. Sedangkan aku sendiri masih terdiam mendengarkan mereka bicara.

Sungguh memuakkan ucapan mereka. Sama sekali tidak ada yang memikirkan soal Sundari.

"Maaf ya, Bi! Mama dan Flo memang suka begitu."

Aku menganggukan kepala dengan mengulas senyum tipis. "Tidak apa-apa Ardian."

"Ayo dimakan, Bi! Semua makanan ini spesial untuk menjamu kamu," terang Ardian.

Masakan Ibu? Ya, ini masakan Ibu. Aku sangat merindukan masakan ini, ucapku dalam hati ketika makanan tersebut sudah masuk ke dalam mulut. Dan rasanya tidak ingin berhenti melahapnya.

Rindu ini semakin terasa. Air mataku sudah mulai berkumpul di pelupuk mata. Tapi aku tidak boleh terbawa perasaan dalam situasi seperti ini. Bisa-bisa mereka akan curiga.

"Enak sekali masakannya. Siapa yang masak semua ini, Tante?" tanyaku basa-basi.

"Ah, masakan biasa saja, Bi. Pembantu di rumah ini yang masak semuanya. Tapi memang Tante minta dia masak menu yang spesial."

Pembantu, ya, pembantu. Sebutan yang dulu selalu di lontarkan untuk menyebut diriku. Sekarang sebutan itu Nyonya Mala lontarkan untuk menyebut ibuku yang tak lain besannya sendiri.

Nyonya Mala. Aku sampai sudah terbiasa menyebutmu dengan sebutan Nyonya. Karena aku ini dulu hanya dijadikan pembantu dan harus menyebut kalian dengan sebutan Nyonya, Tuan, Nona. Hah ... orang-orang gila hormat.

"Boleh saya bicara dengan pembantu yang Tante maksud?"

Seketika raut wajah mereka terlihat bingung dengan keinginanku tersebut.

"Bicara dengan pembantu di rumah ini? Untuk apa, Bi?" tanya Ardian yang langsung menghentikan makannya.

"Memangnya kenapa? Ada yang salah? Atau ... tidak boleh?"

"O - oh, boleh, Bi. Sebentar Tante panggilkan."

Nyonya Mala langsung menggeser kursinya dan berjalan menuju ke belakang.

Tidak lama aku melihat Ibu dan Nyonya Mala berjalan ke arahku.

"Dia, Bi. Pembantu di rumah ini. Dan semua masakan yang terhidang, dia yang masak," jelas Nyonya Mala.

Sesaat aku memandang Ibu yang terlihat menundukkan kepala. Terlihat sekali beban batin yang beliau pendam.

"Saya Rubi," ucapku seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman.

Seandainya tidak ada mereka, pasti Sundari sudah memeluk erat Ibu.

"Pang - panggil saja saya Bibik, Non!" jawab ibu dengan nada pelan.

"Tante, boleh 'kan Bibik ini duduk dan makan bersama kita?" tanyaku membuat Nyonya Mala hanya terdiam mematung.

Kluntang

Bahkan Flo sampai menjatuhkan sendok yang dipegangnya.

"Maksudnya. Saya ingin bicara dengan Bibik. Makanya sekalian biar Bibik duduk bersama kita di meja makan."

"Jangan, Non! Nanti saja kalau semua sudah selesai makan. Baru Non bicara dengan Bibik," jawab ibu menolak. Dan terlihat sekali kalau Ibu begitu takut.

"Saya tidak bisa lama-lama di sini, Bik. Mungkin habis makan malam ini, saya akan langsung pulang. Banyak urusan yang harus saya selesaikan. Makanya sekalian kita bicara di meja makan."

"Ta - tapi."

"Boleh 'kan Tan, Ardian, Flo? Maaf kalau saya jadi lancang."

Terlihat sekali kalau mereka keberatan.

"Ya sudah, Bi. Tidak apa-apa. Silahkan!" jawab Ardian dengan mengelap bibirnya menggunakan tissu.

Aku pun langsung menggandeng tangan Ibu dan menyuruh beliau duduk di sampingku.

"Bik. Apa Bibik bersedia datang ke rumah saya? Sehari saja. Untuk masak semua makanan yang saya inginkan?"

Uhuk uhuk uhuk

Nyonya Mala yang baru saja meneguk air putih langsung batuk karena tersedak.

"Ka - kamu ngga salah, Bi? Mak - maksud Tante, di rumah kamu pasti sudah ada pembantu juga 'kan?"

"Ada Tante. Di rumah ada beberapa ART yang mengurus semua pekerjaan rumah. Tapi saya sangat menyukai masakan Bibik. Masakannya mengingatkan saya pada masakan Mama. Kebetulan Mama tinggal di luar negeri. Jadi jarang sekali saya bertemu. Tadi saat makan masakan ini, saya tiba-tiba rindu masakan Mama."

"Tapi dia itu bukan orang baik-baik, Bi. Tante takut kalau dia akan melakukan hal yang memalukan. Seperti mencuri. Dia di sini karena menggantikan anaknya yang tiba-tiba pergi entah ke mana dengan membawa beberapa perhiasan milik Tante."

Ingin sekali aku menuangkan kuah pedas di wajah Nyonya Mala. Tega-teganya dia menfitnahku dan juga menghina Ibu seperti itu.

Tenang Rubi! Tahan emosi kamu! ucapku dalam hati dengan menarik napas dalam dan kuhembuskan dengan pelan.

"Bibik tidak perlu mencuri di rumah saya! Kalau memang Bibik membutuhkan sesuatu bilang saja! Lagian saya akan membayar dua puluh juta untuk sehari masak di rumah saya."

Mereka semua terperanga. Begitu juga dengan Ibu. Beliau terlihat begitu kaget dengan ucapanku.

"Du - dua puluh juta hanya untuk sehari masak? Jangan, Bi! Entar dia kesenengan mendapat uang begitu banyak hanya dalam sehari," sahut Nyonya Mala.

Bukan hanya dua puluh juta yang akan aku berikan pada Ibu, tetapi semua yang bisa membuat beliau bahagia akan kuberikan.

"Uang dua puluh juta tidak ada apa-apanya, Tan. Karena masakan Bibik bisa mengobati rasa rindu saya dengan masakan Mama yang sudah lama tidak bertemu karena kesibukan kami masing-masing."

Mereka semua hanya terdiam. Akan kupastikan kalau Nyonya Mala tidak bisa menolak keinginanku tersebut. Dan ini adalah cara agar aku bisa memberitahu Ibu soal diriku yang menyamar menjadi Rubi.

"Tante, Ardian, saya boleh 'kan meminta Bibik sehari saja masak di rumah saya?"

Nyonya Mala dan Ardian terlihat saling berpandangan. Sepertinya mereka bingung ingin memberi jawaban.

"Kalau kalian memang tidak mengizinkan juga tidak apa-apa. Saya yang minta maaf karena sudah lancang."

"Boleh. Kamu boleh minta Bibik untuk sehari masak di rumah kamu, Bi. Dan tidak perlu kamu bayar! Anggap saja dia seperti pembantumu sendiri! Jadi apapun yang ingin kamu suruh, bilang saja!" ucap Ardian.

Tunggu pembalasanku Ardian. Karena kamu sudah menginjak harga diriku dan juga kedua orang tuaku. Yang kamu anggap pembantu ini adalah mertua kamu sendiri. Benar-benar keluarga yang tidak punya hati.

"Terima kasih Ardian, kamu sangat baik sekali," apa yang kuucapkan berbanding terbalik dengan apa yang ada di dalam hati.

Nyonya Mala berusaha mengulas senyum di hadapanku. Meskipun aku tahu kalau dia sangat keberatan dengan keputusan Ardian barusan.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status