“Sudah. Saya berterima kasih atas penawaran itu, banyak sekali. Tapi tidak. Saya tidak ingin berpisah dari Ash.” Mae menjawab tegas.Dengan aneh, segala gundah gulana yang sejak tadi melanda, justru reda setelah mengucapkan itu. Tangan Mae yang meremas rok perlahan mengendur dan bisa memandang Rowena dengan mata tenang, tidak nyalang ke segala arah. Bisa bersiborok tanpa perlu merasa menghindar.Rowena mungkin terkejut, sampai ia terus memandang Mae tanpa berkedip. Berpikir, sambil mengetuk gelasnya dengan kuku. Meski menyebalkan, Mae tetap akan mengakui kalau Rowena memang amat anggun, bernapas saja tetap akan membuatnya terlihat seperti bangsawan.“Kau bermimpi untuk mendapat uang lebih banyak lagi dengan mempertahankan Ash?” Rowena menebak.Dan Mae ingin mengumpat, karena pandangan mata Rowena sepertinya memiliki kekuatan membaca pikiran. Tebakannya masih bisa dikatakan tepat.Meski untuk saat ini Mae menolak semua uang Ash, tapi pikiran pertama yang terlintas begitu mendengar penaw
Rowena kehilangan keanggunannya pada detik yang sama Daisy menyelesaikan celaannya. Ia menyambar gelas wine yang ada di meja dan terlihat akan melempar gelas itu ke arah Dairy.Mae sudah berdiri menghalangi apapun yang akan melayang ke arah Daisy, tapi Rowena lebih cepat sadar. Gerakan tangannya berhenti setengah jalan lalu menghela napas. Berusaha menguasai diri lalu tampak menyesal karena sudah terpancing untuk menjadi emosi.“Nah, itu lebih manusiawi. Kau tampak tidak wajar saat menekan seluruh perasaanmu seperti tadi.” Daisy sama sekali tidak terintimidasi dengan kekerasan yang hampir terjadi. Ia menyeringai malah.“Tenang saja, Mae. Jangan takut padanya.” Daisy menepuk punggung Mae, dan menyuruhnya kembali duduk dengan tarikan pelan.“Lady yang anggun dan agung ini memuja reputasi bukan? Maka kau hanya tinggal merusak reputasinya kalau memang masih sangat ingin memisahkanmu dengan Ash.” Daisy melanjutkan, sementara Mae menggeleng dengan wajah horor.Kalau Poppy kemarin menyebutnya
“Ingat, aku ingin dua layer kue berwarna pink.”Amy menegaskan keinginannya yang semena-mena itu sekali lagi, tapi dengan nada yang lebih manis.“Oke.” Mae tidak punya tenaga untuk bertanya detail lain dan sejak tadi hanya mengangguk.“Minggu depan.” Amy menambah instruksi lagi.“Aku sudah mencatatnya.” Mae menunjukkan ponsel tempatnya mencatat keinginan Amy.“Yes!” Amy sekali lagi menghambur memeluk Mae.“Amy! Ayo!” Rowena berseru dengan tidak rela. Sudah ada mobil yang menunggu mereka persis di belakang rink. Mereka tidak mengantri keluar seperti penonton yang lain.“Bye, Mae!” Dengan manis Amy melambai pada Mae, dan berlari menghampiri ibunya.Mae membalas lambaian itu dengan senyum semanis mungkin, tapi begitu mobilnya berjalan senyumnya langsung berubah menjadi keluhan. Mae berjongkok sambil menutup wajahnya. Lemas pastinya. Mode konfrontasi ini tidak cocok dengan hatinya. Jauh berbeda dengan pertikaiannya dengan Evelyn. Yang ini lebih menguras tenaga, karena sekali ini Mae bena
“Eh?” Ash menunduk memandang handuknya, lalu tertawa tergelak. Tahu persis apa maksud Mae. Ia menunggu Ash telanjang sejak tadi. “Sejak kapan…” Ash tidak bisa berhenti tertawa, sampai harus berhenti dan melambai meminta waktu untuk menenangkan diri.“Mana? Bukankah kau terburu-buru dan harus segera memakai seragam?” Mae mengetuk layar ponsel dengan tidak sabar. Pertunjukan utamanya seharusnya itu.“Mary, aku tidak sendiri di sini.” Ash tampak menghela napas beberapa kali, lalu mengambil ponsel dan menunjukkan kalau bukan hanya dirinya yang ada di tenda itu. Ada lima orang yang terlihat sedang melakukan kesibukan yang sama.“Eh? Ada handuk lain.” Mae sekelebat melihat pria lain yang juga hanya memakai handuk saja.“Apa kau baru saja memintaku memperlihatkan tubuh pria lain?” Layar Mae langsung dipenuhi wajah Ash yang menyipitkan mata, jengkel.“Tidak, aku hanya menunjuk.” Mae memasang wajah sepolos mungkin, dan mengelak. “Letakkan lagi ponselnya, dan bersiaplah.”Ash tergelak lagi. “Ak
“Gina tidak akan suka, tapi ini indah.” Poppy mengeluh sambil mengelus rak yang ada di belakang kasir.“Ini akan cocok sekali untuk meletakkan toples selai, juga roti tawar hangat.” Poppy belum apa-apa sudah membayangkan akan seperti apa pemandangan toko Mae nanti.“Setuju. Aku juga membayangkan seperti itu. Cake akan ada di sini.” Mae menunjuk etalase bulat yang berbentuk aesthetic di sudut.“Kalau sudah lebih stabil, aku akan menambahkan teh agar bisa mengisi sudut itu. Pelanggan bisa menikmati kue dan teh disana.” Mae dengan antusias menunjuk area tambahan yang terpisah oleh partisi jalinan kayu. Toko yang ditemukannya itu sempurna, sampai Mae bisa membayangkan aneka macam hal yang diinginkannya nanti.Belum lagi letaknya strategis. Tidak jauh dari rumah Reading, dan tidak jauh dari objek wisata terkenal—The Museum of English Rural Life. Museum yang menampilkan sejarah Inggris dan aneka ragam kehidupan pedesaan masa lalu. Cukup terkenal, dan Mae mengincar pengunjungnya. Belum lagi
“Halo, Mae. Kau semakin cantik—”“Ash mungkin tidak ada, tapi aku akan mengadukan setiap bunyi napas yang kau hirup padanya.”Mae tersenyum dan memotong rayuan gombal Hubert seketika—malas kalau harus mendengar versi panjangnya. Hubert langsung mengatupkan bibirnya dengan kecewa.“Aku hanya ingin beramah-tamah padamu, Mae. Jangan kejam begini.” Hubert mengeluh, tapi kemudian kembali tersenyum saat berpaling pada Daisy.“Kau bersama siapa? Cantik juga sepertimu.” Daisy langsung mendesis seperti ular. Meski pujian, Daisy malah jijik dan beringsut ke belakang tubuh Mae. Tubuhnya yang lebih mungil dari Mae jelas akan amat kalah kalau Hubert melakukan sesuatu.“Mae, kau memelihara hewan apa?” tanya Daisy, yang tentu langsung disambut oleh tawa Mae. Daisy bahkan tidak menganggap Hubert sebagai manusia dalam sekali pandang. Mae butuh beberapa saat untuk memanggil Hubert babi.“Oke, kau tidak manis.” Hubert mengeluh dalam kecewa.“Ini Hubert. Kau boleh memanggilnya Babi Mesum. Dia pengacara
“Menunduk, kalian tidak boleh terlihat terlalu bangga atau bahagia.” Hubert berbisik pada Mae yang mencoba menjulurkan leher untuk melihat pintu dimana Carol akan muncul. Sudah ada juri yang memperhatikan mereka. “Oke.” Mae menurut meski kesal. Ia tidak sabar karena hakim datang terlambat tadi.“Bawa tersangka masuk.” Jantung Mae berdetak lagi, dan langsung mendongak lagi. Seragam orange mencolok yang pertama terlihat, lalu tangan terborgol dan rambut yang terkuncir. Mae ingin tersenyum—terutama saat melihatnya berat badannya berkurang. Tubuh gempalnya sudah menyusut dan pipinya cekung. Meski tidak sekurus Daisy, tapi Mae sudah cukup gembira melihatnya tidak bisa makan dengan tenang. Mae terus menatapnya, sampai mata mereka bertemu. Mae tidak mengedip, terus memandang mata yang kemarin masih mencoba berbohong padanya—dan masih.Begitu melihat Mae, mata yang tadi lebar membuka, menjadi redup dan terlihat menahan tangis.“Dia akan berbohong lagi.” Mae berbisik sambil meremas tangan D
Mae nyaris saja berdiri, tapi tangan Hubert menahannya. Hubert juga tampak menggeleng pada Daisy yang juga tampak ingin mengatakan sesuatu. Bukan saatnya mereka bicara. Daisy yang sudah mencengkeram sisi podium, tampak kembali duduk.“Tenang. Aku akan menghancurkannya.” Hubert berbisik, dan Mae mengangguk. Ia cukup percaya Hubert akan mampu.“Karena itu, adalah absurd kalau saat ini Anda mengatakan uang itu bukan hak Mrs. Jobs. Uang itu adalah haknya, bahkan lebih karena Mrs. Jobs juga menyediakan makanan, perlindungan, dan kasih sayang yang tentu saja tidak ternilai.” Pengacara itu mengakhiri gilirannya sambil tersenyum puas.“Silakan.” Hakim menyuruh Hubert maju.“Aku akan membawa penyakitmu lagi nanti. Jangan menendangku lagi, oke?” Hubert berbisik sekali lagi sebelum maju. Mae hanya mendengus, meski tidak suka, tapi Mae tidak akan melarang. Lagi pula ia sudah sembuh, tapi tidak perlu ada yang tahu. “Ms. Gardner, sejauh ingatan Anda, apakah hanya Mrs. Jobs yang selalu merawat Anda