Share

[6] Headlines

Allison Kathryn Rhode, 26 tahun. 

Lahir di Long Island, pindah ke Los Angeles saat mulai berpacaran dengan Julius Christian. 

Lorna mencerna satu persatu bagian dokumen milik si klien. Gadis itu punya kebiasaan membuat catatan kecil sebagai summary atas garis besar serta benang merah yang terjadi pada kasus yang akan ia tangani, selanjutnya baru mencari bukti serta melengkapi dengan keterangan saksi. Proses akhir dari persiapan awalnya sebelum sidang adalah menyusun argumen atas nama sang klien.

Sejak usia anak-anak hingga remaja, Allison punya prestasi baik, di bidang akademik maupun non-akademik. Punya bakat seni yang tampak pada usia muda, dikenal piawai menuangkan rasa dalam untaian kata; Allison jago berpuisi. 

"Ally bertemu Julius di Klub Perpustakaan yang ada di SMU mereka," Seru Ibu yang menemani putrinya untuk pertemuan pertama dengan sang pengacara. 

Lorna mengangguk, "Sebelumnya pernah menjalin hubungan dengan orang lain?"

"Tidak," Kali ini si surai pirang yang menjawab. Wajah murungnya ditampakan tanpa ragu, Allison menatap Lorna dengan sorot sayu netra biru.

"Julius yang pertama, dan sampai sekarang, satu-satunya."

Ketiga manusia itu tengah berada di ruang meeting yang ada di kantor Lorna, setelah melengkapi berkas-berkas yang diperlukan, mereka langsung berbicara tatap muka. Kathryn sendiri, Ibu korban, sejak awal kelihatan lebih lugas ketimbang Allison. Ia bersungut-sungut putrinya harus segera berpisah dan laki-laki bajingan itu harus masuk penjara, sementara dang putri malah melakoni proses penuntutan setengah hati.

"Semenjak resmi berpacaran, Allison mulai hilang sifat uletnya. Nilai-nilai turun dan perlombaan jarang dimenangkan." Tutur sang Ibu dengan nada tajam, diliriknya Allison yang tertunduk pasrah.

Lorna berdeham, dalam hati menduga satu dua penyebab Allison rebel adalah keluarganya sendiri. Tipikal salah asuhan, terlalu ketat sampai si anak merasa muak. 

"Sudah berbicara dengan psikolog?" Lorna menyampirkan helaian rambut yang jatuh ke pipi melalui telinga, tatap lurusnya ditujukan pada si Ibu.

"Untuk apa?" Tanyanya nyalang, "Putriku tidak gila."

Lorna menjawab dengan nada sesopan mungkin, "Stigma semua penyakit mental adalah gila itu sudah seharusnya ditinggalkan, Bu." 

"Maksudmu?"

"Putri Ibu terluka secara fisik dan mental. Ada beberapa pertanyaan yang harus saya ajukan untuk persiapan argumen di sidang nanti, namun saya takut malah Allison triggered dan traumanya justru semakin dalam." Seru Lorna, menjelaskan dengan pelan mengetahui akan sedikit sulit untuk orang seperti Kathryn menerima masukan dari luar.

"Ada baiknya Allison menemui psikolog dulu."

Saat dilirik oleh sepasang netra coklat, Allison kedapatan sedikit menanggah. Bibir pucatnya tertarik keatas, membentuk senyuman kecil. Hati Lorna sedikit bergemuruh, tebakannya seratus persen benar.

"Tahu darimana putriku terluka secara mental? Allison kelihatan baik-baik saja." Nada bicara Kathryn mulai meninggi, matanya menatap tajam figur sang putri.

Lorna mengambil pena yang tergeletak di atas meja, menyobek sebuah sticky notes, terakhir garis-garis tulisan diukir pelan.

"Kalau kau menyangka seperti itu karena ia murung, Allison hanya sedih. Ia tak mau pisah dengan bajingan itu, sudah dipengaruhi pikirannya. Bukan karena terluka secara mental."

'Pernyataanmu kontradiktif.' Lorna menghela nafas seraya membatin. 

Perhatiannya masih fokus pada sticky notes di depan mata. Beberapa saat, hening. Konversasi terhenti begitu saja. Kathryn berdecak, ia berdiri seraya menarik lengan sang putri agar ikut beranjak dari kursi yang mereka duduki.

"Lakukan saja tugasmu sebagai pengacara, kau tidak dibayar untuk mengatur hidup klienmu kan?"

Lorna ingin sekali balik menyerang, namun dipikir kembali alasannya menerima kasus ini karena ingin pribadi. Lorna harus sabar, melakukan pekerjaan seperti biasa. Ditambah, ia ingin lebih dekat dengan perempuan-perempuan seumurannya, mengetahui hidup di luar miliknya. Lorna ingin membantu Allison dengan murni karena hatinya tergerak dengan kejadian yang tampak. 

Lorna terkadang berpikir ia lebih tertarik dengan unsur-unsur yang membangun kehidupan dibanding hidup yang ia jalani sendiri, seperti bagaimana orang akan bersikap jika realita tak memenuhi asa. Sifat apa yang tumbuh dari mereka yang masa kecilnya merana, atau ketika orang-orang berlomba untuk memiliki popularitas karena dianggap memberikan puas.

Beberapa menit netra coklat itu menatap kosong, Ally dan Kathryn telah meninggalkan ruangan meeting setelah percakapan singkat mereka berakhir mengawang. Lorna kembali berkutat dengan pikirannya sendiri saat getaran ponselnya menyita atensi. 

Fr: Rhode, Allison

Nona Lorna? 

Ini, Ally.

Kau boleh menanyakan hal apapun, aku tak akan keberatan.

Lorna menaikan kedua alis sebelum akhirnya tersadar sendiri, tentu saja sang klien memiliki nomer ponselnya ini.

Fr: Lorna M. Lehnserr

tidak apa-apa?

maksudku, kenapa tiba-tiba?

Fr: Rhode, Allison

Setelah mendengarkan cara bicaramu, tadi.

Aku tahu kau orang baik. :)

dan juga cerdas. 

Aku bersyukur Ibu mau mendengarku, dengan menyerahkan urusan ini padamu.

Ucapan Tuan Robert, ternyata benar. 

"Jesus Christ." Lorna memijat pelipis kirinya, ada banyak yang harus dicerna dari pesan Allison barusan. 

Pertama, Allison sungguhan pintar. Tak hanya dalam berpikir, namun juga dalam bersikap. Ia mengamati tindak-tanduk lawan bicara lalu mengambil konklusi sendiri, tak hanya asal tebak saja. Padahal baru pertama bertemu, namun intuisinya bisa setajam itu. 

Kedua, her mother is fishy as fuck. Allison mengatakan bersyukur atas keputusan yang Ibunya ambil, padahal masalah tersebut menyangkut dirinya sendiri. Betul saja perasaan buruk Lorna, gadis itu jadi semakin penasaran.

Ketiga, Robert Douglass. Sang mantan kekasih yang tampan bukan main adalah alasan mengapa Allison memilih Lorna, masuk akal semenjak Lorna tahu mantan Allison adalah teman Robert semasa SMU. Bisa ditarik kesimpulan bahwa Allison dan Robert pun, setidaknya saling mengenal.

Anehnya kenapa cowok bersurai pirang itu memperingatkan Lorna kemarin lusa? Kalau dirinya sendiri yang membuat hal ini terjadi, atau apa Robert menyesal dan mengantisipasi bahaya dengan mendatangi si pengacara?

Fr: Lorna M. Lehnserr

okay, then

kau bisa mengirim voice notes daripada harus menelpon in real time

hanya respon saat suasana hatimu sedang baik-baik saja 

anyway, kau sudah pulang? cepat sekali

Fr: Rhode, Allison

Tidak, Nona.

Aku, langsung pergi ke perpustakaan.

Ibu, sudah duluan pergi.

ATTACHED FILE [3.47]

Lorna mengangguk paham walaupun tak ada yang sedang bersamnya. Kemudian, jemari lentik itu menyentuh tombol play pada pesan suara yang dikirim Allison.

"Aku mencintai Julius dengan sepenuh hatiku, Nona. Sebagaimana perempuan yang jatuh hati kali pertama, menemukan manusia yang memiliki frekuensi sama. Ia adalah api, dan aku si air. Julius adalah angin, maka Allison sebagai laut. July buta, Ally melihat."

Lorna meringis, "SHEEEESH, this girl do need therapist."

Ia sekali lagi memijat pelipis atas pengakuan Allison yang tragis sekaligus ironis. Perempuan itu terdengar hopeless, di sisi lain kelakuannya dapat dimengerti. Afeksi dan personaliti yang cocok sangat sulit didapatkan apalagi pada zaman seperti ini.  

"Semuanya mulai berubah saat kami lulus SMU, lalu pindah ke rumah pribadi July di LA. Ia mulai sulit dihubungi, tak bisa diajak jalan, terlambat membalas pesan. Aku ditinggalkan sendirian, di mansion sebesar itu, tanpa didampingi siapapun."

"Perasaanku mulai tak enak, berkali-kali aku meminta Ibu agar menjemputku supaya aku bisa pulang. Tak ada respon, Ibu lebih senang aku dipinang laki-laki keturunan Konglomerat seperti July, tanpa peduli pada keadaanku sendiri."

Lorna menyentuh opsi pause pada ponselnya, jari berpindah mengetuk meja. Pikirannya yang kusut perlahan mulai diusut, poin-poin penting terucap dalam hati. Menghela nafas, tombol play kembali disentuh.

"July orangnya manis. Ia selalu mengedepankan kenyamananku dulu daripada dirinya sendiri, selalalu bertanya apakah aku merasa tak enak atau apapun itu. Pikirannya terbuka, otaknya cerdas. Tutur katanya baik. Parasnya, jangan ditanya, Nona. Julius Christian adalah pemuda yang sangat berkarisma. Mungkin kau menemukan kesamaan antara dirinya dan Tuan Robert, benar. Memang mereka banyak memiliki kesamaan."

Lorna mengerutkan alis saat didengarnya tawa serak yang dikeluarkan Allison Rhode, mungkin gadis itu merasa menipu dirinya sendiri. Orang pintar yang memilih untuk percaya hal diluar logika biasanya tengah dibutakan cinta. Lorna tahu, karena ia pun pernah. 

Memang benar Robert Douglass adalah laki-laki yang mendekati kata sempurna, namun sosok Julius Christian yang ia bandingkan hanyalah ada di dalam kepalanya sendiri. Allison bisa menilai Robert sebagai laki-laki seperti apa di dunia nyat, namun untuk Julius Christian sesungguhnya ia hanya menceritakan projeksi dari apa yang sebenarnya terjadi. 

"Ibu pun langsung kegirangan saat tahu putrinya mengencani putra pengusaha terbesar di kota ini, ia bahkan berbicara tentang pernikahan saat pertama kali bertemu July. Aku senang, saat itu kupikir untuk sekali seumur hidup, Ibu akhirnya peduli dengan presensiku."

Lorna memangu dagu, rekaman itu selesai diputar dan tampaknya Allison tengah merekam cerita baru. Saat melirik jam dinding, gadis itu membereskan barang-barang yang tergeletak di atas meja. Berkas, sticky notes, laptop, serta ponsel yang layarnya telah mati dimasukan ke dalam saku. Sisa barang-barang dipeluk depan dada, kaki jenjang berjalan keluar ruangan. Ia memutuskan melanjutkan penyelidikan ini di rumah saja.

“Hai.”

Tepat saat gadis itu membuka pintu, sosok laki-laki tinggi bersurai pirang tersenyum ramah. Lorna menutup pintu dengan tatapan malas, bergumam singkat sebagai jawaban atas sapaan Robert.

“How’s your day?”

“Sucks.”

Robert mendengus geli, "Mau langsung pulang atau kemana dulu?"

Lorna bersahut seru pada beberapa karyawan yang masih bekerja pada bilik masing-masing, menyelesaikan jobdesc yang telah lama diberikan.

Setelahnya, ia bergumam menjawab pertanyaan si laki-laki. "Beli sesuatu dulu."

"Mau beli apa?" Robert membukakan pintu keluar seraya mempersilahkan Lorna berjalan duluan, kaki jenjangnya mengikuti langkah kecil di belakang.

Gadis itu terhenti di depan pintu, diliriknya Robert yang masih mengenakan pakaian formal lengkap dengan dasi sedikit longgar. Surai pirang biar menumpuk di atas ubun-ubun, berantakan sulit rapi karena memang rambutnya terbilang tebal. 

"Kenapa?" Pemuda itu menaikan sebelah alis. Mendapati si gadis menatapnya sedikit lebih lama dari durasi normal, Robert hanya bertanya tanpa sedikitpun menggoda.

Lorna mengendikan bahu, "Sepatu roda."

"Sepatu roda? Untuk siapa?"

"Mave's daughter."

"You have a daughter?"

Robert melayangkan pertanyaan dengan nada sedikit tinggi. Keduanya masih berdiri di depan kantor si pengacara, gadis itu balik menatap geli. Ekspresi Robert, sulit dituangkan pada kata-kata.

"You misheard me, dummy." Lorna memukul bahu yang lebih tinggi darinya, "I said MAVE not MY."

"Ah." 

Robert mengangguk tanda mengerti, netra hijaunya berhenti mentap penasaran.

Sebenarnya sudah cukup lama semenjak mereka berdua menghabiskan waktu bersama.Terhitung beberapa minggu sebelum pembukaan bar milik David di Santa Monica, Robert dan Lorna sempat berhenti saling tegur sapa. Tak ada yang bertanya mengapa, meskipun keduanya masih menyisakan tempat di pikiran tentang satu sama lain.

Setelah itu Lorna bertemu Alex, terikat pada Non Disclosure Agreement yang tak pernah terucap langsung pada mulut, namun tersirat jelas. Sisanya– begitu.

"Who's Mave?"

Keduanya berjalan menyusuri area pejalan kaki yang tak pernah disapa sepi. Mobil Robert diparkir di parkiran belakang, sementara Lorna tadi pagi diantar sang Ayah. Tanpa membahas mereka akan pergi kemana, Lorna dan Robert tetap berjalan bersama. Menuju toko yang pernah mereka kunjungi dulu sekali.

"My friend, Alex' band mate."

"And who's Alex?"

Lorna terdiam. Mengalihkan pandangan, pura-pura memperhatikan hal lain di sekitar.

"Alex is ... Mave's band mate."

"Ah." Robert mematri senyum, "That guy in your room yesterday."

Si perempuan mengerutkan dahi, "Why are you smiling?"

Robert tertawa geli. "Nothing."

****

Kubrick's Perspective sudah berkumpul di studio Electric Lady, dengan materi-materi serta ide mentah untuk album terbaru mereka. 

Sudah bukan rahasia bahwa Studio yang didirkan Jimi Hendrix tersebut masih menjadi tempat langganan para musisi, bahkan setelah 50 tahun semenjak pendiriannya. Alex dan kawan-kawan terbang lima jam untuk sampai di tempat ini, proses perekamannya tak tahu akan memakan waktu berapa lama.

Kalau sudah memasuki dunia kreatifitas, Alex tak bisa diganggu. Ia pribadi yang fokus dan konsisten dengan karya-karya yang dihasilkan, berawal dari mengikuti klub musik saat SMA kini bakatnya di dunia musik tak bisa dianggap remeh.

Netra coklatnya menerawang pada bagian buku kecil yang selalu ia bawa kemana-mana, barangkali pikiran Alex terlintasi inspirasi sekali jadi, ia langsung menuliskan potongan kata atau frasa pada buku itu. 

I got caught up in your eyes

Freezing, darling

Not even my ego warns me 

of your enchanting energy

Sambil membaca dalam hati, pemuda itu mencoba berbagai kunci nada yang sekiranya cocok diterapkan pada bait yang ia tulis. Sementara teman-temannya sibuk pemanasan dengan instrumen masing-masing, Maverick memegang stick drum dan duduk di bagian belakang. James dan Nicholas duduk berhadapan, dengan gitar dan bass sudah di pangkuan.

Three in the morning

Your sleepless mind leaving me divine

Tragedy, reality

The smell of your presence left me worry

Alex menghiraukan ponselnya yang bergetar, pikirannya hilang dalam perasaan yang ia tuangkan dalam tulisan pendek.

Will you stay here?

Only go to places i can see?

Wandering 'round the city, 

Silence doesn't feel uneasy

You sit there, keep lookin' at me

Dengusan kecil tertangkap atensi Maverick, pemuda bernetra hijau itu diam-diam menatap Alex dari kejauhan. Si vokalis tampak menahan senyum, meskipun usahanya sia-sia karena ada sepasang mata yang menangkap basah. Personil lain sedang sibuk masing-masing, makannya Alex tergolong diuntungkan dalam situasi ini.

I had to stop 

in the middle of the road

Tryna call the cops

'cause you've killed,

and make a whole scene

of us, bleeding and dying

in each other's arms 

Metafora adalah penyulam realita dengan dunia khayal, Alex bersyukur ia diajari ilmu merangkai kata sebegitu indahnya oleh kedua orang tua. Dulu, saat dirinya masih belum bisa mengerjakan apa-apa. Ketika Maverick, James, dan Nicholas adalah wajah baru pada dunia kelamnya.

But the truth,

Alex mengalihkan pandang, dihiraukannya Maverick yang berjalan mendekat. Netra gelap mengawang-awang, membuang presensi orang di dalam ruangan dan jatuh pada lamunan dalam. 

But the truth,

Bagian dari lirik yang ia kerjakan itu masih belum selesai, terhenti di tengah jalan. Menyisakan bingung bercampur penasaran, sebenarnya, sejujurnya, Alex mau menuangkan perasaan yang seperti apa?

"Al, hari ini aku tak bisa lama-lama," Seru Maverick beberapa saat sebelum sesi rekaman dimulai. 

Pemuda itu kemudian duduk di samping Alex, pada sofa panjang yang menempel dinding belakang studio. 

Alex mengalihkan pandangan, melirik buku kecil yang selalu ia bawa, kemudan balik menatap netra hijau. "Mau Face-Time dengan Cassie?"

Cassandra O’Connor harus rela berpisah dengan sang ayah untuk beberapa saat. Bocah itu dititip ke— mansion keluarga Lehnserr. Lorna sendiri yang mengajukan bantuan, meski gadis itu akan sibuk juga. 

Well, setidaknya Cassie dijaga oleh para maid yang bekerja di rumah sang pengacara. Maverick tak punya banyak kenalan di America, alasannya pindah kemari pun karena Cassie dan Ibunya, selain karena Alex juga tinggal di LA. 

"Mhm." Maverick melempar tatap lurus, "Mau ikut?"

Alex terdiam, "Tidak dulu deh, ada hal yang harus kulakukan."

Pemuda itu mengambil benda pipih yang tergetak di atas meja, membuka notifikasi yang diisi panggilan tak terjawab dari Regina. Alex balas menanyakan ada apa, ia ingat Regina sedang melakukan interview dengan majalah TIME edisi bulan ini. Lalu jemari panjangnya menggulir ke bawah, sedikit demi sedikit agar nama yang dicari tak terlewat begitu saja. Mengetik pesan, mengirimkan dalam sekali tekan.

Fr: Leon Alexander

Hey

Lorna yang kebetulan sedang online, masih menelaah pesan suara dari Allison, langsung membalas saat notifikasi pesan baru masuk dari kontak yang baru ia ubah nama tampilannya.

Fr: Lehnserr

aku punya nama

Alex menggigit bibir bawahnya pelan. Ia merasa ada yang mengganjal dari respon Lorna barusan. Ralat, semua hal tentang perempuan itu adalah ganjalan itu sendiri, semuanya terasa baru. Anomali, tak pada tempat yang semestinya.

Fr: Lehnserr

butuh apa

Nafas lega diembus pelan, Alex beruntung Lorna tipe orang yang tanpa basa-basi. 

Cowok itu selalu merasa, nama adalah produk bahasa yang intim, menggambarkan hubungan baik antara dua insan. Sampai sekarang Alex sendiri jarang sekali memanggil Lorna dengan namanya langsung, selalu ada perasaan canggung. Diam-diam Alex sedikit, catat, sangat sedikit, malu dengan kedudukan perempuan itu. 

Lorna mungkin luluh pada pesona si pemuda, namun tak membuatnya turun derajat barang sedikitpun. Alex selalu menemukan perempuan yang cerdas itu ada di kasta paling seksi, kelihatan dari cara berbicara serta tindak-tanduk yang diperlihatkan Lorna. She's high class in every way Alex can imagine. Ditambah netra gelap sudah beberapa kali menangkap presensi Lorna yang tanpa dibalut busana apa-apa. 

Atau mungkin, nama 'Lorna' termasuk langka dan Alex belum biasa saja mengucapnya.

Fr: Leon Alexander

Cassie baik-baik saja kan?

              

Fr: Lehnserr

that question is fucking insulting

Fr: Leon Alexander

No it doesn’t

Gee you’re too shrill

Can’t relax a bit?

Need my hand on ur tits? :)

Fr: Lehnserr

but aren’t u far away? :/

aku sibuk al

kali ini benar sibuk

Maverick mendengus saat diliriknya sang teman mengulum senyum dengan mata menyipit, tak ingin menjadi party pooper, keinginan untuk menegur pun ditunda dulu. Pemuda bernetra hijau itu menyandarkan punggung, menerka-nerka sedang apa putrinya saat ini.

Mengingat semalam Lorna bilang ia baru bisa pulang sore hari, namun orang-orang di mansionnya menyambut anak itu dengan cukup hangat. Andrew Doyle bahkan sampai terlambat melakukan meeting dengan Wakil Presiden gegara keasyikan bermain dengan Cassie, Maverick tersenyum kecil saat mengingat suara Lorna di ujung telepon malam tadi.

Fr: Leon Alexander

Oh biasanya bohong ya?

Jahat

Fr: Lehnserr

quite whining like a bitch

Fr: Leon Alexander

But I am:(

I am your bitch :(

Lorna tak membalas meskipun status online masih tampak pada profil kontaknya. Alex mendengus geli, menerka-nerka ekspresi apa yang dipasang si perempuan simpanan. Biasanya Lorna akan menekuk alis dengan tatap tajam, mulutnya tak henti menggerutu pelan.

Fr: Leon Alexander

Anyway, there’s something i need to show you

Tapi sepertinya aku masih lama di sini, kau juga sedang banyak kerjaan ya

Nanti Face-Time saja deh, bisa?

Saat mendengar seruan dari salah satu produser yang membantu rekaman band-nya, pemuda itu menjawab sebentar seraya beberapa kali menyentuh layar ponsel. Kemudian tombol power ditekan, Alex bangkit dan mulai bergabung dengan personil lain di bilik studio.

Tak lama kemudian, ponsel miliknya kembali bergetar. Berkedip genit beberapa kali, menampilkan notifikasi pesan beruntun dari kontak yang sama.

Fr: Lorna Marija Lehnserr

sabtu bisa, tapi sebentar

jam istirahat saja

aku bosan tak banyak bertemu orang

oh iya, peter sebentar lagi menikah

putranya paman david

kau diundang?

bajingan malah menghilang

Dua hari kemudian, awal pekan saat matahari menyingsing tinggi, waktunya majalah serta meda-media mainstream lain mencetak edisi terbaru.

Headline koran serta media digital hari itu cukup membuat banyak orang tercekat kaget. Beberapa langsung mengecek akun media sosial, tempat trending nomer satu juga membicarakan hal yang sama. Tak lupa dengan akun-akun update dunia entertainment yang merajalela di linimasa, mengabarkan berita yang tak berbeda.

Di bawah headline besar yang menjadi pembicaraan, ada sub-headline yang membahas topik berbeda. Dibumbui potret seorang pengacara dengan laki-laki yang menjabat Deputy Chief of Staff di kantor Wakil Presiden, tulisan 'Lehnserr and Douglass Seen Reunite After Long Years of Break' juga menjadi biang desas desus di beberapa ruangan West Wing.

... it also rumored that the well-known Lawyer is currently taking care of her daughter.

"Jesus fucking christ." Andrew tertawa keras saat Lorna membacakan bagian dari artikel berbumbu gossip itu di depan matanya. 

Lalu, bagian terbesarnya, menjadi topik hangat bagian Showbiz. Dua orang manusia berparas bak keturunan dewa, potret yang diambil saat acara Met Gala. Gaun dan Tuxedo, netra coklat dan hitam saling tatap mesra. Bergandengan, tersenyum tipis pada kamera– auranya bagaikan bangsawan penyelanggara acara.

Model-Actress Regina Whitney George Announce Engagment With British Rockstar Leon Kennedy Alexander

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status