Share

PEDULI TANDA CINTA

Kaki Aiza terlalu lemas, nyaris saja dia ambruk ke lantai. "Udah besar kamu sekarang ya!" kata Ramon dengan senyum lebar yang menunjukkan barisan gigi putihnya yang besar-besar. Kepalanya yang selebar muka Aiza menepuk-nepuk puncak kepala Aiza seolah Aiza adalah anak anjing kesayangannya. Pipi Aiza merah jambu memanas.

Tak ada satu kata pun yang mampu terucap oleh bibir Aiza. Dia diam membeku, kehabisan kata-kata, larut dalam aroma parfum Ramon yang memabukkannya.

"Eh, kalian berdua sudah makan? Ayo kita makan malam. Di luar aja. Sekalian cerita-cerita." Ramon bersuara lagi.

***

Aiza dan Delima saling pandang entah untuk kesekian kali dalam satu hari ini. Bagaimana tidak, sekali lagi mulut mereka menganga. Ramon membawa mereka ke sebuah restoran jepang nan mewah, menyajikan hidangan laut yang bisa membuat kantong jebol. Sarah tidak ikut serta sebab dia ada janji dengan temannya malam ini, dia mesti bersiap-siap.

Anehnya, Sarah masih tinggal di rumah Ramon. Dia bahkan melenggang bebas keluar masuk kamar Ramon. Dari situ, satu kesimpulan bisa ditarik Aiza dan Delima, Sarah tinggal bersama Ramon, mereka menetap di bawah atap yang sama. Satu fakta itu cukup mengiris hati Aiza, tapi dia belum sempat membicarakannya dengan Delima.

Delima tampaknya bahkan tak peduli soal itu, yang dia pikirkan sekarang hanya meja penuh makanan yang ada di depan matanya. Lain dengan Aiza yang bahkan tak tahu mau menyantap yang mana lebih dulu.

"Makan ..., kamu nggak suka makanan kayak gini? Mau pindah restoran?" tanya Ramon kepada Aiza.

"Nggak, Mas! Ini juga ..., lebih ..., lebih dari cukup!" jawab Aiza seraya mulai mengambil beberapa potong sushi lalu memasukkan ke dalam mulutnya.

"Jadi gimana? Apa kabar desa?" tanya Ramon santai dengan mulut mengunyah.

"Baik. Kabar Ibu yang nggak baik. Mikirin Mas terus, sampe makan hati." Delima mengoceh mewakili perasaan ibunya.

"Kok ngomong gitu sih? Kesannya Mas sudah durhaka sama Ibu."

"Ya habisnya ...," Delima meletakkan dulu sendok dan sumpit yang tak mahir dia gunakan. "Mas nggak pulang-pulang tuh kenapa? Ada masalah apa? Kasihan Ibu, Mas. Nahan rindu nahan kangen sama Mas."

"Ya ..., maaf deh, Mas emang terlalu asyik sendiri." Ramon meminta maaf tapi terdengar tak sungguh-sungguh. "Jadi kalian berdua berangkat berdua aja? Ckck, bisa-bisanya Ibu nih! Apa nggak mikirin keselamatan kalian? Kan bahaya, dua anak remaja pergi ke Jakarta tanpa pengalaman. Kalau nyasar gimana." Dia ubah arah pembicaraan dengan licinnya, tapi Delima tak akan terkecoh.

"Kami ini bukan anak-anak, Mas. Jangan ubah topik, deh. Serius ya, Mas mau balik kan? Kami ke sini tuh buat ngajak Mas balik. Ibu disuruh ke sini nggak mau, asyik juga ngurusin sawahnya, takut ada keong. Jadi gimana?" Delima tak tahan untuk langsung ke inti pembicaraan, maksud tujuan.

Ramon mengembuskan napas beratnya ke udara. "Mas pikir Mas nggak bakal bisa balik ke desa lagi. Justru Mas berniat mau memboyong kalian ke sini, tunggu rumah yang Mas bangun selesai dirampungkan. Rumah di desa ikut sawah-sawah itu ya kita jual aja. Kamu juga kan mau kuliah di sini?"

"Kenapa toh, Mas? Apa alasannya? Ibu kan mau selamanya di desa, sampai tua dan mati. Biar bisa dikubur sebelahan sama mendiang Bapak."

"Jangan ngomongin kematian begitu ah. Nggak baik. Lagian, mau sampai kapan Ibu bertani? Ibu sudah tua, udah sebaiknya santai aja, biar Mas yang atur semua."

"Itu juga aku penasaran, Mas. Mas kerja apa, sih? Kok tiba-tiba jadi kaya raya begini?" Delima tak segan-segan bertanya.

Ramon tersenyum miring. "Tiba-tiba? Sudahlah, Bocah ..., kamu pikirkan aja mau kuliah di mana. Jangan curiga sama Mas-mu sendiri."

Delima menggerutu, dia paling benci dipanggil Bocah oleh kakaknya meski dia pun sering menggunakan panggilan bernada ejekan itu kepada Cempaka.

***

Saat mereka bertiga pulang, Sarah sudah siap dengan gaun berpotongan penguin berwarna emas. Gaun bertali satu jari itu menunjukkan belahan dadanya yang cukup terbuka. Riasannya tak kalah tebal dan berwaran, dengan rambut dicepol kasar. Aiza langsung bisa merasakan ada hawa tak enak.

"Ramon! Kamu ikut, kan, babe?"

Ramon yang sedang berganti pakaian di kamar menyahut, "Ya! Aku ikut, Mbak!"

Aneh juga mengetahui Ramon memanggil Sarah dengan sapaan Mbak. Lantas hubungan mereka apa? Aiza membatin. Tak lama kemudian, Ramon keluar dengan kemeja hitam dan wajah lebih bersih cemerlang. Aiza yang sedang duduk di ruang tamu melirik kikuk, tak mengerti situasi apa yang tengah terjadi di depan matanya, sedang Delima sedang berada di kamar mandi.

Ramon menoleh sebentar pada Aiza. "Za, kami berangkat, ya. Mungkin subuh pulangnya. Bilang sama Delima, ya."

Kepala Aiza mengangguk pelan, kikuk. "Eh, dia nggak sekalian kita ajak? Kan dia daun muda boleh juga, tuh." Sarah berbisik dengan genit, tapi Aiza mampu mendengarnya.

"Hush, kamu jangan ngaco, Mbak. Dia masih anak-anak," tepis Ramon.

"Anak-anak? Udah dewasa dia, udah cukup umur, Sayang. Udah ada bulunya ..."Sarah mendesis genit lagi.

"Ngaco ah! Ayo buruan!" Agak kesal, ramon emnarik Sarah keluar, meninggalkan Aiza sendiri dengan muka bingung, dengan hati penuh tanda tanya dan hati yang teriris-iris.

***

Sampai tengah malam, mata Aiza belum juga terpejam, pikirannya masih melayang kepada Ramon. Ramon yang dulu dia ingat begitu soleh, manis, meski sikapnya misterius, sekarang dia terlihat sangat jauh berbeda. Bukan hanya karena dia bertambah usia dan kematangan serta wibawa, tapi ada sesuatu yang lain darinya.

Suara dari luar mengejutkan Aiza, dia bergegas bangkit untuk duduk. Dia lirik Delima yang masih tidur nyenyak di sampingnya. Aiza memasang telinga tajam-tajam, ada suara gedebuk. Aiza lekas keluar dari kamar. Matanya membulat saat dia lihat Ramon terjatuh ambruk di samping meja TV. Segera dia hampiri pria tinggi itu. Aroma alkohol dan bau rokok kuat menguar dari tubuhnya.

"Mas Ramon? Kok pulang sendirian? Mana Mbak Sarah?" Aiza tahu sia-sia bertanya kepada orang yang sedang dalam kondisi mabuk, tapi tetap saja dia memang heran kenapa Ramon pulang sendiri.

Aiza mengerahkan seluruh tenaga untuk membopong tubuh besar Ramon di atas pundaknya. Dia seret pria itu masuk ke dalam kamar. Sejenak Aiza terperangah melihat kamar Ramon yang bertema merah dan tampak begitu sensual, tapi dia alihkan fokus kembali kepada Ramon. Ada Ramon yang sedang mabuk di pegangannya.

Tubuh Ramon ambruk di atas tempat tidur king size berseprai merah maroon. Dengan sabar, Aiza melepas sepatu Ramon. Tiba-tiba saja, Ramon menarik kepala Aiza sampai gadis itu terjatuh di atas dadanya yang bidang.

"Sayang ...?" Suara Ramon parau.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status