Share

Menggali Informasi

“Apakah kamu punya informasi pribadi tentang Bian Abimana? Saat ini aku membutuhkannya.”

Elsa dan Rendi baru keluar dari ruangan tempat Wicaksono dirawat. Tanpa mengulur waktu, Elsa segera memulai rencananya untuk bertemu empat mata dengan Bian.

“Memangnya kenapa, Mbak?” Bagaimanapun info yang Rendi miliki tidak boleh tersebar secara sembarangan meski pada Elsa sekalipun.

“Aku sangat membutuhkannya. Bisakah kamu membantuku? Kalau kamu mau mengetahui cerita selengkapnya, ayo, kita cari tempat yang lebih nyaman. Aku harap, kamu bisa membantuku. Terima kasih juga sudah mau merawat Kakek selama ini. Setelah nanti Kakek dipindahkan, tolong jaga kerahasiaannya dari siapa saja.”

“Iya, saya akan mendengarkan alasan Anda terlebih dulu. Tentang Direktur Utama, itu memang sudah menjadi tugas saya.”

Elsa tak menjawab lagi, hanya anggukan dan senyum tipis yang menghiasi bibirnya. Mereka berjalan beriringan menuju ke tempat yang lebih nyaman.

Suasana di sebuah kafe tampak ramai. Elsa dan Rendi sudah duduk di salah satu meja yang ada di sana.

“Nah, gitu ceritanya. Aku hanya ingin keadilan untuk diriku sendiri. Meski terkesan caranya salah, tapi aku berusaha untuk berhati-hati. Seperti Kakek yang tiba-tiba memberi kabar mengejutkan tentang identitas asliku, aku juga akan melakukan hal yang sama pada Vela. Bagaimanapun saat dilihat-lihat dengan teliti, kemiripan Vela dengan Ayah bagiku hampir tidak ada. Pantas dicurigai bukan?”

Mau tidak mau, Elsa harus jujur pada asisten pribadi kakeknya. Dia orang yang gampang menggali informasi, entah dari mana didapatnya, tapi laki-laki itu sering mendapat misi rahasia dan berhasil melaksanakannya.

“Ya, saya memahami maksud Anda. Kemungkinan kecil bisa saja menjadi sebuah hasil yang besar kalau serius saat mengerjakannya.”

Elsa mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Senyumnya tersimpul tipis. Ia senang, Rendi bisa memahami keinginannya.

“Jadi, kamu mau membantuku memberikan informasi terkait Bian Abimana kan?” tegas Elsa untuk mendapat jawaban pasti.

“Iya, Mbak. Saya akan memberikan informasinya.”

“Bisa sekarang?”

“Baik. Akan saya kirim lewat email.”

Rendi mengambil laptop yang tersimpan di dalam tas. Ia bekerja dengan sangat baik. Cekatan dan sangat teliti.

Notifikasi berbunyi. Sudah ada pesan masuk lewat email. Elsa segera membukanya dan memindai setiap kalimat yang tertulis dalam email tersebut.

“Informasi yang sangat berguna. Cukup lengkap. Aku sangat berterima kasih.”

Tatapan Elsa tertuju pada kedua manik mata laki-laki yang duduk di hadapannya. Bibirnya tersenyum menandakan kalau dia merasa senang sekaligus puas.

“Iya, Mbak. Semoga rencana Anda bisa terlaksana dengan lancar. Ayo, saya antar Anda pulang.”

Rendi bekerja begitu serius. Wajahnya pun terlihat datar seperti tak punya perasaan. Entah memang tuntutan pekerjaan, atau sikap Rendi yang memang dingin. Senyum di bibirnya jarang terlihat atau bahkan tak pernah dilakukan.

Elsa melihat jam pada pergelangan tangannya. Kemudian, ia melihat Rendi lagi sambil tersenyum. Isi di dalam kepalanya sedang memikirkan sebuah rencana sebelum pulang lagi ke tempat yang bagai neraka.

“Mumpung masih siang, aku berencana untuk bertemu dengan Bian. Mungkin saja dia bisa diajak untuk sekadar makan. Kamu boleh kembali pada Kakek dan segera mengurus kepindahan Kakek dari rumah sakit itu.”

“Tapi, Mbak. Apa tidak bahaya? Bukankah tadi Anda dilarang untuk pergi?” Meski raut wajah yang selalu datar, Rendi bisa menunjukkan sisi perhatiannya lewat kata-kata.

“Kamu jangan khawatir. Aku bisa mengurusnya kok.”

“Anda mau pergi pakai apa?”

“Mungkin kendaraan online.”

Rendi tiba-tiba merogoh saku celananya. Lalu, ia meletakan kunci mobil di atas meja tepat di hadapan Elsa.

“Anda pakai ini saja. Saya bisa menyuruh orang lain untuk menjemput saya di sini. Setelah urusan Anda selesai, Anda bisa datang ke rumah Direktur Utama untuk mengembalikan mobil itu agar Anda tidak kena marah lagi.”

Elsa tersenyum mendengar perhatian yang secara tidak langsung Rendi lakukan. Orang sedingin Rendi, ternyata bisa menunjukkan sisi semacam itu di hadapan Elsa.

“Iya, sekali lagi terima kasih. Aku selalu merepotkanmu.”

“Tidak masalah, Mbak. Saya harus pergi dulu. Hati-hati saat melakukan rencana Anda. Permisi.”

Rendi bangkit dari tempat duduknya, lantas kedua kakinya berayun bergantian untuk meninggalkan Elsa yang masih betah duduk di kafe itu.

“Nah, ayo, kita mulai rencana untuk merebut Bian Abimana dari tangan Vela dan menggagalkan perjodohan itu.”

Jemari lentik milik gadis berwajah cantik itu menari-nari di layar ponsel. Informasi yang baru saja didapat, memuat kontak yang bisa dihubungi secara pribadi. Elsa sedang melakukannya.

“Selamat siang. Perkenalkan, saya Elsa Wicaksono pengelola Hotel Tulip ingin menawarkan kerja sama dengan Direktur PT. BA Snack Tbk, Tuan Bian Abimana, apakah Anda berkenan untuk membuat janji dengan saya? Saya harap, Anda tidak menolaknya. Saya tunggu paling lambat satu jam dari sekarang di Restoran Laria. Ini sangat penting. Mohon direspons secepatnya.”

Isi pesan itu pada akhirnya dibumbui oleh paksaan. Kalimat yang baik di awal. Namun, akhir kalimatnya sangat meresahkan.

“Dengan ini, aku harap dia peka dan datang tanpa drama penolakan.”

Sambil berbicara sendiri, Elsa menekan tombol kirim pada layar ponselnya. Kalimat paksaan yang cukup panjang itu telah masuk ke nomor WA pribadi Bian Abimana. Sudah bercentang dua pula. Tinggal menunggu dibuka.

Elsa kembali membuka email data diri dari Bian yang tadi dikirim oleh Rendi.

“Ternyata, sekelas direktur punya rumor semacam ini. Diduga tidak menyukai lawan jenis. Menarik juga. Tapi, ada gosip lain yang menyebut kalau dia suka memainkan perasaan orang yang menyukainya. Jadi, dia seorang laki-laki playboy atau penyuka sesama jenis sebenarnya? Atau malah keduanya. Aku harus berhati-hati. Bisa-bisanya Ayah menjodohkan Vela pada pria semacam ini. Hanya demi bisnis, semua bisa terjadi. Vela juga, kenapa tidak menolak perjodohannya? Sudah ada benih cinta rupanya. Aku jadi semakin bersemangat untuk merebutnya.”

Matanya sibuk memindai isi email yang tadi sudah dibaca, sedangkan mulut Elsa bergumam tentang sesuatu yang terlintas di kepalanya.

Notifikasi berbunyi. Dalam beberapa menit, Bian menjawab pesan yang Elsa kirim. Mengetahuinya, Elsa kegirangan.

“Wah, apa ini? Anda bertujuan mengajak untuk bekerja sama atau malah memaksaku menuruti kemauan Anda?”

Jawaban yang diharapkan Elsa nyatanya tak semulus itu. Tentu saja akan ada drama. Apalagi Bian memang orangnya keras kepala. Tidak suka dikekang dan dipaksa untuk melakukan sesuatu hal.

“Iya, keduanya. Jadi, temui saya di Restoran Laria. Saya akan datang ke sana sekarang.” Elsa malah semakin memaksa.

“Hei! Aku nggak mau! Bukan seperti ini meminta orang untuk bekerja sama. Apalagi denganku.”

“Bukankah Anda akan dinikahkan dengan Vela? Saya punya banyak informasi tentangnya. Anda rugi kalau tidak mengetahui kebenarannya sekarang. Atau malah Anda memang sudah cinta mati dengannya dan menerima perjodohan itu dengan suka rela?”

Meski saat menulisnya Elsa sedikit ragu dan aliran darah di tubuhnya terasa menghangat karena takut mendapatkan jawaban yang tidak diharapkan, akhirnya ia tetap mengirimkan kalimat tersebut. Harapannya tentu saja Bian merasa tersinggung dan dia tak suka dengan perjodohan itu.

“Ayo, kita bertemu sekarang. Kita harus berbicara empat mata dengan serius. Apa maumu sebenarnya?”

Bibir Elsa seketika mengembang kala membaca jawaban dari Bian yang sesuai dengan harapan.

“Bagus. Aku harap, untuk ke depannya tidak ada kendala yang bisa bikin kepalaku jadi pusing. Ayo, tawarkan kesepakatan untuk saling menguntungkan. Kamu bisa Elsa!”

Gadis itu menyemangati dirinya sendiri, lantas bangkit dan pergi meninggalkan kafe menuju ke tempat makan lain. Tempat di mana awal berjumpanya dua orang laki-laki dan perempuan yang nantinya akan memiliki perasaan khusus yang tidak diduga sama sekali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status