Kamila pulang, sampai di depan rumahnya, Alifa langsung menyambut kehadiran sang mama. Kamila turun dari taksi karena harus bekerja. "Mbok, tolong bawain belanjaan ke tempat Ibu di belakang ya.""Baik, Non," jawab si Mbok lalu mengambil tas belanjaan kesukaan sang Ibu dan membawanya ke dalam.Sedangkan Kamila yang kaget langsung memegangi sebelah dadanya. Karena ada Karin dan teman lelakinya yang sudah menunggunya di ruang tamu. "Kak, ini Mas Levin yang waktu itu Karin ceritain baru bisa main sekarang. Ingin bertemu dengan Mbak, Mila," ucap Karin terbata. "Oh, saya Kamila kakak dari Karin." Kamila menjabat tangan pria itu. "Saya, Levin. Mbak."Sesaat Kamila terdiam, mengamati wajah Levin yang sepertinya punya kepribadian yang baik, kenapa bisa nikah karena balas dendam? "Oh, iya."Setelah panjang lebar mengobrol, Kamila merasa nyaman dengan sikap Levin. Entah kenapa, Kamila tak punya hak untuk melarang adiknya menjalin hubungan dengan Levin. Benar kata Karin dia juga terbilang pr
Kamila tengah duduk berdua di kafe dengan Arum, Kafe yang bersebelahan dengan sekolah Alifa juga Ridho. Tidak sengaja ketemu, Kamila yang sedang menunggu anak-anaknya, saat tiba-tiba seseorang menepuk bahu Kamila pelan. Arum, wanita dengan perut besarnya, tersenyum. Dan setelahnya mereka duduk di sini sekarang.Tadinya Kamila berpikir akan duduk sendiri di kafe itu. Berteman baso juga secangkir teh hangat. Dan hujan yang masih intens menyapa bumi. Tapi Allah yang maha baik mengirimkan sahabat yang sangat ia rindukan. "Rum, dari mana kenapa di sini sih?" tanya Kamila pada sahabatnya. "Gue, kangen lo lah. Gila lama lo ga main ke rumah, entar kalau gue lahiran lama kan gak bisa keluar."Kamila tertawa renyah. " Ya, maaf. Habisnya aku sibuk juga.""Tahu, gue."Kamila mendengkus. Mengalihkan pandangannya menatap hujan dengan perasaan entah. Kamila tak bisa membayangkannya. Semua berbaur menjadi satu entah... "Gimana Rey, sudah sembuh, Mila?"Ya kata dokter sih, sudah kuat. Sudah bisa la
"Mbak Kamila, lagi apa?"Wanita itu menoleh dan tersenyum lebar saat mendapati sosok adiknya di ambang pintu. Ia senang karena adiknya sudah menjadi seorang istri. Begitupun dirinya saat ini sudah menjadi istri sah dokter Reyga. "Ada apa, Karin? Selamat ya, atas pernikahannya semoga langgeng dan samawa." Ucap Kamila pada adiknya. "Iya Mbak, begitu juga, Mbak. Bahagia terus, ya."Kamila tersenyum dan memeluk adiknya. Terlihat raut wajah yang semringah, Kamila begitu bahagia melihat Karin sudah beranjak dewasa dan menikah. Semoga pernikahannya langgeng tanpa ada pengganggu. Kamila tersenyum saat ada Levin datang. "Mbak, Mila."Dan itu sukses membuat Kamila berdeham sambil menahan tawanya. Karena Levin sudah mencari Karin, Kamila sendiri merasa tak nyaman, akan kedatangan adik iparnya. "Tuh sudah di cari suamimu lo, Karin," goda Kamila seraya tersenyum."Ich, Mbak bisa saja." Karin menepuk lengan Kamila. "Sudah, sana temui.""Iya ... iya."Kamila pun mencoba mengatur irama jantung
"Karin, bangun. Sudah subuh."Karin masih enggan membuka kedua netranya. "Hey sayang ayo bangun." Levin menguncang pelan tubuh Karin. Enggan rasanya Karin membuka mata, Karin memilih melanjutkan tidur. Sampai ia merasakan seseorang telah mengguncang tubuhnya. Karin membuka mata perlahan dan mendapati sebuah wajah yang begitu ia kenal berada tepat di depan wajahnya. "Ngantuk, Mas?" Karin terlihat kaget. Duduk seketika dan mengucek kedua matanya.Levin tersenyum sambil meraih tangan istrinya. "Mandi sayang, sudah subuh."Karin masih belum sepenuhnya sadar dari tidurnya, ia mengerjap tak percaya dengan ucapan Levin jika ini sudah pagi. Karin menyibak selimutnya dengan malas lalu berjalan ke arah kamar mandi. "Cepatlah, aku tunggu. Kita salat berjamaah," tegasnya lagi."Iya ...."Selesai mandi besar dan wudu, ia memakai mukena. Karin mengikuti gerakan Levin sebagai imamnya, Karin begitu trenyuh akhirnya lelaki yang sangat ia cintai itu. Nyata menjadi miliknya, selesai menjalankan ibad
Lia 23Kepergok"Apa yang kita lakukan, Ren? Ini salah?" tanya Erlan pada Reni yang saat ini duduk di depannya. Kali ini Erlan berusaha mengintrogasi wanita itu yang tiba-tiba menyerangnya. saat jam makan malam. Erlan dengan sangat antusias memaksa Reni untuk bercerita. "Maaf, aku khilaf, Pak. Namun jujur aku sudah memendam perasaaanku dari dulu pada, Bapak," jawab Reni seraya memakan makanannya. "Lalu ... kau belom menikah?" tanya lagi Erlan pada wanita itu. Wanita itu menggeleng lalu menunduk. "Suamiku meninggal, Pak.""Maaf."Erlan hanya menghela napas. bicara soal wanita itu yang Erlan sendiri bahkan tak tahu tentang asal usul kehidupannya selama ini. Entahlah ... mungkin karena sikap posesif Ambarwati membuat Erlan saat ini jadi lebih nyaman berada di dekat wanita itu. Yang kini Erlan merasa jika harga dirinya sebagai seorang lelaki kembali bangkit. "Aku yang salah, Pak."Sesaat Erlan menarikan napas berat. Seoalah ia ingin memberitahu point penting pada Reni. "Kau tahu itu
"Kau keterlaluan, tuduhanmu tak beralasan.""Apa ... tak beralasan?"Mendengar ucapan Ambarwati, Erlan terdiam sambil menatapnya tajam. Erlan hanya bisa menerka apa yang tersirat dalam benak istrinya itu, lalu mencoba membaca dari sorot mata yang penuh dengan kecurigaan. Erlan merasakan sorot yang sama dimiliki Kamila saat ia marah besar. Erlan sadar dan mengusap rambutnya dengan kasar. Bukankah kata orang, mata adalah gambaran hati dan tidak akan bisa berbohong. Namun, Erlan mungkin bisa saja salah. Apa itu terlalu penting, mengingat tujuan Erlan ke sini hanya untuk urusan pekerjaan. "Pak Erlan, klien kita sudah datang dan meeting akan segera dimulai." Panggil rekan kerjanya. Tiba-tiba Anton datang memberi tahu Erlan. yang tadi datang bersama namun ia izin ke toilet. Bukankah dewa penolong berpihak padanya kali ini? "Baiklah, tunggu sebentar," jawab Erlan menatap kedua netra Ambar. "Baik, Pak.""Kamu, memalukan Ambar, lihatlah aku kesini bersama rekan kerjaku bukan seperti apa
"Mila, tetap disini. Aku kesana sebentar bertemu dengan, dokter Farid." Kata Reyga sambil meraih tangan Kamila. Jantung Reyga berdetak pelan, rasanya tak ingin menjauh dari istrinya. Untuk pertama kalinya mereka ke undangan bersama, wajah cantik Kamila menjadi daya tarik tersendiri di hati Reyga. "Iya, Mas Rey.""Jangan kemana-mana ya.""Iya, tenang saja. Aku tak apa-apa."Reyga pun tak kalah senang mendengar jawaban dari Kamila. Ia mengecup tangan Kamila dengan lembut. "Serius, mau ditinggal," goda Reyga. "Iya." Kamila menggenggam tangan Reyga erat. Berusaha meyakinkan dirinya akan baik-baik saja. Reyga berjalan mendekati dokter Farid, mereka saling menyapa juga Reyga memandang istrinya dari jauh. Dia tersenyum, senang melihat ke arah Kamila. Sementara Kamila berdiam diri seraya menatap pengantin yang terlihat begitu serasi. Suara alunan musik menggema di penjuru hotel tempat mereka mengadakan resepsi. Kamila melihat sang mama sedang asyik bercanda dengan teman sosialitanya. S
Disaat senja telah menguning, pertanda hari akan berganti petang. Senja seolah tahu kegelisahan yang mendera hati Kamila saat ini, bahwa ia tidak ingin menjadi durhaka pada sang suami di sisi lain ia tak tega meninggalkan Mama mertuanya sendirian di rumah besar itu dengan Nilam wanita ambisius itu. Kamila mengehembuskan nafas berat. Kamila membungkus harapan seperti pasir yang basah, mencoba membangun kembali kenangan yang sudah punah. Berharap agar dirinya dapat menanti kebahagiaan diujung senja. Dengan tergesa dan diiringi isak tangis, Kamila memasukkan barang-barang ke dalam travel bag. Tak perlu menunggu besok karena Reyga sedari tadi sudah marah besar, malam ini juga Reyga akan mengajak istri juga anak-anak untuk keluar dari rumah besar yang menyimpan banyak luka. Meskipun Kamila tidak pernah bercerita, namun, Reyga tahu betapa Kamila di rumah besar itu begitu menderita. Empat travel bag besar dan satu tas berukuran besar, sudah siap bergantian menuju teras rumah. Dibantu ole