POV Damar
Aku berjalan dengan semangat memasuki gedung kantor tempatku bekerja, sambil menyapa beberapa teman dan staff lainnya dengan ramah. Rasanya saat-saat bekerja begini adalah saat yang paling menyenangkan, karena bisa sekalian merefresh mata melihat wanita-wanita cantik nan bahenol. Ah, berbeda jauh dengan pemandangan yang ada di rumah.Tak berapa lama, Hardi--sobat kentalku menghampiri dengan raut sumringah."Eh, Bro ... Udah dengar kabar belum?" Tanyanya begitu berada di sampingku."Kabar? Kabar apa, Di?""Barusan Pak Jaya ngasih pengumuman mendadak," ujarnya antusias."Pengumuman apa?""Nanti akan diadakan rapat mendadak. Ada desas-desus katanya soal kenaikan jabatan."Mendengar penjelasan Hardi aku langsung semangat. Jelas, setiap orang di kantor ini pasti berharap dapat jabatan yang lebih baik. Apalagi aku. Selama ini aku sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk perusahaan ini sebagai supervisor. Jadi wajar saja kalau aku pun ikut berharap bisa naik jabatan juga.Aku menuju ke ruanganku dengan senyum mengembang percaya diri. Begitu sampai di ruangan, terlihat para staff juga sedang kasak-kusuk heboh. Ah, tak sabar rasanya aku menunggu waktu berlalu.Tak berapa lama, waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Kami diminta untuk berkumpul di ruangan rapat. Setelah semua berkumpul, Pak Jaya sebagai direktur utama pun masuk. Membuat jantungku makin berdetak-detak tak karuan, seperti orang sedang jatuh cinta rasanya.Pak Jaya pun membuka rapat, beliau menyampaikan bahwa ia akan mengubah struktural perusahaan. Karena setelah evaluasi beberapa lama ia mulai menilai kinerja para staffnya.Tanpa membuang-buang waktu Pak Jaya mulai membacakan nama-nama yang akan naik jabatan. Aku menunggu dengan sedikit harap-harap cemas saat Pak Jaya membacakan nama-nama yang diangkat pada posisi Manager. Hingga saat Pak Jaya membacakan namaku sebagai Manager pemasaran yang baru, aku langsung ingin meloncat rasanya sangking bahagianya.Ah, aku benar-benar beruntung rasanya. Akhirnya usahaku selama ini membuahkan hasil juga.Saat seperti ini, aku langsung terbayang wajah Ibu. Sudah pasti ini semua karena aku sudah menyenangkan hati Ibu kemarin dengan memberinya hadiah. Dan hari ini aku langsung diberi balasan yang luar biasa oleh yang Maha Kuasa. Terima kasih, Tuhan.Rapat pun usai. Kami diminta kembali bekerja."Selamat ya, Bro! Bahagia banget lu ya, naik jabatan. Jangan sombong-sombong Lu nanti sama Gua, kalau udah jadi Manager." Hardi menyikut lenganku saat kami sedang berjalan bersisian menuju ruangan masing-masing.Aku langsung terkekeh mendengar perkataan Hardi. Kasihan sebenarnya dengan temanku ini. Dari sejak dulu tak pernah sekali pun naik jabatan. Tapi wajar sih, Hardi orangnya bukan tipe orang yang pandai cari muka di depan bos.Dia selalu berkata, "aku mau jalani apa adanya saja." Terlalu kolot pemikiran Hardi. Padahal jika ia mau menjilat para atasan sedikit, setidaknya ia bisa maju sepertiku sekarang ini."Tenang aja dah, Lu. Mana mungkin Gua sombong-sombong ke Elu. Tapi btw, Di ... Lu ada uang gak? Gua pinjam dulu dong sejuta," ucapku setengah berbisik.Hardi langsung menoyor kepalaku. Dasar bawahan tak sopan! Berani-beraninya menoyor kepala seorang Manager."Ujung-ujungnya gak enak Lu, Mar!" Ketus Hardi bersungut-sungut."Please lah, Di ... Nanti bakal Gua ganti kok, kalau udah gajian. Lagian Gua ini kan udah jadi Manager, pasti nanti gaji Gua bakal naik." Aku masih berusaha merayu Hardi."Ya deh, ya deh. Nanti Gua transfer aja. Gak ada uang cash soalnya."Yes! Akhirnya aku dapat uang juga untuk merayakan kenaikan jabatanku ini.Aku bekerja penuh semangat hari ini. Apalagi ini adalah hari terakhir aku menduduki jabatan sebagai supervisor.Tanpa terasa hari mulai sore, jam pulang pun tiba. Cepat-cepat aku keluar dari kantor hendak pulang. Tak sabar rasanya ingin memberitahukan kabar gembira ini secepatnya."Eh, Damar ... Udah mau pulang?"Aku melengos saat seorang wanita cantik menyapaku di parkiran. Wanita bernama Cintya itu satu divisi dengan Hardi.Bukan aku tak suka dengan Cintya, hanya saja sedari dulu aku selalu mencuri-curi perhatian wanita itu. Tapi ia selalu cuek dan jual mahal. Aku yakin, saat ini sifatnya berbalik seratus delapan puluh derajat karena tahu aku naik jabatan. Kali ini saatnya aku yang balas dendam dengan jual mahal padanya.Tanpa menghiraukan Cintya, aku langsung melajukan motorku ke arah jalan pulang. Tak lupa kubeli oleh-oleh di tengah perjalanan.Setengah jam perjalanan, aku pun sampai di depan rumah bercat putih itu. Rumah ternyamanku sejak dulu kala. Aku sedikit mengernyitkan dahi saat melihat sebuah sepeda motor yang bukan milik Ibu terparkir di halaman.Melihat pintu rumah terbuka, aku langsung masuk sembari mengucapkan salam."Bu, Ibuu ...." Aku berteriak memanggil wanita yang kukasihi itu."Iya, Mar. Ibu di dapur."Secepat kilat aku menuju dapur. Namun langkahku langsung terhenti saat melihat Ibu sedang bersama seorang wanita yang amat kubenci.Aku langsung berbalik arah, tak jadi menemui Ibu. Namun detik selanjutnya, langkahku tertahan saat mendengar panggilan Ibu."Mau kemana, Mar? Ini ada Rasti. Kamu gak ingin menyapa dia dulu?"Tanganku langsung terkepal begitu mendengar perkataan Ibu. Bisa-bisanya Ibu berkata seperti itu dengan entengnya. Padahal Ibu tahu bagaimana hancurnya aku dulu akibat ulah wanita itu."Mas Damar, Maaf jika aku datang secara tiba-tiba. Sebenarnya aku ingin bicara dengan Mas Damar." Suara wanita itu kini terdengar begitu dekat di belakangku.Aku berusaha mengatur napas untuk mengontrol emosi. Aku tak mau akibat emosi yang melonjak, hati Ibu akan ikut tersakiti."Tak ada lagi yang perlu dibicarakan antara kita," ucapku dengan nada dingin. Namun, detik berikutnya aku dibuat terkejut saat mendengar isakan dari bibir wanita itu."Aku tahu Mas Damar pasti masih marah dan membenciku. Itu sebabnya aku berusaha untuk meminta bantuan Ibu agar mempertemukan kita. Aku sadar, dulu aku sudah benar-benar melakukan kesalahan, Mas. Sekarang aku sudah dapat karmanya," sahut Rasti di sela isak tangisnya. Namun aku tetap bergeming di tempat."Damar, ayolah! Beri Rasti kesempatan. Dia sudah mengakui semua kesalahannya dan dia juga menyesal. Kasihan Rasti, Mar. Dia baru saja diceraikan suaminya."Aku langsung memutar tubuh begitu mendengar perkataan Ibu. Apa? Rasti sudah jadi janda? Tapi kenapa? Bukannya selama ini dia selalu membangga-banggakan suaminya yang keturunan orang kaya itu."Duduk dulu lah, Mar." Ibu menuntunku untuk duduk di kursi makan. Terpaksa aku pun menurutinya.Terlihat Rasti masih berdiri menunduk sambil sesekali terisak. Ada rasa iba, tapi segera kutepis jauh-jauh. Mengingat perbuatannya dulu padaku."Ibu buatkan kopi dulu ya?" Tawar Ibu padaku. Namun, di luar dugaan, Rasti langsung mengangkat wajahnya yang bersimbah air mata dan menawarkan diri untuk membuatkanku kopi."Biar Rasti aja, Bu.""Tak usah! Aku tak haus," sahutku cepat."Tak apa, Mas. Aku sangat ingin berbuat sesuatu untuk Mas Damar."Aku hanya memutar bola mata mendengar jawabannya. Entahlah, rasa benciku pada wanita itu begitu membuncah. Sejenak ingatanku kembali berkelana ke masa lalu. Masa di mana bertahun-tahun kuhabiskan dengan wanita itu.POV AdistaAku menatap lekat jam dinding yang sedari tadi terus berputar jarumnya. Sedikit gelisah menanti kepulangan Mas Damar. Biasanya jam segini Mas Damar sudah sampai rumah. Aku juga sudah memasakkan makanan kesukaan Mas Damar sesuai permintaannya. Mumpung Mas Damar sudah memberi uang tambahan.Namun hingga waktu beranjak malam, Mas Damar tak jua kembali. Pesan yang kukirim sejak sore pun tak dibacanya sama sekali. Kemana sebenarnya Mas Damar? Apa ia sedang lembur?Lamunanku yang sedang berkelana memikirkan Mas Damar langsung buyar saat mendengar notifikasi pesan masuk di ponsel. Buru-buru aku meraih ponsel, berharap Mas Damar lah yang menghubungiku.Aku kembali lesu saat melihat ternyata bukan Mas Damar yang mengirim pesan tersebut.Kubuka pesan dari Wina, sahabatku itu. Begitu melihat apa yang dikirim Wina, hatiku langsung terlonjak kaget. Ternyata Wina mengirim sebuah foto yang diambilnya dari sebuah restoran ternama.[Ta, ini suamimu dan mertuamu ada di sini. Kamu kok gak iku
"Asal kamu tahu ya, Ita ... Aku benar-benar bosan dengan dirimu yang sekarang. Tampilanmu yang sekarang selalu bikin mataku sakit!"Ucapan Mas Damar bak sembilu yang menusuk ke ulu hati. Aku menatap mata Mas Damar lekat, tak menyangka jika sikapnya selama ini berubah hanya karena tampilanku."Maksud kamu apa, Mas? Tampilanku yang mana yang membuat matamu sakit?" Tanyaku lemah karena syok."Kamu selama ini gak ngaca ya, Ta? Lihatlah dirimu! Hari ke hari tampilanmu itu makin kucel dan tak menarik tahu!" Balas Mas Damar benar-benar membuat hatiku semakin sakit."Mas ... Tega kamu berkata begitu ya? Padahal kamu tahu, gimana sibuknya aku mengurus rumah dan anak kita. Bahkan untuk sekedar mandi saja aku harus menunggu kamu pulang, Mas. Aku begini juga demi kalian, Mas!" Mataku mulai terasa berembun saat mengucap kata-kata itu. Padahal aku selalu berusaha ikhlas untuk melakukan semua kewajibanku, tapi kali ini terpaksa kuungkit agar mata Mas Damar terbuka walau sedikit."Selalu itu saja al
"Maaf, Bu ... Aku benar-benar gak tahu kalau Ibu buat acara. Kalau tahu juga aku bakal datang ke sini sejak subuh." Aku terus membela diri. Terlihat Ibu hanya berdecih."Ada apa ini?" Tanya Mas Damar yang tiba-tiba sudah berada di belakangku."Mas, kamu kok gak bilang ke aku kalau Ibu hari ini mau bikin acara?"Mas Damar langsung berdecak kesal."Gimana aku mau bilang ke kamu? Pas aku pulang kamu udah tidur," sindir Mas Damar membuatku makin kesal. Hanya perkara tak disambut pulang kerja, Mas Damar jadi terus mengungkit-ungkit. "Apa, Mar? Ita tidur saat kamu pulang? Jadi kamu tak disambut dia dong?""Boro-boro, Bu."Mendengar sahutan Mas Damar, hatiku langsung panas."Untuk apa aku menyambut kamu, Mas? Untuk menyenangkan hati kamu gitu? Sedangkan kamu saja bersenang-senang di luar tanpa aku!" Balasku tak mau kalah.Mas Damar langsung membelalakkan mata seperti terkejut mendengar perkataanku.
"Maass!"Aku terkejut mendengar panggilan keras Dista. Bahkan ponsel yang sedang kugunakan untuk bermain game online pun hampir terjatuh sangking terkejutnya."Kenapa teriak-teriak, sih?" Ketusku menatap Dista tak suka. Apalagi setelah melihat kembali ke ponsel, ternyata game yang kumainkan jadi kalah, akibat fokusku beralih ke Dista."Kamu gimana sih, Rafis nangis dibiarkan saja," sentak Dista dengan nada tinggi. Membuat perhatian para tamu Ibu beralih pada kami."Aku gak dengar.""Astaga, Mas. Aku yang lagi di dapur aja dengar jelas. Kamu yang posisinya dekat kenapa malah gak dengar?" Protes Dista dengan wajah yang benar-benar terlihat kesal.Ingin saja kujawab ucapannya, tapi kalau aku bilang, aku tak dengar karena sibuk bermain ponsel, sudah pasti Dista akan mengamuk lebih parah."Lihat ini! Baru beberapa hari yang lalu, Rafis jatuh karena kamu gak jaga dengan benar. Sekarang malah benjol kepalanya karena jatuh lagi,
"Mas, apa kita tak bisa dekat seperti dulu lagi?" Aku refleks mengerem motor mendadak mendengar perkataan Rasti barusan."Maksudmu apa berkata begitu, Ras?" Aku bertanya dengan nada tinggi sembari menoleh ke arah Rasti.Rasti sedikit gugup menerima tatapan tajam dariku."Tolong jangan melewati batas! Aku mengantarkanmu pulang semata-mata karena Ibu. Jadi, tolong jangan berucap omong kosong seperti itu!" Tukasku lalu kembali melajukan motor.Dapat kulihat dari spion motor, Rasti hanya menunduk sedih mendengar ucapanku. Namun, sama sekali tak ada rasa iba di hati ini untuknya.Sebenarnya Rasti cantik, lebih cantik dari Dista saat ini. Namun bila mengingat luka yang pernah ia torehkan, sedikit pun aku tak terpesona dengan kecantikannya.Kami melanjutkan perjalanan hanya dengan saling diam. Syukurlah Rasti tak mengoceh yang tidak-tidak lagi. Mungkin ia takut setelah tadi kubentak.Tak berapa lama, motor yang kulajukan pun sampai di depan rumah Rasti
Part 10Sudah berhari-hari Dista tak pulang ke rumah. Akhirnya aku tahu bahwa ia berada di rumah orang tuanya, sewaktu mencoba menghubungi adiknya. Awal mengetahui itu jelas aku geram, karena ia pergi tanpa izinku. Aku sama sekali tak ada niat untuk menjemputnya. Toh, dia pergi sendiri? Untuk apa aku yang menjemput.Tapi setelah lama sendiri begini, aku malah merasakan kesepian tanpa kehadiran dirinya."Woi! Seharian bengong mulu Lu!" Aku terjengit kaget saat Hardi menepuk punggungku."Si*alan Lu, Di. Bikin Gue terkejut aja," sungutku lalu kembali fokus melanjutkan makan siang yang sedari tadi kunikmati tanpa minat."Elaaah ... Pak Manager gitu doang terkejut." Hardi terkekeh lalu ikut duduk di hadapanku."Kenapa muka Lu kusut begitu? Ada masalah? Atau jabatan baru tak menyenangkan?" Selidik Hardi seraya menelisik raut wajahku."Lagi kesel aku, Di.""Sama siapa?" Tanya Hardi sembari menyuap makanannya.
Aku sampai di pekarangan rumah orang tua Dista saat hari sudah benar-benar beranjak sore. Rumah orang tua Dista terletak di kota sebelah, hanya butuh perjalanan sekitar empat puluh lima menit saja jika mengendarai motor.Terlihat rumah dalam keadaan tertutup rapat, tak terdengar pergerakan pula dari dalam. Jangan-jangan mereka sedang tak ada di rumah.Aku turun dari motor dan menuju teras rumah besar itu. Ya, sebenarnya orang tua Dista adalah orang yang berada, itu sebabnya dulu Ibu sangat menyetujui pernikahan kami. Tapi itu dulu, sekarang malah Ibu melihat Dista bak menantu yang tak berguna.Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum ...." Dengan harap-harap cemas aku mengetuk pintu tersebut.Tak berapa lama terdengar suara sahutan dan langkah kaki dari dalam rumah. Pintu pun terbuka. Dan Dista lah orang yang membukakan pintu itu. Terlihat raut wajah Dista sedingin es saat menatapku. Membuat aku jadi kikuk dan salah tingkah, apalagi ia sama sekali tak ada mengucapkan apapun."Ita ... Boleh a
Sejak kehadiran Bella di dunia mayaku, aku tak lagi kesepian walaupun Dista tak ada di sampingku. Walau harus keluar uang hanya untuk video call dengannya, aku tak masalah. Yang terpenting, aku benar-benar bahagia.Masalah pekerjaan rumah dan cucian sekarang juga aku tak perlu risau. Karena Ibu sudah mencarikan orang yang mau dibayar murah untuk mengerjakan pekerjaan rumahku. Bukan aku pelit. Tapi jika bisa dapat yang lebih murah, kenapa tidak? Lagi pula sejak aku menjabat sebagai Manager, mau tak mau pelan-pelan aku harus merubah penampilanku.Masa iya seorang manager terus-terusan pakai motor. Apa kata dunia? Sebab itu sejak mendapat gaji pertama selama jadi manager, aku mulai DP mobil. Walau bukan mobil yang mewah-mewah, setidaknya sudah bisa mengendarai mobil.Tentang Dista, aku tak mau lagi ambil pusing dan membujuknya. Paling setelah melihat aku mapan ia akan mengemis-ngemis maaf dariku. Lagi pula sekarang aku tak butuh dia lagi, karena ada