Share

7. Utang Suamiku

“Neng, itu kenapa? Mas yang tadi jatoh?” Bapak ojeg bertanya denganku.

              Dari nada suara beliau, terdengar sangat resah dan cemas. Kami setali tiga uang. Sama-sama tak tenang, sebab bunyi gedubrak serta pekik jerit di belakang sana.

              “Nggak tahu, Pak! Nggak lihat. Pak, ayo buruan kabur aja!” pintaku mendesak bapak ojeg.

              “I-iya, Neng,” gagap bapak ojeg di tengah desauan angin dan hiruk pikuk jalanan yang mulai macet.

              Untung saja, tak ada yang mencegat kami. Aku pun tidak mampu untuk menoleh ke belakang. Mataku kini terpejam saking takutnya.

              “Neng, ini kita ke mana?”

              “Ke kantor JNR yang di jalan Senopati, Pak! Depan supermarket Hari Ini!”

              Kantor yang kumaksudkan adalah tempat bekerjanya Mas Rian. Pernah menjadi tempat bekerjaku juga. Pasti kalian bertanya-tanya, mengapa aku malah pergi ke sana.

              Aku ingin menemui Helena. Dia adalah satu-satunya sahabat karibku di kota ini. Kami berdua sama-sama perantau.

              Aku yakin, hanya Helena yang mau menolongku. Setidaknya dia pasti akan memberikanku pinjaman uang untuk ongkos pulang ke kampung. Jujur, di dompetku hanya tersisa dua puluh ribu saja.

              Motor bebek terus dipacu oleh si bapak ojeg. Untungnya, saat ada lampu merah, kami langsung belok ke kiri sehingga tak perlu mengikuti lampu apil. Perjalanan ini serasa terus dimuluskan oleh Allah.

              Setelah agak jauh dari lokasi kejadian di mana aku menendang motor Mas Rian, kuberanikan diri untuk menoleh ke belakang. Pria bermotor matik merah doff itu benar-benar tidak tampak lagi. Ada bulir-bulir cemas yang mengembun dalam hatiku.

              Sejuta tanya kini bercokol di kepala. Bagaimana kalau Mas Rian betulan jatuh dan ditabrak pengendara lain? Terus, bagaimana kalau dia patah tulang atau bahkan … meninggal dunia?

              Nauzubillah! Sebenci-bencinya aku kepada pria yang masih berstatus sebagai suamiku itu, aku tetap tak ingin dia celaka. Apalagi karena ulahku sendiri.

              Yang kumau hanya perpisahan. Setelah cerai, kami berdua sama-sama mencari kebahagiaan di jalan yang berbeda. Semoga saja Mas Rian tidak kenapa-kenapa setelah motornya kutendang tadi.

              Kami sudah hampir dekat dengan tempat tujuan. Dari sini, aku bisa melihat bahwa kantor yang berfungsi sebagai warehouse barang masuk dari berbagai daerah itu, telah dibuka pintunya. Beberapa motor dan mobil juga sudah parkir di depannya.

              “Neng, jadi yang tadi itu siapa?” Bapak ojeg itu tiba-tiba bertanya sambil mengambil sisi kanan jalan untuk menyebrang.

              “Suami saya, Pak. Sudah mau cerai. Ini saya kabur dari rumah dia karena diperlakukan tidak etis!” terangku bersuara keras.

              “Neng, itu kayanya suaminya Neng jatuh, deh. Saya jadi takut dicari ini! Bagaimana dong, Neng?” Terdengar keresahan yang mendalam dari suara bapak-bapak kumisan tersebut.

              “Nggak, Pak. Nggak bakal. Kalaupun ada yang dicari, saya orangnya.”

              Aku menggigit bibir bawahku sendiri. Tengkukku merinding hebat sekarang. Terbayang di pelupuk mata, apabila aku dicari oleh orangtuanya suamiku dan diperkarakan ke kantor polisi.

              Aku tidak salah, benakku. Kalau pun sampai dibawa ke jalur hukum, akan kujelaskan bahwa Mas Rian duluan yang menarik jilbabku. Aku juga akan katakan kepada polisi bahwa mertuaku sudah hampir menampar wajahku segala.

              Bapak ojeg sudah berhasil menyebrang. Motor yang kutumpangi kini telah berada di parkiran kantor JNR. Aku sangat lega, meski sebenarnya ngeri juga jika ternyata Mas Rian bakalan tiba ke sini sebentar lagi.

              “Neng, sudah sampai!”

              “Iya, Pak. Berapa biayanya?”

              Aku buru-buru turun sambil membawa serta tas yang telah menjadi pembatas antara aku dan pengendara ojeg di depanku. Napasku sungguh terengah-engah. Sementara kedua tungkaiku, terasa lemas luar biasa.

              “Tiga puluh ribu, Neng. Harusnya sih, lima puluh. Bukan karena jarak, tapi ini karena terlalu banyak tantangannya!” Bapak ojeg itu ikut terengah-engah.

              Mendengar ucapan si tukang ojeg, mataku membeliak. Tiga puluh ribu? Duitku tidak cukup!

              Aku buru-buru membuka ritsleting tasku. Mengambil dompet dari dalam sana. Ketika kubuka, isinya memang tinggal dua puluh ribu.

              “Pak, ini dua puluh. Sisanya saya pinjem teman di dalam dulu, ya,” mohonku dengan muka memelas.

              Bapak-bapak berkumis tebal yang telah berhias uban dan berperut buncit itu terlihat cemberut. Dia pasti mangkel sebab lagi-lagi aku sangat merepotkannya. “Buruan, Neng!” sergah pria itu padaku.

              Aku mengangguk. Buru-buru kubawa tas sambil berlari menuju bagian dalam kantor. Mataku langsung tertuju pada meja kerja dengan dua layar monitor komputer di atasnya.

              “Helena!” pekikku pada wanita yang tengah sibuk memandangi layar.

              Gadis berambut lurus sebahu dengan penampilan rapi itu menoleh. Sontak, Helena bangkit dari kursi kerjanya. Matanya membulat besar saat melihat kedatanganku.

              “Fika? Lho, ngapain bawa tas gede segala, Fik?!” Helena tampak kaget luar biasa.

              “Hel, aku boleh pinjam uang nggak? Sepuluh ribu aja!” pintaku frustrasi.

              “Ha? Sepuluh ribu? Bentar!” Helena terlihat gelagapan.

              Otak Helena pasti masih nge-lag sebenarnya. Terang saja. Siapa yang tidak terkejut jika orang yang baru datang, ujug-ujug minta uang sepuluh ribu.

              Helena merogoh saku celana hitamnya. Dari sana dia mengeluarkan uang dua pecahan sepuluh ribu sebanyak dua lembar. Tangan putih mulus dengan perhiasan emas di jari manis dan tengahnya itu pun mengulurkan uang tersebut padaku.

              “Ambil aja buat kamu, Fik!” katanya sambil mengangguk.

              “Nanti aku kembalikan. Bentar, ya!”

              Kusambar uang tersebut, lalu aku pun berlari tanpa membawa serta tas hitam yang kubiarkan tergeletak di lantai dekat meja komputer. Bapak tukang ojeg berjaket hijau lusuh itu sudah terlihat tak sabaran. Matanya langsung memicing ketika aku tiba di depan motornya.

              “Pak, ini. Saya bonusin sepuluh ribu,” ujarku sembari mengulungkan uang padanya.

              Akhirnya, si bapak ojeg itu tersenyum juga. “Makasih, Neng. Saran saya, buruan cerai aja. Neng itu cantik, kalau jadi janda pasti banyak yang mau.”

              Aku ternganga lebar ketika si bapak tukang ojeg itu mengatakan kalimat barusan. Si tukan ojeg itu pun lalu memacu kencang motornya. Meninggalkan diriku yang masih kepikiran akan ucapan beliau barusan.

               Saat aku masih terpaku di halaman parkir, tiba-tiba sebuah sedan putih masuk dan membunyikan klaksonnya nyaring-nyaring. Aku kaget luar biasa. Langkahku langsung mundur menjauh, demi memberikan pengendara mobil itu space.

              “Kurang ajar banget, sih!” makiku sambil mengelus dada.

              Sial, pikirku. Songong sekali pemilik mobil putih itu. Apa dia tidak bisa pakai cara yang halus untuk minta jalan?

              Mobil itu pun parkir di samping mobil box JNR yang berfungsi untuk mengantar dan menjemput barang kiriman konsumen ke bandara. Mataku masih saja tertuju pada sedan putih mewah mengkilap tersebut. Cuma pengen tahu, siapa sih, yang tega-teganya membunyikan klakson senyaring itu.

              “Fika?! Ngapain kamu ke sini? Mau ngebayar utang-utangnya Riankah?”

              Sosok yang baru saja keluar dari mobil itu membuat diriku terenyak. Apalagi kata-kata yang dia ucapkan barusan. Utang-utang apa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status