Share

6. Pria Misterius

Jangan lupa, like, coment & follow akunku...

Happy Reading💐

Seorang pria bertopeng masuk melewati jendela rumah sakit mendatangi Nalan yang tertidur pulas, entah siapakah pria bertopeng itu?

Nalan hanya seorang diri tanpa penjagaan dengan wajah terlelap, asisten dan keluarganya sibuk dengan urusan masing-masing. Pria bertopeng memiliki niat ingin membunuh Nalan, ia mengacungkan pistol kepadanya.

Sesaat, Nalan tersadar dengan gerak gerik bayangan. Dia pun membuka mata membulat, sentak bangun tanpa merasakan sakit di bagian perut.

"Siapa kamu?" tanya Nalan panik. Ia mengarahkan pandangan ke segela penjuru kamar, tak ada sat pun orang ternyata yang menjaganya.

"Pria bertopeng," gumam Nalan heran. Siapa lagi, ini?

"Kau tak perlu tahu, tugasku hanyalah untuk menambah luka tembakan di perutmu," jawab pria bertopeng santai.

"Pergi!?" usir Nalan dengan suara lantang. Ia ketakutan, bukan tak bisa melawan hanya saja tubuhnya masih sangat lemah karena kehilangan darah sebanyak 2 kali.

" Tak akan ada yang menolongmu."

"Oh, ya? Ini rumah sakit, apa kau lupa?" tanya Nalan sinis. Seketika matanya terbelalak dari balik topeng.

"Benar, saja!" kata dia.

"Aku tidak peduli, setelah menembakmu aku mudah kabur."

Ko

Melangkah perlahan sembari tetap mengacungkan pistol padanya. Nalan yang panik tak tahu harus berbuat apa!

"Apa yang harus kulakukan? Tubuhku benar-benar tak ada tenaga," gumam Nalan berpikir keras.

Melihat kelengahan Nalan, pria bertopeng mematikkan senapannya tanpa pikir panjang.

Dor!!!

Tembakan sekali itu membuat Nalan sigap untuk segera menghindar jatuh dari branka, meleset mengenai bantal. Infusnya terlepas dan perut kembali mengeluarkan darah serta tangan. Tersungkur kelantai menahan perih.

"Sial, kenapa tidak ada orang yang menjagaku?" batin Nalan dengan tubuh gemetar.

Dor!!!

Pria bertopeng itu kembali menembakinya, tapi sekali lagi Nalan mampu menghindar dengan berguling ke samping.

"Menyerahlah, tenagamu yang tak seberapa itu akan membuatmu mati dengan kehabisan darah," ucap pria bertopeng meremehkan.

Nalan hanya bisa terduduk di lantai dengan tangan kanan memegang perut dan nafas yang tersengal serta wajah pucat.

"Kemana semua para dokter, penjaga dan perawat? Tidakkah mereka mendengar suara tembakan?" Nalan kembali membatin dengan wajah sangat cemas.

"Berhentilah membuang waktuku," kata pria bertopeng yang kini tepat berada di depannya sedang mengacungkan pistol di dahi.

Nalan menatap pria bertopeng itu dengan wajah melemah, bibirnya memutih menahan sakit. Namun, tak ada rasa iba bagi pembunuh.

"Nalan, kau telah banyak salah. Sebenarnya kau harus disiksa secara perlahan. Kematian yang mudah bagimu sangat tak adil."

"Apa maksudmu?" tanya Nalan terbelalak.

"Jawabannya akan kau temukan ketika di neraka nanti, saat kau mati semua keluargamu akan ku bantai habis-habisan. Agar tak ada lagi keturunanmu."

Nalan menunduk sejenak, emosinya yang mulai meluap kini tak dapat ditahan, tangan mengepal. Berdiri perlahan dengan gontai. Memaksakan diri melawan pria misterius dihadapannya.

"Sungguh, lelaki terkuat," gumam pria itu yang tak diketahui namanya.

Dengah langkah terhuyung, maju mendekati pria itu sembari memegang terus perut yang mengeluarkan darah tanpa henti.

Meski tak ada kekuatan, tapi tak ada kata "menyerah" bagi Nalan. Tiba-tiba ia berlari dengan cepat, merebut pistol di tangan pria itu. Bagi dirinya keluarga nomor 1 yang tak boleh diganggu.

Mereka berdua saling berebut, hingga pistol itu ke atas dan menembak langit kamar.

Dorr!!!

Sekali lagi berbunyi, tak ada yang mengalah. Mereka tetap saling berebut bahkan beberapa kali Nalan terdorong, tapi dengan cepat kembali ingin merebut.

"Aku, tidak akan membiarkanmu mengusik keluargaku," desis Nalan sekuat tenaga tanpa memedulikan darah makin deras keluar.

"Kau berani melawanku? Rasakan balasanku," marah pria bertopeng. Ia memukul luka tembakan Nalan hingga membuatnya menjerit kesakitan dan berkata lagi, "kau itu lemah sehingga sangat mudah untuk dikalahkan."

"Aaaarrrgghh," ringis Nalan terjatuh ke lantai sembari memegang perut. Sungguh, kekuatan pria misterius itu memukul sangat kuat.

Nalan tak sanggup menahan sakitnya, mata mulai berkunang. Namun, ia tetap harus sadar. Lelaku itu menarik keras rambut.

"Kau pikir dengan kekuatan dan ambisi seperti itu bisa mengalahkanku? Mimpi."

Nalan hanya menatap tajam mata lelaki itu, hanya bisa diam dan tak mampu berbuat apa-apa lagi. Pria bertopeng itu menghempaskannya begitu kasar ke lantai.

"Jangan menguji kesabaranku," gertak pria bertopeng itu lagi sambil mengarahkan pistol kembali ke dahi Nalan.

"Selamat tinggal Nalan," ucapnya lagi diiringi tawa bahagia.

Hans yang tiba-tiba membuka pintu, dikejutkan pemandangan yang begitu mengenaskan. Pria bertopeng mengarah ke pintu dan terkejut.

"Oh, shit," umpatnya marah.

Darah dilantai berserakan, pria misterius ingin menembak bosnya.

Pria itu tersentak dengan kedatangan orang lain, ia pun kabur tapi sebelum itu Hans menembak lengannya. Asisten Nalan memang penembak jitu diusia muda.

"Sial," umpat pria bertopeng lagi, lalu kabur lewat jendela. Hans berusaha mengejar, tapi melihat kondisi Nalan yang bersimbah darah diurungkan. Lebih baik menolong bosnya.

"Bos, maaf aku terlambat," ucap Hans merasa bersalah sambil membantu memapah ke branka.

Nalan hanya diam, karena tubuhnya kian melemah. Tak bisa berkata apa-apa lagi, ia cukup bersyukur dengan kedatangan Hans tepat waktu.

"Bos, aku panggil dokter dulu ya," ucap Hans sembari berlari kearah pintu. "Dokter, suster!?" teriak Hans panik.

Nalan, melihah ke arah Hans. Ia sudah tak sanggup. Tangannya melayang ke udara ingin meraih Hans, tapi tak di dengar saking panik.

"Ha-Hans, ti-tidak," ujar Nalan terbata diiringi sesak. Tangannya pun jatuh dan tak sadarkan diri.

Mendengar teriakan, suster dan dokter segera ke bangsal. Betapa terkejutnya mereka dengan kondisi Nalan serta darah di lantai.

"Ada apa ini, tuan?" tanya Erlan dengan mata terbelalak.

"Rumah sakitmu ini tidak becus penjagaannya," marah Hans.

"Maaf, kami sungguh tidak tahu ada kejadian seperti ini," tutur dokter Erlan menyesal.

"Tidak perlu bicara terus, cepat selamatkan bosku," titah Hans menggertak. Ia tak peduli Erlan lebih tua darinya, kejadian ini sangat semborono. Jadi, kemarahan tak dapat dibendung.

"Bos, kenapa sih masalahmu dan lukamu tidak ada habisnya?" gerutu Hans mondar mandir di koridor rumah sakit. "Terus siapa pria bertopeng itu?" frusatasi, mengacak-acak rambut.

"Sepertinya aku tidak bisa meninggalkan bos begitu lama, aku hanya pergi 2 jam untuk mengurus berkas di kantor, tak menyangka akan menjadi seperti ini," sesal Hans.

"Aku tidak boleh meninggalkan bos sendirian lagi, aku harus menyewa seorang ahli bela diri dan penembak jitu juga. Meninggalkan bos akan aman."

Tak lama kemudian, dokter dan suster keluar. "Dia kehabisan banyak darah lagi, lukanya juga kembali robek."

"Apa!?"

"Tenang, stok darah untuk tuan Nalan masih ada beberapa kantong. Hanya saja ini stok darah terakhir."

"Ini semua salah penjagaan rumah sakitmu," tuduh Hans marah.

"Maaf! Kami benar-benar lengah. Terlebih lagi dibantal ada 1, di atap 1 dan lantai 1 peluru. Anehnya, kami tidak mendengar suara tembakan," terang Erlan.

Sejenak Hans bergeming, ia berpikir kenapa bisa tak ada yang mendengar?

Hans terkejut, kenapa bisa begini?

"Ini tidak masuk akal," sanggah Hans tak terima.

"Sekali lagi maaf! Ini yang terakhir kalinya, untung saja tuan Nalan kuat. Sekarang dia kembali kritis," kata maaf terus keluar dari mulut Erlan.

"Apa yang kalian lakukan? Hah?"

"Tuan Hans, apa kamu lupa? Kamu memesan 1 lantai rumah sakit paling akhir yaitu lantai 8, kamu melarang siapapun untuk melewati lantai ini," terang dokter Erlan gemetar.

Hans terbelalak, baru teringat jika perintah Nyonya Nami harus menyewa 1 lantai. Tak ada boleh berlalu lalang, kecuali hanya untuk datang memeriksa dan memberi obat, mengganti infus dan lainnya.

To Be Continue.....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status