POV Anes
Hal yang belum pernah kulakukan selama hidupku adalah menunggui orang sakit yang tidak cukup kukenal. Saat Julian dirawat beberapa pekan sebelum kami menikah, aku pun tidak menungguinya, hanya menjenguknya sesekali. Saat Mas Doni dirawat karena operasi usus buntu, aku pun tidak menungguinya sepanjang hari, karena sibuk dengan toko aksesoris rambut yang baru saja buka cabang di Mangga Dua.
Berkat buat Taka, seorang pengusaha muda dan cantik sepertiku, malah sedang menjaganya siang dan malam selama tiga hari ini. Bosan sudah pasti. Ingin tidur di ranjang besar di dalam rumah. Berenang di kolam dan shopping aneka barang. Hidupku sangat rumit sejak menikah, untuk bernapas lega pun rasanya sulit.
Mata lelaki itu masih terpejam. Taka tidur setelah diberikan obat nyeri oleh dokter. Kondisi tubuhnya memang sudah lebih sehat, tetapi tidak untuk kedua pahanya yang masih perlu mendapat perawatan. Paling tidak, surat ijin untuk keluar dari rumah sakit besok,
Ketika bertemu Arum, saat itu usiaku tiga belas tahun. Arum adalah pedagang donat keliling yang selalu menjajakan donatnya keliling komplek. Rasanya enak, empuk, dan tidak mudah keras bila lama didiamkan. Untuk itu, aku tidak pernah melewatkan jika Arum berteriak 'Donat' di depan rumahku.Semua adik-adikku suka, begitu juga kedua orang tuaku. Arum juga anak yang baik dan santun. Tidak pernah mau menerima kelebihan uang, karena memang bukan haknya. Selama tiga tahun, kami berlangganan donat keliling pada Arum. Lalu dia menghilang begitu saja. Tidak pernah muncul lagi di area komplek. Banyak anak-anak komplek yang menanti kedatangan Arum, tetapi hingga aku besar, Arum tidak pernah menampakkan diri lagi berkeliling.Kini, wanita yang mungkin hanya berbeda usia setahun saja denganku, tengah terbaring lemah di atas kasur busa. Sebelah kakinya lumpuh dan tubuhnya begitu kurus. Seberat apa hidup yang telah dilewati kakak beradik ini?"Non, taksinya sudah saya sur
Jika saja aku bisa menghilang saat ini juga, maka hal itu sudah kulakukan. Bagaimana bisa, hal memalukan lagi-lagi terjadi antara aku dan Taka. Ini memang bukan murni kesalahannya. Ini juga bagian dari kesalahanku yang tadi meminta Salma untuk mengijinkan Taka untuk masuk ke dalam ruangan.Kenapa aku bukannya menahan dahulu, sampai selesai mandi dan berganti pakaian. Jika sudah seperti ini, aku benar-benar tidak punya muka untuk bertemu Taka. Jika sebelumnya aku masuk ke kamar yang salah, hingga membawa petaka. Lalu di pinggir pantai malah mencium pemuda itu, dan hari ini dengan begitu dermawannya, aku memperlihatkan bagian atas tubuh ini secara sukarela. Sungguh sangat memalukan.Tidak, hari ini aku tidak bisa menemui Taka. Kami pasti akan sangat canggung. Setelah mengoleskan minyak urut pada dada dan juga perutku yang mencium lantai, aku pun mengambil ponsel, maksud hati akan meminta Taka datang beberapa hari lagi saja, dengan alasan aku sibuk.Mat
"Jadi, bisa tolong diceritakan bagaimana bisa bibir kalian itu saling beradu di bawah tadi?" kembali ludah ini terasa begitu pahit. Kututupi wajah ini dengan kedua tangan, agar Taka tidak melihat merahnya wajahku. Panas dan mungkin sebentar lagi akan terbakar.Papa meminta penjelasan yang aku sendiri tidak tahu, kenapa bibir ini jadi selalu ada di sana? Mau membela diri? Membela seperti apa? Taka juga bungkam seribu bahasa. Aku tahu dia malu sekaligus ketakutan."Jika kamu bukan istri Julian, sudah Papa nikahkan kamu dengan Taka. Ini kamu masih berstatus istri, tapi ciumannya dengan orang lain. Jadi, Papa harus bagaimana?""Pa, maaf, itu tadi tidak sengaja. Anes tersandung dan Taka menahan tubuh Anes biar tidak jatuh. Jadi, mungkin ...." Aku bingung mau melanjutkan kalimat seperti apa. Terpaksa diam saja, karena tidak punya bukti cukup untuk menghindar dari sebuah kesalahan."Papa lihat CCTV ruangan kamu!"Deg!Oh, ti
POV TakaIngatan itu hadir lagi. Aku benar-benar tak ingin menyimpannya di memoriku. Ingin kubuang jauh, agar tidak membuat bulu tangan ini meremang. Sungguh sangat tidak sopan, jika aku terus saja mengingat ketidaksengajaan yang sudah terjadi antara aku dan Non Anes.Tidak mudah memang, karena itu pengalaman pertama bagiku. Normal bagi lelaki sepertiku, tetapi menjadi tidak normal, jika aku terus mengingatnya. Bahkan di mimpiku semalam, aku memegang dadanya. Ya ampun, mimpi mengesalkan."Kenapa, Ka? Kamu gak ke hotel? Bukannya kata Anes, kamu boleh bekerja lagi di sana?" tegur Teh Arum saat melihatku uring-uringan tidak jelas di kursi plastik, depan jendela kontrakan."Mm ... i-itu, Teh. Disuruh Minggu depan saja ke sana," jawabku asal. Tidak mungkin aku menceritakan hal yang sebenarnya pada Teh Arum. Bisa-bisa dia terkena serangan jantung."Oh, begitu. Kamu udah lama kenal Anes? Cantik ya orangnya? Udah nikah belum sih?" cecar Teh Arum deng
"Aku akan menggugurkannya saja," tukasku dengan tatapan kosong."J-jangan, Non," sambung Taka dengan gugup dan wajah teramat pucat. Dia masih berdiri di depanku dengan kedua kaki gemetar. Menunduk dan sama sekali tidak berani menatap ke arahku.Kesialan yang sepertinya tidak pernah berujung dan kenapa harus aku? Aku menggigit kuku jari dengan tatapan kosong. Aku tidak tahu harus berkata apa pada kedua orang tuaku. Julian pasti membeberkan hal ini ke khalayak ramai. Bahwa anak pemilik hotel Shangrila hamil dan bukan anak suaminya. Ke mana aku harus bersembunyi?"Lalu, aku harus apa jika tidak menggugurkannya? Bayi ini tidak berdosa, tetapi kita yang membuatnya ada karena tidak memiliki pilihan. Dia tidak mungkin lahir, Ka. Tidak!""Non, saya mohon. Aborsi itu tidak baik. Selain menurut agama, dari segi kesehatan juga tidak baik untuk Non. S-sebaiknya kita pikirkan cara lain. Saya mohon, jangan menggugurkannya.""Lalu ak
Jangan ditanya bagaimana perasaan ini. Sangat kesal dan kecewa. Bisa-bisanya tekanan darahku yang tidak pernah tinggi, mendadak melonjak, sehingga niatan untuk melakukan aborsi, tidak bisa dilakukan. Aku tidak tahu harus marah kepada siapa lagi? Mungkin aku hanya bisa marah dan mengumpat diri sendiri, karena tidak antisipasi sebelumnya. Aku sama sekali tidak ingat, jika saat itu aku benar-benar baru selesai datang bulan dan masuk masa subur. Jika sudah seperti ini, maka berteriak bagai orang gila pun percuma.Mau tidak mau, aku pulang ke rumah dengan perasaan hampa sekaligus bingung. Ingin kembali ke apartemen, tetapi tidak berani. Aku terlalu takut Julian datang dan kembali menggauliku dengan tidak berperasaan. Jadi keputuskan untuk kembali ke rumah Papa dan Bunda saja. Semoga mereka belum tahu keadaan sebenarnya dari Julian dan mereka juga tidak curiga padaku yang mulai pagi ini mulai morning sick.Mang Darto membukakan pagar tinggi rumahku, saat bunyi klakson dari m
POV TakaHati ini tak bisa dilukiskan bagaimana keadaannya, saat tahu bahwa aku akan menjadi seorang ayah. Ya, ayah dari istri orang. Aneh dan terdengar sangat menjijikkan. Aku bukan pebinor, apalagi pelakor. Jijay ... Aku hanya kebetulan memiliki garis takdir dengan Anes. Wanita cantik, berpendidikan, dan mempunyai jabatan sangat bagus di kantor.Sayangnya, dia istri orang dan aku terjebak dengannya hanya satu malam. Namun, satu malam itu aku yakin akan mengubah satu masa. Ingin sekali meringankan bebannya atas masalah yang dia hadapi, tetapi aku tidak tahu harus mulai darimana dan seperti apa. Segala tindak-tandukku begitu terbatas, karena pekerjaanku hanya sebagai kacung hotel.Malam ini aku masih setia jongkok di pinggir pohon sambil menahan sepeda agar tidak jatuh. Yah, sepeda tetangga yang kupinjam untuk pergi ke rumah Non Anes. Wanita itu sedang hamil anakku dan aku tahu, dia tidak bisa tidur. Aku jadi ingat saat Teh Arum hamil anak pertamanya yang
POV Author"Apa kamu yakin Anes hamil anak lelaki itu? Saat kamu pacaran dengannya, apa kamu dan Anes tidak pernah ....""Hentikan pertanyaan konyol seperti itu, Ra. Anes itu kolot. Aku cium pipinya saja ngambek. Heran juga, kenapa malah bisa hamil sama lelaki lain? Ck, tapi tenang saja, dengan kehamilannya aku jadi bisa bernegosiasi," ujar Julian pada Mira. Lelaki itu menyesap kopi buatan istri mudanya dengan begitu nikmat, seakan tiada kopi lain yang seenak buatan Mira."Kopi buatan kamu selalu terbaik. Sedangkan Anes, masak mi instan saja bisa gosong," puji Julian sambil tertawa kecil. Ingatannya kembali pada mas pacaran bersama Anes. Waktu itu berada di apartemen Julian dan Anes diminta untuk memasak mi rebus. Namun yang terjadi adalah Anes membuat mi itu gosong."Serius? Memangnya Anes tidak bisa di dapur? Waktu akan menikahinya kamu memujinya habis-habisan. Sekarang, kamu menjelekkannya. Tidak baik, Lian. Bagaimana pun dia istri kamu juga, sam