“Ma-Mas Ammar? Ini Mas Ammar?” tanyaku memastikan panggilan di sebrang sana.
“Gak perlu basa-basi, Dijah. Jawab saja kamu suka rasa apa?” “Co-coklat. Aku suka rasa coklat,” jawabku dengan gemetaran. Mendapatkan sebuah perhatian seperti ini saja membuat hatiku kalang kabut. Apa ini artinya Ammar sudah mau membuka hati untuk menerimaku? “Aku sedang beli kue terang bulan. Kamu jangan tidur dulu.” “I-iya, Mas.” Sungguh, hatiku benar-benar bahagia. Bunga yang kutanam akhirnya mulai tumbuh dan memunculkan kuncupnya. “Jangan berpikiran tidak-tidak. Ini permintaan dari Dinda,” ucap dari sana sebelum panggilan dimatikan.Aku tersenyum getir, kembali tersadar jika semua bukan tentang aku. Dihidup Mas Ammar hanya ada nama satu wanita, Dinda. Aku memaksakan diri untuk membuka mata, meskipun rasa kantuk mulai menyapa. Mungkin karena kecapekan dengan rutinitas bersih-bersih seharian. Ibu aku minta untuk istirahat di kamarnya. Aku tak mau mengambil resiko jika sakit ibu kumat kembali. Tak selang lama, deru motor terdengar. Aku menyibak gorden yang menutupi jendela kamar. Kuintip sedikit pada bagian sudutnya, hingga menampakkan Mas Ammar dalam pandangan mataku.Buru-buru aku bangkit dan membuka pintu, menyambut kedatangan suami seperti istri pada umumnya. Bahkan sebelum Mas Ammar mengetuk pintu, aku sudah membuka benda tersebut sambil menyunggingkan senyum termanisku. “Assalamualaikum, Mas Ammar,” ucapku sambil menatap lelakiku yang sedang membawa sebuah bingkisan di tangannya. Sekilas aku menatap benda tersebut. Tas kresek bening dengan kotak berwarna coklat bergambarkan kue terang bulan. Dari cover benda tersebut, tampaknya itu kue terang bulan dari tempat favoritku. “Waalaikumsalam.”Ia memberikan apa yang dipegangnya. Lalu menuntun motor masuk ke dalam rumah.“Jam segini baru pulang, Mas?” sapaku sekedar basa-basi. Ia tak menjawab, hanya melewatiku , dan langsung masuk ke dalam kamar. Aku menarik nafas panjang sekedar menguatkan diri dari pernikahan yang jauh dari kata sakinah, mawadah, warohmah. Mas Ammar mengambil bantal dan selimut lalu membentangkannya seperti malam kemarin. Kembali menghadirkan luka, dimana posisiku sama sekali tak diinginkan. Aku salahkah atas posisi ini? Andai bisa memilih, mungkin aku akan meminta Dinda untuk duduk di kursi pelaminan menggantikanku. Tapi … kesehatan emak lebih dari segalamya. Ia memiliki riwayat jantung lemah, dimana dokter telah mewantiku agar beliau tak sering kecapekan, juga memikirkan sesuatu yang berat. Satu kesalahan fatal saja, bisa menyebabkan emak meregang nyawa. Posisi itu beliau sangat bahagia, anak yang selalu dibilang perawan tua ini akhirnya mendapatkan jodoh. “Mas, lah ini kue terang bulannya gak dimakan dulu?” tanyaku. “Aku sudah makan disana sama Dinda.”Lagi, Ammar seperti sengaja menyakiti hatiku. Menyebut nama yang terus menjadi bayang-bayang pernikahan kami. Bahkan karena keikhlasan Dinda juga, pernikahan ini bisa terjadi. Aku membuka kardus tersebut, kue terang bulan dengan isian selai coklat dan meises yang bertumpah ruah. Kulitnyapun ngeglazed dengan kepulan asap yang masih mengudara. Sayang, makanan yang biasanya menggodaku untuk segera dikunyah. Kali ini tidak. Aku kehilangan selera untuk memakannya. “Kenapa gak dimakan? Kata Dinda kamu sangat menyukainya.” Aku tersenyum, menutupi hatiku yang sedang lara. Sadarkah Ammar bahwa setiap perkataannya melukai hatiku? “Tadi Dijah sudah makan nasi sama emak, Mas. Dijah sudah kenyang.” “Kenapa gak bilang tadi pas telfon si, Jah? Tahu gini kan gak harus ngebungkus. Mubadzirkan sesuatu namanya.” Aku meringis. Beginikah sikap lelaki yang dicintai Dinda? Sikap lelaki yang kutambatkan dalam hatiku, dan terus masuk dalam doaku?Yang kuketahui dia adalah orang yang hangat. Jauh berbeda dengan apa yang ia perlakukan kepadaku saat ini. “Owh ya, itu tadi nomorku. Di save ya.” Mas Ammar berbaring di atas lantai beralaskan selimut. Hingga dimenit kemudian ia terpejam bersamaan dengan dengkuran halus yang terdengar.“Ya Allah ya Robbi, ini kah balasan atas keegoisanku? Aku yang terlalu memaksakan kehendak? Lalu … untuk apa Mas Ammar menerima pernikahan ini jika aku tidak diinginkan olehnya?”Lagi-lagi air mataku menetes. Hingga aku kembali menumpahkan tangisku di atas sajadah. Aku bangkit dan mengambil air wudhu, setelahnya kujalankan rakaat sunah, dan kupanjatkan semua doaku. Disini, aku tak minta untuk dicintai, meskipun dalam hati aku begitu mencintai suamiku. Aku tak minta keluargaku menjadi keluarga pada umumnya. Hanya berharap, takdir indah dari Tuhan, yang terbaik untuk kami semua. Juga untuk kesehatan ibu. Sayup-sayup kudengar suara adan, hingga aku membuka mata, aku masih berada di atas sajadah warna coklat tua milikku. Masih dengan mengenakan mekena putih favorit, yang selalu menjadi peneman rakaatku. Sepertinya aku ketiduran hingga bermalam di sajadah ini.Kulepas mekena yang menempel dan mendekat ke tubuh Mas Ammar. Kugoyangkan sedikit tubuhnya, sambil kusebut namanya untuk membangunkan. “Mas Ammar, Mas. Sudah subuh. Kita jamaah.” Mata yang terpejam itu terlihat dipaksakan untuk membuka, berikut dengan tangan yang dikucekkan ke pelupuk matanya. “Mas kita jamaah dulu ya.” Iamengangguk. Aku tersenyum dan langsung mengambil air wudhu. Masuk ke dalam kamar mandi dengan hati berbunga. Berikut dengan Mas Ammar yang juga mengekori di belakangku. “Allahu Akbar.” Takbir dikumandangkan, berikut dengan tangan diangkat.Akupun mengekori gerakan demi gerakan yang dilakukan oleh imamku, hingga tak sadar satu persatu air mata itu runtuh membasahi pipi. Aku terharu, inilah kali pertama aku melakukan jamaah dengan imamku, dengan lelaki yang selalu ada dalam setiap doaku. Suatu momen yang begitu kuinginkan. Mungkinkah doa-doa yang kupanjatkan dengan menyebut namanya, terdengar hingga ke langit? Sampai aku mengambil jodoh adikku seperti ini? “Assalamualaikumwarohmatullah.”“Assalamualaikumwarohmatullah.”Salam terdengar, berikut aku yang mengikuti, menandakan rukun shalat ini selesai.Kuraih tangan itu dan mencium punggung tangannya, hingga air mataku kembali runtuh dan tak sengaja menetes ke kulit yang kupegang. Mas Ammar langsung menarik tangannya begitu saja. “Maaf,” ucapku lirih. Aku langsung bangkit dari dudukku, dan melepas mekena yang kupakai. Sejurus kemudian, aku masuk ke dapur hendak menyiapkan sarapan. Kulihat bahan yang tertinggal di kulkas, tampak 2 buah terong dan tempe yang sedikit layu. Kueksekusi bahan tersebut hingga tercipta makanan yang siap untuk dimakan. Satu piring terong balado juga tempe goreng sudah siap di atas meja, berikut dengan seteko teh hangat dan air putih. Mas Ammar juga sudah duduk di kursi makan. Namun, ada sedikit yang berbeda. Aku tak mendapati emak yang biasanya bangun lebih awal dariku.Kuketuk pintu kamarnya, tapi tak ada jawaban. Kubuka benda kayu persegi panjang itu, dan sedikit mendorongnya, hingga terdengar pintu yang berderit. Emak masih tertidur di ranjangnya dengan selimut yang menutupi tubuhnya sampai ke dada. “Emak, bangun, Mak. Ini sudah pagi,” ucapku sambil menggoyangkan sedikit lengannya.“Mak, Emak bangun,” ucapku lirih yang kini membelai rambutnya. Wajah keriput yang terlihat begitu teduh. Dibalik omelan-omelannya selalu saja ada petuah yang terselip. “Emak ….”Emak seperti tak merespon, hingga aku tersadar tubuhnya terasa lebih dingin dari biasanya. “Mas Ammar, Mas. Emak, Mas,” teriakku dengan panik.Mas ammar berlari mendekat, dan memastikan keadaan emak. Masih ada denyut nadi yang terasa meskipun sangat lemah. Dengan cepat ia membawa emak ke puskesmas, hingga sampai sana langsung diminta ke rumah sakit. “Ya Allah, Mak. Kamu kenapa?”Dengan naik mobil ambulance yang disediakan oleh puskesmas, aku terus memegang tangan keriput yang selama ini merawat dan membesarkanku. Kukecup keningnya dan kubelai rambut yang kini tertutup oleh jilbabnya. Selang oksigen dimasukkan di kedua lubang hidung itu, hingga perlahan mata emakku membuka. “Emak, ini Dijah, Mak. Ini Dijah,” ucapku yang kini sesenggukan. Pikiranku terus menerawang ke jauh, takut jika terjdi apa-apa dengan w
Ini adalah hari ngunduh mantu, hari yang seharusnya aku tersenyum senang, karena diambil oleh keluarga besar Ammar. Namun, diposisi sekarang, keluargaku tengah berduka. Tepat tiga hari emak meninggalkan kami dari dunia ini. Masih teringat jelas bagimana kenangan di setiap inci rumah ini, yang selalu menjadikan tangis kala mengingatnya. Mak yang bawel dan suka menjewer telingaku meskipun di usiaku sudah sedewasa ini. Aku rindu.“Mbak Dijah, kok melamun,” ucap dinda yang terlihat tersenyum dengan gamis yang dikenakannya. Ya, dia satu-satunya keluarga intiku yang mengantar aku pindah. Juga ada bude dan paklek saudara dari emak yang turut menemani acara sederhana ini. Tak ada perayaan yang semestinya, hanya sebatas mengantar, dijamu oleh keluarga Ammar, dan mereka pulang. Ya, sebatas itu.“Assalamualaikum,” ucap saudara besarku yang kini berada di depan pintu Ammar. “waalaikumsalam,” suara ramah dari dalam rumah tersebut. Hanya keluraga inti saja, kedua orang tua serta kakak-kakak mas
Waktu terus berlalu, detikan jam terus berjalan. Aku hanya terus memandang Mas Ammar yang selalu asyik di depan laptopnya. Sesekali ia menengok ke arah ponsel, dan tersenyum. Kemudian, ia kembali memainkan jari jemarinya di atas keybord warna hitam itu. “Mas, Khadijah ke bawah dulu ya, mau nyiapin makan siang,” ucapku.Ia menoleh ke arahku. “Hm ... terserah.” Lalu balik fokus ke laptopnya. Sungguh, keberadaanku di kamar ini seperti tak dianggap.Aku mengayunkan langkah, sambil menyeka air mataku agar tak kedahuluan membasahi pipi. Aku tak ingin ibu ataupun bapak memergokiku bersedih. Aku harus terlihat tersenyum. Aku tak ingin aib keluarga menjadi sorotan mata orang lain, meskipun itu keluarga ammar sendiri. Ya, seperti itulah yang diucapkan emak sebelum meninggalkan kami.“Khadijah, mau bantu masak?” tanya ibu yang terlihat welcome ketika melihatku datang. Ia tersenyum dengan mata teduh yang ditujukan kearahku. Aku mengangguk.“Sini, sini, kamu bantu siangi ikannya ya,” ucap ibu y
“Dijah, Ammar mana?” tanya ibu ketika aku duduk di kursi makan . Baik ibu dan bapak tidak tahu kalau Mas Ammar sudah keluar seusai shalat duhur. Kebiasaannya memang mengurung diri di kamar, dengan laptop yang disimpannya di tempat pribadi itu. Ya, kata Ibu pekerjaan Mas Ammar memang menghabiskan banyak waktu di laptop dari pada di luar.“Mas Ammar ijin keluar, Bu.”“Nongkrong sama temannya?”“Bukan. Katanya ada urusan pekerjaan,” dustaku. Ya, aku harus melakukan ini untuk menutubi aib rumah tangga kami.Ibu tersenyum. “Ya seperti itulah pekerjaan suamimu, Dijah. Dibilang kerja ya tidak seperti orang kerja pada umumnya. Tapi dibilang nganggur, sebenarnya menghasilkan,” ucap ibu . “Mari makan, jangan ngobrol dulu,” ucap bapak yang memandang kami bergantian.Aku menyuapkan makanan ini sedikit demi sedikit, lebih terkesan memainkannya. Rasanya aku tak nafsu, karena melihat bangku sebelahku kosong. Ya, aku sudah terbiasa makan bersama Mas Ammar. Ia adalah alasan untuk nafsu makanku kembal
Aku kembali masuk ke dalam kamar setelah melihat kendaraan yang dinaiki oleh mas Ammar berlalu. Kembali mendekat ke perpustakaan kecil itu, dan mendekat ke jejeran buku yang dikoleksinya. Aku masih penasaran dengan nama penulis yang sama persis dengan nama Mas Ammar. Kucari buku tersebut, tapi sekarang sudah tidak ada. Mungkinkah ia mengambilnya? Aku tersenyum sendiri. Bukankah Mas Ammar tidak suka aku mendekat ke perpustakaan miliknya, untuk apa aku mengulang kesalahan yang sama?Baru saja aku hendak berlalu, tiba-tiba terdengar dering ponsel dari atas meja. Bersebelahan tepat dengan laptop. Aku mendekat dan mengintip nama yang tertulis. “Dinda “ . mungkinkah ini alasan Mas Ammar tak bercerita kepadaku mau kemana? Aku membiarkan dering ponsel itu berlalu begitu saja, tak ingin masuk ke dalam hubungan mereka. Namun, sebuah panggilan atas nama Dinda kembali terdengar. “Assalamualaikum,” ucapku ragu yang kini mendekatkan ponsel Mas Ammar ke telingaku. Ini tindakan lancang, tapi aku
“Ayo siap-siap,” ucap Mas ammar usai mandi. Ia sedang memilah pakaian yang menggantung di almarinya.“Siap-siap? Kemana?” tanyaku bingung. “Khadijah, Bukannya kamu bilang mau ikut kalau aku ke tempat Dinda?” tanyanya.Aku mengangguk.“Ya sudah sana mandi dan siap-siap! Kenapa malah mematung disitu?”“Eh, iya.”Aku bergegas mengambil pakaian di almari dan membawanya masuk ke kamar mandi. Ya, selama ini aku masih nyaman seperti itu, karena malu berganti pakaian dalam kamar, sedangkan disana juga ada Mas Ammar. Keran kuputar, hingga terdengar suara gemericik dari air tersebut yang masuk ke dalam gentong berbahan keramik. Lalu dari tempat tersebut kubasuh tubuhku dengan gayung. Aku lebih menyukai mandi seperti itu, meskipun di sini terdapat shower yang siap digunakan.“Dijah, cepetan dikit!” teriak Mas Ammar dari luar pintu.Kupercepat mandiku, dan segera kupakai pakaian yang menggantung tak jauh dariku. Setelahnya, aku akan menyisir rambut di depan cermin di dekat kasur. “Maaf ya, Mas
“Mbak Dijah ....” teriak Dinda sambil melambaikan tangannya. Sontak seluruh anak-anak yang sedang dididiknya itupun menoleh ke arah kami.Terdengar bisikan-bisikan antara anak-anak dan para tenaga pendidik itu, yang aku tak ketahui jelas apa yang diucapkan. Hingga tak lama kemudian, terdengar suara bel sebagai tanda pelajaran telah usai. Anak-anak mulai berhamburan , mereka mengambil jajan ke arah gurunya, lalu berjalan ke pintu samping. Sedangkan adikku, kini mulai mendekat ke arahku dengan senyum yang tergambar jelas. “Mbak Dijah ikut kesini?” tanyanya.Ia menjabat tanganku dan mencium punggung tanganku, lalu kubalas dengan memeluk tubuhnya yang memiliki tinggi lebih dariku. Mas ammar pamit sebentar, sepertinya sengaja memberikan ruang untuk aku dan Dinda mengobrol, sedangkan sebelum pergi ia sedikit berbisik di telingaku. “Jangan bahas apapun tentang kita.”Aku tak paham maksudnya, niat awalku bertemu dengan Dinda karena ingin berbicara panjang kali lebar tentang hubungan mereka
“Dijah, apa yang kamu lakukan?” tanya Mas Ammar kaget. Ia melihat tas dan isinya yang berantakan. “E … ini, Dijah mau rapikan …”“Tidak usah, biar aku saja.”Ia setengah belari mendekat ke arahku, hingga handuk kecil yang menutup tubuh bagian bawahnya melorot. Reflek aku berteriak sambil menutup mataku dengan kedua tangan. Meskipun kami menikah sudah seminggu lebih, tapi aku tak pernah melihat ia polos sempurna, begitupun sebaliknya. “Eh, maaf,” ucapnya yang kini mengambil handuknya di lantai. “Aku tuh sudah pakai bagian dalamnya,” imbuhnya lagi. Aku membuka mata setelah selang beberapa menit, menunggu tubuhnya kembali tertutup.Wajahnya begitu memerah, dan ia langsung berlari setelah mengambil pakaian yang sudah kusiapkan. Benar-benar membuatku tertawa. Ini adalah hal terkonyol yang terjadi. “Mas, ganti pakaiannya sudah belum?” tanyaku yang menunggunya di depan pintu kamar mandi. Hampir lima belas menit lamanya ia belum keluar juga. “Aku mau mandi, Mas,” ucapku lagi sambil menge