Share

Bab 2 Linglung

Bab 2 LINGLUNG

Aku menggigit bibirku. Bagaimana cara mengatakannya? Haruskah melalui telepon ini? Pikiran-pikiran itu berperang di otakku.

"Apa sih, Tin?" Tanya Anton.

"Bang, aku..."

"Eh, nanti aja kita sambung lagi, ya. Bosku mengajak aku ke proyek yang di Desa A itu. Jangan hubungi aku karena nanti aku yang menyetir." Tiba-tiba Anton sudah menutup pembicaraan dengan mematikan sambungan telepon sepihak.

Aku memandangi ponsel itu lama sebelum melemparkannya ke atas kasur. Saat aku memandang susu yang sudah kuseduh tadi tiba-tiba perutku bergolak. Rasa mual itu kembali datang. Aku segera berlari ke kamar mandi. Aku muntah-muntah di sana.

"Ada apa, Tin? Kamu sakit?" Tiba- tiba saja Bu Sari sudah berdiri di belakangku. Aku lupa mengunci pintu.

"Iya, Bu. Mungkin masuk angin." Jawabku.

"Makanya kalau pacaran itu cukup malam minggu aja," omelnya. "Ini tiap malam datang, pulang sampai larut. Kalian ngomongin apa sih? Harga cabe? Bawang?"

Aku tidak menjawab. Tenggorokanku terasa sakit. Ibu kosku benar. Hampir setiap hari Anton datang ke kosku. Anton memang nggak masuk ke rumah, kami hanya duduk di teras remang-remang itu. Tapi ternyata ibu kosku sangat memperhatikan sampai ke sana.

"Nih, gosokkan minyak angin ini," Bu Sari menyerahkan botol kecil berisi minyak kayu putih. Aku merasa lega menghirup aromanya.

"Makasih, Bu."

"Kalau sakit, nggak usah kerja. Tiduran aja di rumah."

Walaupun cerewet tapi sebenarnya ibu kosku sangat baik dan perhatian. Dia sudah seperti ibu kandung bagi kami anak kosnya.

"Nggak apa-apa kok, Bu. Ntar juga baikan," kataku.

"Sarah kapan balik?" Tanya Bu Sari.

"Entahlah, Bu. Dia kan mengambil cuti sakit sekitar 2 mingguan."

Setelah keluar dari rumah sakit, Sarah dibawa orang tuanya ke kampungnya untuk pemulihan.

"Rumah ini sepi tanpa si tukang cerita itu," Bu Sari terkekeh.

Aku juga ikut tersenyum.

Setelah memastikan aku akan baik-baik saja, akhirnya aku berangkat ke kantor.

"Cepat benar datangnya, Bu," sindir Bu Amalia, kepala seksi, atasanku, sambil melihat jam di pergelangan tangannya. "Baru jam 9."

"Maaf, Bu. Saya tadi kurang enak badan," jawabku.

"Jadi sekarang sudah enak?"

"Sudah mendingan, Bu."

"Ya, udah. Lanjutkan pekerjaan kamu yang kemarin. Kalau bisa hari ini sudah diteken bos."

"Saya usahakan, Bu," jawabku.

"Jangan bilang usahakan. Harus bisa selesai," lanjutnya.

Aku tidak menyahut lagi. Segera kuhidupkan komputer. Aku menyandarkan badanku menunggu proses loading komputer yang lama karena perangkatnya sudah tua. Biasanya aku senewen dengan keadaan itu tapi kali ini aku bersyukur karena aku bisa tenang sejenak.

Kuletakkan tanganku di atas perutku yang masih rata. Aku mengusapnya perlahan,menyadari bahwa ada nyawa yang sedang mulai berkembang di sana.

" Kenapa? Kamu sakit perut?"

Suara Bu Amalia benar-benar mengejutkan aku. Kupandangi beliau yang ternyata juga sedang memandangiku. Jantungku berdetak lebih keras.

"Iya, Bu. Mungkin masuk angin."

"Sudah sarapan?"

Aku menggeleng. Beberapa hari ini aku tidak pernah bisa menyentuh makanan di pagi hari, bahkan sekadar minum susu pun aku tidak sanggup.

"Kamu pesan sarapanmu dulu. Nanti kamu pingsan saya juga yang disalahin," kata Bu Amalia.

"Nggak apa-apa, Bu. Nanti saja, saya belum lapar."

"Terserah kamu deh," katanya. "Yang pasti laporan yang saya minta harus selesai hari ini juga."

"Baik, Bu."

Tapi aku tidak bisa konsentrasi sedikit pun. Pikiranku kacau dan aku mendadak sedih. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku.

"Kamu ngeprint apa sih, Tin?" Wina tiba-tiba sudah berdiri di depanku, di dekat printer sambil mengangkat sebuah kertas yang baru keluar dari mesin printer. Sementara printer terus berdenyit mengeluarkan hasil pekerjaanku.

"Astaga..." Segera kutekan 'cancel' dari komputer dan tombol off printer sampai berhenti bekerja. Ternyata aku sudah mencetak banyak file yang tidak penting dan tidak kusadari. Cepat-cepat aku mengambil kertas rusak itu sebelum Bu Amalia melihat dan mengomeliku.

"Kamu kenapa sih kayak orang linglung begitu?" Tegur Wina. "Perutmu masih sakit?"

Aku hanya bisa mengangguk. Tiba-tiba air mataku meluncur begitu saja di pipiku.

"Kenapa?" Wina makin penasaran. "Kamu lagi dapat? PMS?"

Kuanggukkan kepalaku berkali-kali menghindari pertanyaan lain yang bakalan menyusul kalau aku menjawab tidak.

"Kirain apa. Kamu bikin takut aja," kata Wina. "Ah, itu biasa kok. Kamu kayak nggak tahu aku aja kalau lagi dapat."

Wina kalau lagi datang bulan memang sakit parah di hari pertama. Dia bisa seperti orang sekarat makanya dia sering izin. Tapi di hari berikutnya dia akan kembali seperti biasa seolah tidak ada yang terjadi.

"Minum air hangat banyak-banyak," kata Wina. "Oh, ya, tadi aku ke sini untuk minta surat yang kemarin datang dari kantor pacarmu."

Jantungku berdebar agak keras saat Wina menyebut kata pacar. "Surat apa?"

"Tentang permintaan data apa gitu?" Wina mengerutkan keningnya. "Aku lupa. Pokoknya dari kantornya si Antonlah."

Aku segera mencarinya di file surat dalam lemari dan menemukan surat itu. Segera kuserahkan kepada Wina berharap dia segera pergi dari ruangan kami. Tapi dia malah membuka kepala printer dan memotocopy surat di tangannya.

"Supaya aku nggak bolak-balik ke sini," katanya.

Kami memang bekerja di bidang yang berbeda. Aku dan Sarah di bagian tata usaha sedangkan Wina di bidang lain. Setelah selesai dia permisi ke luar.

"Nanti kita makan siang bareng, ya."

Aku mengangguk.

"Sudah selesai?" Bu Amalia muncul di hadapanku.

"Belum, Bu," untung semua kertas yang salah cetak tadi sudah kusingkirkan.

"Kok lama amat ngetik segitu aja?" Omel Bu Amalia. "Sudah dikonsep juga, tinggal ngetik doang."

"Iya, Bu. Ini tinggal sedikit lagi sebelum saya cetak."

"Buruan!"

Bu Amalia adalah pegawai pindahan dari Jakarta. Logat dan aksennya masih kental walaupun dia sudah bergabung di kabupaten ini kurang lebih 2 tahun.

Sepanjang hari itu aku lalui dengan penuh kebingungan. Wina mengataiku linglung. Yah, benar. Aku tidak tahu apa yang kukerjakan hari ini. Pikiranku sepenuhnya tertuju kepada hasil test pack itu.

Dan sampai malam tiba aku tidak bisa menghubungi Anton. Kalaupun tersambung dia dengan segera mematikannya. Aku semakin bingung. Apa dia menghindariku? Pikirku. Aku tahu rumahnya. Kalau dia menghindar, hal tercepat yang harus kulakukan adalah mendatangi rumahnya. Mual yang menyerang tadi pagi kembali datang.

Aku membenamkan wajahku ke bantal untuk meredam suaraku yang tercekik menahan muntah. Aku takut ke kamar mandi. Seisi rumah bisa heboh kalau aku muntah-muntah di sana selarut ini. Aku menangis sedih. Terbayang wajah kedua orang tuaku membuatku semakin terguguk. Apa yang harus kulakukan?

Ponselku berdering. Anton menelepon. Segera kuangkat.

"Kamu... Tadi pagi udah kubilang jangan menghubungi aku!" Sebelum aku menyapa dia sudah menyerocos duluan. "Aku lagi jalan sama bosku. Apa katanya kalau aku bicara di telepon? Bisa dikira aku nggak profesional."

Aku mendengus kesal. Profesional? Omong kosong. Sok sekali bicara profesional sedangkan ke kantor saja masih sering terlambat bahkan bolos.

"Aku mau bicara sama Abang!" Aku menguatkan hati.

"Ya, udah, cepat ngomong. Aku capek, pengen tidur." Kudengar suara menguap yang aku yakin sengaja dilakukannya tepat di depan ponselnya supaya aku mendengarnya.

"Aku mau kita jumpa."

"Aduh, kamu ribet amat sih?" Dia mulai marah. "Ini udah larut malam. Mau ketemu gimana maksudmu?"

"Yah, nggak malam ini juga. Besok?"

"Besok nggak bisa," jawabnya cepat. "Kami masih jalan ke proyek itu. Bisa jadi pulang malam juga kayak tadi."

"Masa sampai malam?" Aku masih berusaha sabar.

"Aku kan nggak bisa menolak kalau bosku minta disupirin ke tempat lain. Lumayan dapat uang rokok," katanya dengan nada bangga. "Udah, ngomong di sini aja. Ribet amat sih!"

"Aku HAMIL!!!"

bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status