Semilir angin dingin bertiup lembut menerpa teras pondok. Pondok kecil itu terletak di tengah kebun yang cukup luas. Farhan tengah beristirahat menunggu waktunya makan siang. Dia duduk di kursi kayu yang ada di teras pondok itu sambil merokok.
Pondok kayu itu hanya terdiri dari teras dan satu ruangan di dalam. Ruang yang tak terlalu besar itu berisi meja dapur tempat memasak air untuk membuat kopi dan hamparan tikar tempat dia biasa makan siang dan tiduran di saat tubuhnya lelah. Di teras, terdapat empat buah kursi dan satu meja untuk bersantai dan ngobrol. Dia biasa ngobrol dengan istrinya, Kirana di sana. Terkadang juga dia ngobrol dengan para pekerja yang kebetulan mampir ke sana.
Meskipun pondok itu sederhana, Farhan merasa betah dan nyaman beristirahat di sana di sela-sela pekerjaannya mengurusi sawah dan kebun yang sudah seperti miliknya sendiri.
Sebetulnya masih agak lama waktunya makan siang tapi Farhan merasa lelah setelah berkeliling di kebun memeriksa dan mengarahkan para pekerja yang sedang mengerjakan kebun cabai dan jeruk. Setelah makan siang, dia masih harus ke kebun kopi.
Farhan memandang hamparan kebun yang setahun ini sudah dikelolanya. Kedatangannya di desa ini awalnya hanya bertualang dengan motor adventure-nya ke berbagai daerah pelosok desa. Itu kerap dilakukannya untuk melupakan luka perceraiannya dengan mantan istrinya. Ketika dia sampai ke desa di kaki bukit itu, entah mengapa dirinya merasa nyaman dengan suasana yang ada di desa itu. Udara sejuk dan keasrian desa itu serta penduduknya yang masih tradisional membuat Farhan betah.
Tanpa sengaja, Farhan bertemu dengan Narto yang merupakan orang terpandang di desa itu. Kakek buyutnya adalah generasi pertama penghuni desa itu. Narto adalah anak tunggal dari bapaknya yang juga anak tunggal. Keluarga Soediro turun temurun hanya memiliki satu anak sehingga Narto tak memiliki kerabat. Saat itu, tinggal dia seorang pewaris keluarga Soediro. Tak heran jika Narto mewarisi tanah yang luas berupa sawah dan kebun.
Saat itu, Narto mengajak Farhan ngobrol di kebunnya yang letaknya tak jauh dari lokasi mereka bertemu. Dari obrolan mereka, ada rasa kecocokan di antara mereka untuk bekerja sama. Farhan yang mantan dosen fakultas pertanian memberikan masukan kepada Narto untuk melakukan diversifikasi tanaman di kebunnya dan dikelola secara lebih modern.
Narto lalu menawarkan kerjasama dengan Farhan jika dia berminat untuk mengelola kebun Narto secara bersama-sama dengan bagi hasil. Farhan yang sedang tak punya pekerjaan menerima tawaran Narto asal dia diberi tempat tinggal di desa itu. Narto lalu menawarkan paviliun di rumahnya untuk ditempati Farhan.
Setelah keduanya bersepakat, Narto mengajak Farhan mampir ke rumahnya. Mereka berboncengan dengan motor Farhan. Narto ingin menunjukkan paviliun rumahnya yang bakal ditempati Farhan.
Paviliun itu cukup luas dengan beberapa perabotan sederhana. Narto berjanji akan segera mengganti kasur yang sudah usang dengan yang baru agar Farhan merasa nyaman. Ruangan paviliun itu juga akan segera dibersihkan sebelum Farhan menempatinya.
Setelah melihat paviliun yang bakal ditempatinya dan berkenalan dengan keluarga kecil Narto, Farhan berpamitan pulang ke Solo, tempatnya tinggal sementara. Perjalanan dari desa itu ke Solo tak terlalu jauh. Hanya butuh waktu sekitar satu setengah jam perjalanan.
Rumah yang ditempatinya di Solo adalah rumah milik Gayatri, anak angkatnya. Dulu Gayatri adalah mahasiswi kesayangannya yang dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Ada hubungan spesial antara Farhan dengan Gayatri. Perempuan itu bukan sekedar anak angkatnya melainkan sekaligus budak nafsunya.
Setelah lulus kuliah, Gayatri menikah dan diboyong suaminya ke Solo. Dia memiliki usaha sendiri di samping usaha suaminya. Gayatri menggunakan ilmu agrobisnis yang dipelajarinya waktu kuliah dan pengalamannya mengikuti Farhan membina usaha agrobisnis di masyarakat pedesaan.
Perceraian Farhan membuatnya merasa sudah merusak reputasinya di kotanya. Farhan tak sanggup lagi tinggal di kota tempat tinggalnya. Dia lalu menghubungi Gayatri yang dengan senang hati menyediakan tempat tinggal untuk Farhan, ayah angkatnya. Dari situlah petualangan Farhan di Jawa Tengah dimulai.
* * * * *
Bunyi langkah kaki menaiki tangga pondok. Farhan tersadar dari lamunannya. Dia menoleh ke arah tangga. Tampak istrinya mengumbar senyum manis di wajah cantiknya. Di belakangnya tampak Surti mengiringi putrinya.
"Mas." Kirana menganggukkan kepalanya dengan hormat sambil membungkukkan tubuhnya. Dia lalu bersimpuh di lantai teras pondok.
Surti yang mengiringi putrinya mengantar makan siang Farhan duduk di kursi tak jauh dari Farhan.
Farhan mengangkat dagu istrinya agar menatap wajahnya.
"Bikinkan Mas kopi!" perintah Farhan.
Kirana mengangguk lalu bangkit dari duduknya. Dia mengambil susunan rantang plastik yang diletakkan ibunya di meja lalu membawanya ke dalam pondok. Setelah dia meletakkan rantang di meja dapur, dia mulai sibuk bersiap untuk memasak air dan membuatkan kopi suaminya.
Setelah selesai membuat kopi, dia menoleh sejenak ke arah suami dan ibunya. Mereka sedang duduk di tikar sambil mengobrol. Kirana lalu mengantarkan kopi ke meja teras pondok. Setelah itu diambilnya ember kosong lalu pamit pada suaminya untuk mengambil air ke sungai.
Farhan mengagumi ibu mertuanya itu. Di usianya yang tak muda lagi, Surti masih tampak cantik dan tubuhnya yang sintal masih sangat menarik. Namun, dia harus menjaga jarak. Bagaimanapun, Surti adalah ibu mertuanya meski perempuan itu dua tahun lebih muda darinya.
Sementara itu, Kirana sengaja memperlambat langkahnya menuju sungai. Sebenarnya sungai itu letaknya tak begitu jauh dari pondok. Sesampainya di sungai, Kirana duduk menatap aliran air jernih dari bukit yang mengalir cukup deras. Tangannya bermain di sejuknya air.
* * * * *
Kirana melangkah perlahan menuju pondok. Tangan kanannya menjinjing ember berwarna merah yang berisi air. Kakinya menapak menaiki tangga kayu pondok. Bunyi langkah kakinya terdengar sampai ke dalam pondok itu.
Ketika dia masuk ke pondok, didapatinya suaminya sedang mengobrol dengan ibunya. Setelah tersenyum dan mengangguk pada suaminya, dia melangkah ke dapur mengantarkan ember berisi air yang dibawanya. Air itu akan digunakannya untuk mencuci piring setelah selesai makan siang.
Kirana lalu sibuk mempersiapkan makan siang mereka. Dituangkannya air minum ke dalam tiga gelas yang disiapkannya. Diisinya nasi ke dalam piring lalu menyodorkan ke hadapan suaminya, ibunya, dan untuk dirinya sendiri. Setelah semuanya siap, mereka lalu makan bersama.
Mereka biasa makan bertiga di pondok itu. Narto biasanya makan siang di rumah karena kesibukannya sehari-hari adalah mengurusi ternak ayam petelur dan ayam potong yang lokasinya di belakang rumah mereka. Setelah menyiapkan makan siang bapaknya, Kirana lalu ditemani ibunya mengantarkan makan siang ke pondok suaminya di kebun.
Setelah makan siang selesai, Kirana membereskan piring dan gelas bekas mereka makan lalu mencucinya dengan air yang tadi diambilnya di sungai. Suami dan ibunya mengobrol berdua di teras.
Kirana menyusul suami dan ibunya ke teras. Dia sudah siap untuk berpamitan pulang pada suaminya. Farhan bangkit dari duduknya ketika istrinya muncul. Dikecupnya bibir istrinya ketika Kirana berpamitan untuk pulang. Kirana tersenyum gembira mendapatkan perlakuan mesra dari suaminya.
Kedatangan Farhan untuk tinggal di desa itu semata-mata untuk membangun kehidupannya yang baru dalam bidang pertanian dan agrobisnis sambil mengobati luka hatinya akibat perceraiannya. Dia sama sekali tak pernah berniat mengusik kehidupan pribadi keluarga Narto. Petualangan cintanya justru dipicu oleh Narto yang memohon agar Farhan menikahi Kirana, anak semata wayangnya. Pribadi Farhan yang dinilainya baik serta keberhasilan Farhan mengelola kebun miliknya hingga menjadi jauh lebih maju membuat Narto sangat menyukai Farhan. Bukan hanya Narto, semua warga desa itu juga menyukai keberadaan Farhan yang mulai mengupayakan kemajuan di desa itu. Farhan kerap mengadakan penyuluhan kepada warga desa untuk bertani dan berkebun dengan cara yang lebih baik. Seluruh warga desa menyambut gembira ketika Narto mengabarkan bahwa dia akan menikahkan Farhan dengan Kirana, putrinya. Mereka semua bergotong-royong mempersiapkan pesta perkawinan yang meriah bagi pasangan pengantin itu. Se
Surti menatapnya dari kejauhan lalu dia berdiri dan mendekat. Diamatinya bagian yang dimaksud Farhan. Sudah janjinya akan menjadi saksi bahwa putrinya masih perawan. Mau tak mau dia harus menjalankan tugasnya. Bagian tubuh itu tegang mengkilap basah oleh cairan dari putrinya. Tak tampak noda darah di sana. Mata Surti masih memandanginya dengan teliti mencari noda darah di sana, tetapi tak ditemukannya. Dengan putus asa dipegangnya benda itu sambil terus mengamatinya. Tanpa sadar darahnya berdesir berhadapan dengan benda yang tegang dan berukuran cukup besar itu. Naluri kewanitaannya bangkit dari tidurnya. Surti mulai terangsang. "Mbak sudah janji untuk mengajari Kirana bagaimana menjadi istri yang baik. Lihatlah, dia belum bisa melaksanakan tugasnya memuaskan suaminya." Farhan mulai terangsang melihat tubuh sintal dengan tampang polos di hadapannya. Nafsunya sudah kepalang naik. Dia berpikir keras bagaimana caranya bisa merasakan kenikmatan dari tubuh
Kalian mungkin bilang aku dungu, tetapi aku hanyalah tuna rungu. Tuna rungu bukan berarti dungu. Aku memang kadang ragu dan malu. Ragu yang membuatku hanya menunggu. Menunggu datangnya sang waktu. Waktu untuk menunjukkan apa yang kumampu. Kini kalian mungkin belum tahu. Nanti kalian lihat siapa diriku.~ Kirana Ayudia ~Purnama emas mengintip di puncak bukit. Satwa malam bernyanyi dalam sejuk dan embun. Namun, suaranya lenyap dalam hening. Malam bulan purnama adalah malam yang biasa digunakan oleh satwa untuk bercinta. Melepaskan hasrat berahi mereka. Kirana duduk sendiri di teras rumah ditemani pena dan kertas. Dia sedang menulis syair.Saat-saat seperti itu biasanya Kirana membuat puisi atau syair. Dalam dir
Terimakasihsudahmembacasejauhini.Kasih rating dankomentarnya, ya!Farhan dan Kirana sedang dalam perjalanan ke Solo dengan mobil yang disetir Farhan. Sebuah mobillow MPVyang dibelinya setelah menikah. Narto menyuruhnya membeli mobil itu dari uang hasil panen agar Farhan dan Kirana bisa lebih nyaman kalau perlu bepergian. Bagi Narto itu tak masalah, tiga kali panen cabe dan tomat terakhir menghasilkan cukup banyak uang.Hari masih pagi ketika mereka sampai di rumah Gayatri yang s
Gayatri terbangun. Dilihatnya jam tangan yang melingkar di tangan kirinya menunjukkan pukul sebelas kurang. Dia teringat belum menyuruh pembantunya untuk menyiapkan makan siang. Segera dia bergegas memakai pakaiannya. Dia biarkan Farhan yang masih tertidur dispring bed.Kirana sedang duduk di ruang tengah ketika Gayatri muncul di sana. Pakaian Gayatri tak tampak rapi seperti sebelumnya. Rambutnya juga agak acak-acakan."Ma ... na ... Mas Far ... han ...?" tanya Kirana."Masih tidur kali," jawab Gayatri sambil tersenyum dan berlalu ke dapur.Kirana menoleh ke arah kamar tempat Gayatri keluar tadi. Dari celah gorden yang dibiarkan Gayatri terbuka saat dia keluar kamar tadi, Kirana bisa melihat suaminya terbaring di
Pekerjaan memasak pagi itu baru saja usai. Semur ayam, sayur sop, dan tahu goreng sudah selesai semua dimasak. Kirana juga sudah selesai membuat sambal terasi. Pagi itu dia masak sendiri di dapur. Ibunya sedang memanen sayuran di halaman belakang rumah.Matahari sudah tinggi ketika Kirana selesai memasak. Tubuhnya yang berkeringat menimbulkan rasa gerah. Dia ingin mandi dulu sebelum mengantarkan makan buat suaminya di pondok kebun tempat biasa suaminya beristirahat siang.Setelah meletakkan tahu goreng dan sambal di meja makan, Kirana masuk ke kamarnya di paviliun. Sebelum mereka menikah, dibuatkan pintu dalam untuk masuk ke paviliun dari ruang tengah. Semula paviliun itu hanya bisa diakses dari depan.Rumah itu mereka cukup besar dibandingkan rumah-rumah lain di desa itu. Rumah berdin
"Wah, pondoknya bagus sekali, Mbak." Kirana hanya tersenyum menanggapinya.Ratih terkagum-kagum melihat pondok yang arsitekturnya berbeda dari pondok-pondok yang ada di desa itu.Kirana mengajaknya beranjak dari motor ATV yang baru saja mereka kendarai. Dia menuntun Ratih ke ujung teras pondok di tepi tebing itu. Dia penasaran apakah hanya dirinya sendiri yang takut melihat ke bawah atau Ratih juga begitu."Iiih ... serem lihat ke bawah, Mbak."Ratih berpegang erat pada pagar pengaman teras. Dia mengalihkan pandangannya dari sungai deras di bawah mereka lalu menatap ke arah sumber bunyi di sampingnya. Aliran air penggerak generator yang terjun ke sungai yang ada di samping kiri pondok itu diamatinya.
Farhan naik motornya melalui jalan desa menuju rumah mertuanya. Dia baru saja selesai mengarahkan warga memasang kamera CCTV di beberapa titik di desa untuk bisa memantau keamanan dari pos keamanan. Meskipun selama ini desa itu aman, tetapi Farhan memberi pengarahan kepada semua warga untuk selalu waspada. Dia sadar bahwa suatu saat desa ini akan makmur dengan kemajuan pertanian dan perkebunan serta peternakan yang sedang dirintisnya. Kegiatan warga desa itu di malam hari belakangan semakin bertambah. Semula warga desa cuma tinggal di rumah atau nongkrong sambil ngobrol di malam hari, sekarang mulai berubah. Kegiatan belajar di balai desa mulai diramaikan oleh anak-anak remaja yang belajar berbagai keterampilan menggunakan teknologi. Setiap minggu, ada pengajar yang didatangkan oleh Farhan dari kota untuk mengajari anak-anak tersebut mulai dari membuat video sampai membuat blog. Farhan ingin mereka bisa membuat berbagai video promosi tentang desa mereka. Ada rencana