Share

Chapt 2 : Jangan Tatap Mata Merahku!

Seorang pria dengan memakai sebuah baju putih dengan kerah yang terpasang sebuah pita warna senada itu berjalan seorang diri menyusuri wilayah kerajaan. Lebih tepatnya, saat ini pria itu tengah menatap para Ksatria sedang berlatih kekuatan pedang mereka.

Edgar, seorang Duke itu mengamati beberapa Ksatria dari pinggir ruangan dengan kedua tangan yang ia lipat di depan dada. Di tengah-tengah Ksatria itu, terdapat Aslan yang juga ikut berlatih dengan pedang kerajaan. Aslan memang tidak mempunyai pedang seperti halnya Ksatria lainnya. Ya, Aslan, entah apa posisi yang tepat untuk dirinya di kerjaan Wealton. 

“Bukankah putra Armor sangat hebat memainkan pedang itu, Edgar?” celetuk seorang pria yang tengah mensejajarkan diri di samping Edgar. Pria itu menatap Aslan yang sedang berlatih di tengah sana bersama dengan Ksatria lainnya. 

Edgar menolehkan kepalanya, menatap seseorang yang berdiri tepat di samping kanannya. Ia kemudian mendengus kecil, lalu kembali mengalihkan pandangannya menatap para Ksatria itu.  “Apa gunanya dia hebat? Kalau status sebagai anak pengkhianat masih berlaku baginya,” ujar Edgar tanpa menatap pria di sampingnya. 

“Kamu benar. Ah, baru-baru ini, aku mendengar kabar kalau kamu menugaskan beberapa Baron untuk membunuh musuh yang sedang sembunyi di dunia manusia. Apakah itu benar?” tanya Damian. 

Pria yang berdiri di samping Edgar adalah seorang Marquess yang bernama Damian. Tetapi, kedudukan Damian hampir setara dengan Edgar, meskipun jarak umur Damian lebih tua dibanding Edgar yang seumuran dengan Aslan. Damian belum sekuat Edgar. 

Edgar menjawab pertanyaan Damian, “Kau benar, Duke. Ada beberapa musuh yang mengawasi kerajaan ini dari dunia manusia. Bahkan aku khawatir ada penyusup di Kerajaan ini.”

“Kamu tidak berniat untuk mengirim Aslan, bukan?” 

Pertanyaan itu sontak membuat Edgar menatap Damian, “Kenapa aku harus mengirimnya? Memang sehebat apa dia? Ah, yang benar saja,” ujarnya sembari tertawa remeh. 

Damian memilih untuk tidak menjawab. Kemudian, pria itu malah menampilkan senyuman misteriusnya dan kembali menyaksikan seorang Aslan yang dengan tenang berlatih di tengah ruangan itu. 

Sriingg.... 

Suara pedang yang saling bersentuhan terdengar jelas di seluruh penjuru ruangan besar itu. Edgar dan Damian masih menyaksikan berlatihnya para Ksatria. Para Ksatria itu diwajibkan untuk tidak menggunakan kekuatan pedang mereka. Mereka hanya menggunakan murni dari kekuatan fisiknya. 

“Bravo, Robert! Aku memang tidak pernah menyesal karena sudah memilih kamu jadi pimpinan Ksatria,” ucap Edgar tiba-tiba seraya bertepuk tangan dan mendekat ke arah seseorang yang baru saja dipujinya. 

Semua Ksatria di sana menoleh-menatap ke arah Robert yang sedang membenarkan sedikit rambut mencuatnya, tak terkecuali Aslan. Alhasil, pelatihan pedang kali ini berakhir. Sementara Robert tengah merendahkan tubuhnya sebagai bentuk penghormatannya pada seorang Marquess yang baru saja memujinya. 

“Hormat, Duke. Aku tidak akan mengecewakanmu.”

“Bagus, Robert,” ucap Edgar yang lalu pandangannya beralih menatap Aslan. Edgar melihat wajah rupawan Aslan yang pelipisnya dipenuhi dengan keringat. “Kamu? Kenapa kamu ikut berlatih dengan Ksatria? Apa kedudukan kamu di sini?” tanyanya. 

Aslan hanya diam di sana. Para Kesatria lain pun menatap dirinya. 

“Maaf, Duke. Aku juga tidak tahu mengapa aku berada di Kerajaan ini,” ujar Aslan seadanya, dengan pancaran raut wajah dinginnya.

Edgar mendengus sedikit kesal. Ia bergumam sangat pelan, “Dasar tidak punya malu!” 

“Bersiap semua! Kerajaan Jovanka menyerang!”

Baik Edgar, Damian, maupun Aslan dan beberapa Ksatria di ruangan itu pun segera bergegas keluar dari ruangan setelah mendapatkan kabar dari seorang Baroness. Semua orang telah keluar, dan hanya menyisakan Aslan di sana. Entah apa yang dipikirkan pria itu, namun ia bisa mendengar suara teriakan-teriakan, suara darah yang memuncrat keluar, dan suara pedang maupun dahsyatnya perpaduan kekuatan. 

“Jika aku keluar sekarang, mungkin Kerajaan tidak akan aman. Mereka bukan ke sini tanpa maksud dan tujuan. Aku harus bergegas menuju ruang Cadris untuk berjaga-jaga,” ucap Aslan. 

Pria bertubuh tinggi tegap itu akhirnya berjalan menyusuri kerajaan dan segera menuju ke ruang yang dimaksudkannya. Ia berjalan sangat tergesa. 

Seperti dugaannya, tidak ada seorang pun di dalam Kerajaan. Mereka semua pasti menuju halaman dan melakukan pertarungan di sana. Aslan bisa mencium bau darah dari dalam Kerajaan dengan indra penciuman tajamnya. 

Ketika telah berada tak jauh dari tempat yang akan ditujunya, Aslan pun melihat tiga orang pria dengan memakai baju kebangsawanan mulai membuka pintu ruang Cadris. Aslan buru-buru sembunyi ketika salah seorang dari mereka menatap kiri dan kanan, mungkin dia memastikan supaya memang tak ada orang yang melihat. 

“Hah... Bau ini. Aku sudah lama tidak mencium bau pedang Lord. Aku ingin memilikinya,” ucap salah seorang pria dengan rambut putih yang diikat tinggi. 

“Jaga ucapanmu, Adheen. Ada seorang Duke di sini,” ucap pria lainnya. 

“Santai saja, Toei. Aku telah mempercayai kalian berdua sepenuhnya. Sekarang, ambilkan aku pedang itu, dan kita akan pergi dari sini setelah aku mendapatkannya.”

“Tapi, Duke. Apa aku tak boleh mengambil benda lain? Seperti, aku ingin menambah kekuatan pengendalian pikiranku dengan ramuan yang ada di atas meja sana.”

Seorang Duke itu tak segan-segan langsung memukul bagian belakang kepala pria yang bernama Adheen. 

“Untuk apa kamu minum ramuan tak berguna seperti itu? Apa kamu tidak tahu bahwa setetes ramuan bisa mempengaruhi jiwamu?” sinis Duke itu. 

“Sudah ku bilang Adheen, kamu tidak perlu menambah kekuatanmu. Hanya dengan kita berada di pihak Duke, kita sudah punya lebih dari kekuatan yang kita inginkan.” Sahut Toei. 

Seorang Duke itu merasa tersanjung dengan apa yang baru saja dikatakan oleh bawahannya. Ia berkata, “Kamu memang selalu pintar seperti biasanya, Toei. Sekarang, kalian berdua cepat ambil pedang itu!” 

Toei dan Adheen memajukan tubuhnya, melangkah di atas karpet merah, dan segera mungkin mereka akan meraih sebuah pedang yang menyala-nyala mengeluarkan cahaya hitam dan merah. 

Ketika Toei dan Adheen hendak memegang pedang itu, tiba-tiba tubuh mereka mendadak kaku tak bisa digerakkan. Toei dan Adheen terkejut, hanya bola mata dan mulut mereka yang masih berfungsi saat ini. 

“T-Toei, a-apa kau merasakan yang sama sepertiku?” tanya Adheen dengan manik matanya bergerak melirik Toei yang ada di samping kirinya. 

“K-kau benar, Dheen. S-siapa yang melakukan ini?” desisnya pelan. 

“Hei, kalian! Kenapa kalian ini? Ayolah cepat ambil pedang itu. Kenapa kalian lama sekali?” cicit seorang Duke yang masih berdiri dan menunggu bawahannya itu untuk segera mengambil benda incarannya. 

“Toei, a-aku merasa jiwaku dikendalikan. A-aku merasa tubuhku beku, otakku memanas, dan darahku seperti terbakar. A-apa yang terjadi denganku? A-aku tidak mau mati sekarang. Aku belum siap.” Panik Adheen. 

“Sudah ratusan pertarungan aku lalui, dan aku belum pernah merasakan tubuh sesakit ini. Bahkan tanpa disentuh oleh siapapun. Apakah Duke kita yang melakukan ini?”

“T-tentu tidak, Toei. Duke tidak akan pernah melakukan ini pada kita. Dia tidak mempunyai kekuatan sebesar ini.”

“Lalu.... Siapa yang punya kekuatan sebesar ini?”

Sriingg... 

Brakk... 

Arghh!!... 

Aslan memasuki ruangan itu dan langsung menggoreskan pedangnya ke arah lengan kiri seorang Duke yang berdiri membelakanginya. 

“S-siapa kamu?” Seorang Duke dari Kerajaan lain itu menatap Aslan dengan cemas. 

Aslan hanya menatap pria itu sekilas. Kemudian ia beralih pada kedua pria yang masih mematung di depan pedang Artois, pedang yang sengaja dijadikan pajangan di sana sebab itu merupakan pedang turun temurun yang hanya boleh digunakan bila ada suatu hal besar yang terjadi. 

“Jangan bergerak! Katakan siapa dirimu! Berani-beraninya kamu melukaiku!” teriak Duke itu seraya mencoba untuk melayangkan sihir pada Aslan yang berjalan membelakangi dirinya, sehingga Duke itu tidak bisa melihat wajahnya. 

Tanpa ada perlawanan apapun, sihir itu sama sekali tidak mengenai tubuh Aslan. Aslan masih tetap berjalan mendekati kedua pria itu. Ketika Aslan telah berada di depan mereka berdua, Aslan pun membuka suaranya. 

“Jangan alihkan pandangan kalian! Jangan tatap mataku!”

Kedua pria itu hanya menatap baju yang Aslan pakai. 

“A-apa maksudmu? M-mengapa aku tidak boleh menatap matamu?” tanya Adheen. 

“Jangan pernah tatap mata merah ku, atau kau akan binasa saat itu juga!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status