Share

3. Istana Penjara

Mobil memasuki sebuah gerbang tinggi yang dijaga oleh dua pria berseragam. Aku pikir setelah gerbang, akan tampak rumahnya, tapi ternyata tidak. Mobil kembali melaju melewati jalan yang di sebelah kanan dan kirinya ditanami oleh pohon-pohon tinggi. Kegelapan menyelimuti pohon-pohon itu. Tak ada lampu taman apalagi kursi taman. Beberapa menit kemudian, barulah tampak sebuah bangunan berlantai empat.

Mobil berhenti di samping kolam yang di tengah-tengahnya terpasang sebuah patung ikan yang mengeluarkan air dari mulutnya membentuk sebuah air terjun. Ada seorang pria yang menunggu di luar air mancur itu untuk membukakan pintuku. Awalnya aku sempat bingung, tapi saat aku melihat ‘Mama’ dan sopirnya keluar setelah dibukakan pintu juga, aku ikut keluar.

Aku dibuat menganga setelah melihat lebih jelas bangunan berlantai empat yang disebut rumah itu. Ada sepasang pilar putih di antara pintu masuk berdaun dua itu. Di tiap lantai terdapat jendela. Di puncak atap atau di antara dua pilar itu, terdapat sebuah simbol kaligrafi latin dengan huruf JBA. Aku bertanya-tanya maksud huruf itu—

“JBA itu singkatan dari Jared Burton Alexander. Kakek kami yang mendirikan rumah percetakan Burton dari yang awalnya hanya percetakan kecil, hingga memproduksi jutaan berbagai jenis buku dan majalah,” jelas Marvin yang lagi-lagi membaca pikiranku.

“Kenapa kau mengikutiku?” tanyaku pada Marvin.

Pertanyaanku menarik perhatian yang lain. “Kau bicara sama siapa? Cepat masuk!” perintah ‘Mama’.

Aku mengekornya di belakang, sambil melihat ke sekitar. Mobil sedan itu dimasukkan ke dalam garasi besar di samping rumah. Para pelayan lainnya menuju bangunan berlantai dua di sebelah garasi.

Wanita berambut pirang pendek seleher tanpa hiasan. Memiliki tubuh seperti pasir waktu di balik gaun merah selututnya yang ketat. Sepatu hak tinggi mengetuk lantai marmer ketika menanjaki tiga anak tangga menuju pintu masuk. Penglihatanku sedikit lebih jelas di bawah cahaya lampu depan rumah.

Ketika wanita itu mendorong pintu dua daun itu hingga terbuka lebar, aku dapat merasakan hembusan udara hangat dari arah dalam. Gemerlap cahaya berkilauan dari arah lampu gantung hias, pajangan-pajangan keramik sebagai penghias di dekat dinding, serta etalase kaca yang penuh oleh penghargaan, plakat, dan piagam. Meskipun rada buram, tapi aku dapat menilai bahwa wastu kediaman Alexander ini memanglah kediaman impian yang selalu aku dambakan.

“Tuan Muda! Akhirnya Tuan Muda pulang!” Seorang wanita paruh baya dengan seragam pelayan hitam dan putih berjalan cepat menghampiriku dan memelukku erat. Aku tidak tahu dia siapa—

“Dia Eva Holland. Atau Bibi Eva. Dia Pelayan pribadiku yang sudah aku anggap seperti mama kedua. Aku paling mempercayai dia dibanding yang lain,” jawab Marvin lagi.

Pelayan pribadi? Kau punya pelayan pribadi?! Aku melotot pada arwah pemuda yang muncul di balik wanita tua yang masih memelukku ini. Marvin hanya mengangguk dan tersenyum.

Eva melepas pelukannya dan memberikan senyum harunya. Aku hanya tersenyum canggung.

“Eva, urus anak anjing ini. Besok kita adakan konferensi pers kepulangan Marvin.”

“Anak anjing kau bilang? Aku manusia!” protesku, yang mendapat respons kaget dari Eva, juga ‘Mama’.

“Kau naikkan suaramu lagi di depan Mama?” Alis tebal wanita dengan riasan menor itu saling menaut. Dia menunjukkan tongkat besi itu di hadapanku sebagai ancaman.

Eva berdiri di hadapanku, dan berkata, “Maaf Nyonya. Sepertinya Tuan Muda lagi sangat lelah setelah tersesat di hutan. Tolong wajarkan sikap kurang ajarnya tadi,” mohonnya.

Aku ingin buka suara untuk membantah, namun sudah dipotong oleh Marvin.

“Jangan, Jovian! Mama bisa menyiksamu saat ini juga kalau kau memancing amarahnya! Tongkat listrik itu bisa buat kau kejang-kejang!”

Ucapannya benar. Jadi, aku memilih membungkam.

Wanita jahat itu mendengus. Lalu melangkah terus menuju suatu tempat yang aku tidak pedulikan.

“Tuan Muda, sebaiknya Tuan Muda jangan terlalu membuat kesal Nyonya Alexander. Bibi tidak kuasa melihat Tuan Muda dikurung di gudang malam ini,” ucap Eva.

“Kenapa Bibi tidak langsung melaporkan tindak kekerasan itu ke polisi dan menjadi saksi?” tanyaku.

“Pertanyaan bodoh,” jawab Marvin.

“Aku ‘kan baru di sini. Wajar kalau aku tidak tahu!” Aku menatap sinis pada arwah itu.

Eva kebingungan. Dia melihat ke sebelahnya, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. “Tuan Muda bicara dengan siapa?”

“Aku bukan—“

“Jangan coba-coba kasih tahu kalau kau Jovian!” potong Marvin lagi. “Bibi punya penyakit jantung. Kalau dia tahu kenyataan bahwa aku sudah tiada, bisa jadi dia kena serangan jantung!”

Aku mendecih. Dia terlihat semakin banyak mengendalikanku.

“Aku minta maaf kalau aku terkesan menyuruhmu terus, tapi percaya padaku, ini untuk kebaikanmu atau orang sekitar yang peduli denganmu.”

“Tuan Muda tidak apa-apa?” tanya Eva.

“Aku tidak apa-apa. Maaf. Hanya sedikit halusinasi,” jawabku. “Kamar mandi di mana ya, Bi? Aku mau mandi.”

“Tuan Muda tidak tahu kamar mandi di mana?”

“Jangan tanya macam-macam! Biar aku saja yang mengarahkanmu ke setiap ruangan rumah ini!” seru Marvin yang tampak panik. “Aku biasa pakai kamar mandi di kamar. Bilang itu ke Bibi!”

“Oh, aku tahu. Kamar mandiku di kamar. Lupa sedikit tadi hehe.” Aku tertawa canggung.

Eva tersenyum lega. “Syukurlah. Bibi kira kamu kena amnesia,” ucapnya. “Bibi ambilkan handuk dan pakaian hangat ya. Sekalian cokelat panas kesukaanmu.”

“Terima kasih.”

“Apa pun untuk Tuan Muda Marvin.” Setelah mengatakan itu, dia langsung berjalan lebih dulu keluar dari ruang tamu.

“Sekarang, tunjukkan arahnya,” perintahku pada arwah tembus pandang itu.

“Lewat sini.”

Aku mengikuti ke mana arwah itu melayang sambil melihat-lihat sekitar. Dinding rumah didominasi oleh warna putih gading, warna yang sama dengan dinding rumah bagian luar. Pertigaan setelah ruang tamu. Di sebelah kiri katanya mengarah ke dapur, kanan mengarah ke ruang keluarga, lurus mengarah ke tangga lantai dua sekaligus ruang keluarga kedua. Lampu-lampu hiasan gantung memiliki bentuk berbeda di tiap ruangannya. Aku berjalan lurus, mengikuti Marvin yang menaiki tangga lebar dan melingkar menuju lantai dua.

Aku hitung, ada 20 anak tangga untuk mencapai lantai dua. Di lantai dua ada koridor yang di kanan kirinya terdapat pintu yang tak tahu isinya apa. Juga ada ruangan luas lagi yang di tengahnya ada meja billiard. Aku pikir Marvin akan menuju kordior, ternyata dia naik terus hingga ke lantai empat.

“Sebentar. Sebentar Marvin.” Aku terengah, lalu terduduk di anak tangga teratas sambil memanjangkan kaki. “Aku ambil napas dulu. Rumah ini luas sekali...”

“Oh, ya. Maaf. Aku lupa kau sudah tua.”

“Orang muda sepertimu juga pasti lelah menaiki tangga sebanyak ini!” balasku.

“Tidak. Aku sudah terbiasa. Kalau aku punya akses lift, pasti aku antarkan kamu menggunakan lift.”

“Lift?”

“Sejenis elevator, tapi versi vertikalnya. Apa tahun 1985 sudah ada elevator?”

“Elvator? Aku pernah mendengarnya, tapi belum pernah melihat wujudnya. Apa di sini ada elevator?” Aku tercengang.

Marvin mengangguk. “Biar aku antar.”  Dia melayang menuju sudut dari lantai empat. Aku langsung menyusulnya, sambil melihat sekitar. Sebuah ruangan besar tanpa koridor yang tiap dindingnya dipenuhi oleh patung-patung hias hewan dan tumbuhan, namun di beberapa dindingnya terdapat tiga pintu yang aku yakini salah satunya adalah milik Marvin.

Di sudut ruangan sebelah kanan tangga, aku melihat sebuah pintu besi berwarna kekuningan dan di atasnya terdapat cahaya merah membentuk angka satu. Marvin menunjuk ke arah sisi lift. Ada sebuah layar yang menunjukkan panah bawah.

“Aku perlu kartu akses yang harus ditempelkan di bawah tanda panah ini, lalu aku bisa menekan tombol panahnya. Dua kakakku, Mama, dan Papa, juga beberapa pelayan penting punya kartu akses itu, kecuali aku.”

“Kenapa?” heranku.

“Mereka membenciku.”

“Termasuk Bibi Eva?”

“Tidak. Dia punya kartu akses dan beberapa kali meminjamkannya padaku. Saat Mama melihat aku terlalu sering meminjam kartu aksesnya, dia melarang Bibi meminjamkannya lagi atau nanti Bibi akan dipecat,” jelasnya.

Aku semakin tidak paham. “Kenapa mereka jahat sekali padamu?”

“Aku tidak tahu Jovian.” Suaranya semakin meningkat.

“Kamu tidak ingin cari tahu?”

“Aku sering kali bertanya dan kadang beberapa kali melawan penindasan mereka, namun aku berakhir dikucilkan dan tanpa diberi jawaban.” Tatapannya semakin sendu. “Papaku sebenarnya sering di pihakku. Tapi dia malah menyuruhku bersabar saja. Aku tidak tahu... Apa karena dia ada di pihakku... dia jadi sakit-sakitan. Atau...”

Aku mendengarnya terisak. Dia tidak melanjutkan ucapannya. Sepertinya dia memang melewati masa-masa sulit. Tapi dibanding kasihan, aku lebih kepada bingung. “Hantu bisa menangis?”

“Bagaimana Pak tua sepertimu bisa masuk ke tubuhku yang seharusnya sudah jadi jasad?” timpalnya sambil menghapus air mata.

“Touche.” Aku mengangguk lambat. Kita sama-sama tidak bisa menemukan jawaban itu dan memang lebih baik jalani saja tanpa perlu bertanya-tanya.

Ting.

Aku mendengar dentingan dari arah lift. Angka yang awalnya menunjukkan angka 1, kemudian 2, lalu 3, dan terakhir 4. Pintu lift terbuka. Aku pikir Eva, ternyata bukan.

Sepasang wanita kembar dengan penampilan sama persis dan hanya berbeda warna. Mereka sama-sama berambut pirang bergelombang terjuntai hingga sedada, bermata biru laut, memiliki tahi lalat di dekat mata kiri, dan tinggi setara denganku. Berbeda hanyalah poni. Sebelah kiriku, wanita dengan pakaian piyama merah muda memiliki poni rata. Sebelah kananku, wanita dengan piyama ungu tidak memiliki poni dan menampilkan keningnya. Jarakku dengan mereka cukup dekat, sehingga aku masih bisa melihat detail meski masih buram. Mereka berdua sama-sama terbelalak dengan kehadiranku.

“Marvin? Kau masih hidup?” kaget wanita berpiyama merah.

“Ah, kenapa tidak mati saja,” keluh wanita sebelahnya.

“Mereka kakak kembarku. Penyuka pink, Vina. Penyuka ungu, Viona,” ucap Marvin sebelum aku berkata yang tidak-tidak. “Mereka berdua yang paling menginginkanku mati.”

Aku ingin sekali membalas, tapi aku menahan diri untuk mengobservasi lebih dulu. Mereka berjalan melewatiku, tapi sengaja menabrak pundakku di saat bersamaan dan hampir membuatku terjatuh.

“Besok kita jahili apa lagi ya buat adik tersayang kita?” kata Vina.

“Kita acak-acak kamarnya waktu dia lengah,” saran Viona.

“Ide bagus!”

Mereka tertawa terbahak sebelum akhirnya tawa itu hilang saat mereka masuk ke dalam pintu yang sama.

“Kamar mereka persis di sebelah kamarku,” kata Marvin. “Dan biasanya mereka memasang musik keras-keras sampai aku tidak bisa tidur semalaman. Aku pernah membentak mereka, cuman berakhir aku yang kena hukuman dari Mama.”

“Mereka kakak kembarmu? Beda berapa tahun?” tanyaku.

“Viona lahir 5 menit setelah Vina. Aku lahir 20 menit setelah Viona.”

Aku terbelalak. “Kalian triplet?”

“Mereka kembar identik. Aku kembar bukan identik. Gennya lebih mengikuti Mama, aku campuran antara Mama dan Papa,” jelasnya.

“Anakku triplet tidak identik. Tiga-tiganya berbeda, tapi tidak sampai ada yang mendiskriminasi satu sama lain,” gumamku.

Denting suara lift kembali terdengar. Kali ini yang muncul adalah Eva.

“Loh? Tuan Muda belum bersih-bersih?” Dia keluar lift dengan sekantung pakaian di tangan kiri dan nampan berisi cokelat panas di tangan kanan.

“Oh, belum, Bi. Tadi aku menyapa Kakak kembarku dulu,” kataku.

Eva tersenyum miris. “Mereka bicara yang tidak-tidak tentangmu, ya?” tebaknya.

Aku mengedikkan bahu. “Kurang lebih.”

“Sebaiknya Tuan Muda segera bersih-bersih dan istirahat saja sekarang.” Dia meletakkan kantung pakaian di lantai, lalu mengambil kertas di atas nampan yang sudah bertuliskan sesuatu dan berkata, “Besok jadwal Tuan Muda sangat padat. Konferensi Pers, sesi pemotretan untuk model jaket terbaru L’Éclatan, bertemu rektor kampus Tuan Muda untuk membicarakan percetakan sebagai perwakilan dari bisnis percetakan JBA, dan makan malam bersama keluarga Fisher untuk membicarakan kerja sama bisnis.”

Aku melongo. “Bi? Aku harus mengikuti semua itu besok hari?”

“Iya, Tuan Muda. Ini terbilang sedikit dari yang biasanya.”

Marvin tersenyum tanpa rasa bersalah, lalu berkata,

“Selamat datang di kehidupanku jilid 2, Jovian.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status