Girimaya terus memburu orang asing bertubuh kurus itu, meskipun ia hanya seorang diri. Sementara Ki Jasukarna tetap berdiam diri menemani Ki Sowandaru di kediamannya.
Beberapa saat kemudian, datang tiga orang murid Ki Sowandaru, "Sampurasun!" ucap para murid paguron silat Wereng Ireng."Rampes, masuk saja!" sahut Ki Jasukarna.Ketiga pemuda itu segera masuk dan melangkah menghampiri gurunya yang masih terbaring lemah tidak sadarkan diri. Kemudian, salah satu dari ketiga pemuda itu bertanya kepada Ki Jasukarna akan keberadaan kawannya--Girimaya, "Bukankah tadi Aki bersama Girimaya?""Ya, aku tadi bersamanya," jawab pria tua itu sembari tak lepas memegangi pedang pusaka miliknya.Ketiga pemuda itu tampak penasaran dan mengamati keadaan rumah tersebut, "Lantas, Girimaya sekarang ke mana, Ki?" tanya salah satu dari ketiga pemuda itu mengerutkan kening.Ki Jasukarna menghela nafas panjang. Lalu, menjawab pertanyaan pemuda itu dengan lirihnya, "Girimaya sedanTiba di saung tersebut, Girimaya dan ketiga rekannya itu sangatlah berhati-hati. Mereka melangkah perlahan mendekati saung kecil yang berdiri kokoh di bawah air terjun dekat Lembah Tengkorak itu."Aku saja yang akan memastikan apakah ada orang di dalam saung ini," bisik Satrya langsung maju beberapa langkah memasuki saung tersebut."Saung ini kosong, Girimaya," teriak Satrya dari dalam saung.Kemudian Girimaya dan ketiga rekannya pun segera masuk ke dalam saung tersebut. Raduka segera menyalakan api dengan menggunakan pemantik yang ia dapatkan dari saung tersebut dan menyalakan sebuah lentera yang sudah ada di saung itu. Entah siapa pemilik saung kecil itu? Ketiga pemuda itu berkesimpulan bahwa di bawah air terjun itu ada seseorang yang pernah tinggal dan mereka pun banyak menemukan barang-barang yang bisa menunjukkan kebenaran akan dugaan mereka tersebut.Tiba-tiba, dari luar saung terdengar suara parau kembali berteriak, "Hai, anak muda!" seru suara terse
Beberapa saat kemudian, Girimaya dan ketiga rekannya serta tiga orang yang tersesat di hutan itu sudah tiba di kediaman Ki Sowandaru.Kakek tua yang bernama Yan Tong dan kedua muridnya mendapatkan perlakuan baik dari Girimaya dan juga para murid yang malam itu sudah berada di kediaman guru mereka.Ki Jasukarna pun menyambut baik kehadiran Yan Tong dan kedua muridnya itu.Mereka berbincang sembari menikmati suguhan wedang hangat dan makanan khas Alas Purba yang disuguhkan oleh para murid Ki Sowandaru."Apakah yang terjadi dengan gurumu ini?" tanya Yan Tong mengarah kepada Girimaya yang merupakan murid paling senior di paguron silat itu."Aku tidak mengetahui pasti, penyakit apakah yang diderita guruku ini," jawab Girimaya lirih.Yan Tong sedikit bergeser dan mendekat ke arah pembaringan Ki Sowandaru, "Izinkan aku untuk memeriksa kondisi guru kalian!" ucap pria berusia senja itu.Girimaya dengan senang hati mempersilahkan Yan Tong, "Silahkan, Tuan To
Beberapa saat kemudian, Ki Sowandaru pun terbangun dan segera bangkit. Berkatalah ia, seakan-akan baru terbangun dari tidur lelapnya, "Girimaya! Kau di mana?" panggil Ki Sowandaru matanya masih belum terbuka sepenuhnya dan penglihatannya pun masih tampak samar.Wiratama segera mendekat ke arah pembaringan gurunya, "Girimaya sedang beristirahat, Guru," sahut Wiratama.Ki Sowandaru tampak haus dan segera meminta air kepada muridnya itu. Wiratama segera mengambil segelas air hangat lalu diberikannya kepada Ki Sowandaru."Ini, Guru!"Ki Sowandaru langsung meraih gelas berukuran besar yang terbuat dari keramik itu, "Terima kasih muridku." Pria tua itu tampak haus dan menghabiskan air dalam gelas tersebut.Saat itu, ia masih belum sadar kalau dirinya sedang dikelilingi orang-orang penting dari kerajaan dan para tamu jauh dari negeri Yanang.Beberapa saat setelah minum, Ki Sowandaru menghela nafas panjang, dan menoleh ke arah Panglima Lintang dan juga Senopati
Ki Duaman tampak terkejut ketika baru melangkah menuju arah kediamannya. Dalam perjalanan tersebut berpapasan dengan kedua pendekar paruh baya dan seorang gadis cantik, mereka seperti pasangan suami istri.Keduanya berjalan dengan menggunakan tongkat. Di belakang kedua pasangan pendekar itu, tampak sesosok gadis yang bertubuh mungil, gadis itu diperkirakan baru berumur belasan tahun berparas cantik memiliki bentuk mata bundar, hidungnya yang mancung menaungi sepasang bibirnya yang merekah merah delima, Mengenakan baju pakaian khas Randakala biru muda bermotif bunga dengan celana kampring warna hitam dibalut sarung batik putih setengah di atas lutut. Pada kedua bahunya tampak sebilah pedang yang bertangkai warna coklat mengkilat."Mereka itu siapa? Aku tidak mengenali ketiga orang itu?" gumam Ki Duaman terus mengamati langkah tiga orang asing itu.Gadis cantik itu tersenyum sinis, ketika melihat Ki Duaman sedang mengamatinya. Gadis itu memang terlihat cantik meski hany
Pada saat itu Prabu Erlangga sedang melakukan pertarungan dengan seorang pendekar kuat di sebuah hutan tidak jauh dari istana, kemunculan pendekar itu bermula atas kabar dari Badra yang merupakan prajurit jin yang menjadi kepercayaan sang raja. Badra mempunyai tanggung jawab penuh dalam keamanan wilayah kerajaan Sanggabuana.Akan tetapi, malam itu ia teramat kewalahan dalam mengahadapi gempuran pendekar sakti itu, "Ki Sanak, tunggu!" teriak Prabu Erlangga.Belum selesai ia bicara, tiba-tiba pendekar itu membalikan badan dan langsung menghujamkan sebilah pedangnya ke arah Prabu Erlangga.Pendekar itu memandang dengan marah kepada Prabu Erlangga, wajahnya tampak memerah tetapi tak mau menyahut sepatah kata pun.Beberapa saat kemudian, muncul seorang pendekar wanita dengan memakai pakaian serba merah, sang raja dengan teliti mengamati sosok pendekar wanita itu, "Siapa pendekar wanita itu?" Berkata sang raja dalam hati, sorot matanya penuh selidik menatap tajam pende
Senopati Sulima tampak kesulitan dalam menghadapi kecerdikan Komaladi yang senantiasa dapat menghindari setiap pukulan yang mematikan darinya.Tampaknya, Komaladi memang bukan pendekar sembarangan. Tidak salah Prabu Durdona memberikan misi kepada pendekar itu, untuk membinasakan Prabu Erlangga."Aku harus mencari tahu kelengahan dari pendekar ini," ucap Senopati Sulima berkata dalam hati sembari terus memandangi wajah Komaladi.Melihat tingkah laku Senopati Sulima yang tampak bingung itu, Komaladi tertawa lepas dan berkata penuh cemoohan terhadap Senopati Sulima."Jin yang tidak berguna, yang hanya pantas memakan tulang belulang sisa makanku saja!" kata Komaladi dengan nada tinggi dan kasar.Kemudian, Senopati Sulima pun marah besar, ia tahu bahwa jurus Batara Geni yang dilancarkannya merupakan jurus tingkat tinggi yang sukar dihadapi ataupun dicegah, jurus itu dapat menjadi serangan yang sungguh mematikan. Akan tetapi, Komaladi sangat cerdas dan tangguh, de
Mereka memutuskan untuk bermalam di saung tersebut, Senopati Randu Aji sedikit merasa tidak enak badan maka dari itu ia mengusulkan untuk beristirahat dan akan melanjutkan perjalanan di pagi harinya."Sebaiknya, Gusti Senopati beristirahat saja!" kata Panglima Lintang.Senopati Randu Aji hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, kemudian ia pun segera berbaring di atas bebalean saung tersebut, pandangannya menerawang jauh ke atas langit-langit saung tersebut.Panglima Lintang diam-diam memperhatikan sikap sang raja. Kemudian ia pun memberanikan diri bertanya kepada sang senopati, "Maafkan hamba, Gusti Senopati.""Izinkan hamba bertanya!" sambung Panglima Lintang.Senopati Randu Aji sedikit berpaling ke arah panglimanya, "Silahkan, Panglima!" jawabnya lirih.Panglima Lintang menganggukkan kepala dan berkata lirih, "Hamba hanya ingin mengusulkan jika diterima. Apakah kita harus mencari para pelaku penyebar wara-wara buruk tentang kematian Ki Sowandaru?
Belum sempat membuka topeng dari pendekar itu. Tiba-tiba, datang hembusan angin kencang disertai buih dan asap tebal bergelombang menyelimuti para pendekar yang sudah tewas dan satu pendekar yang masih hidup itu.Tupaseng terkaget-kaget, kalau ia tidak mundur beberapa langkah ke belakang. Mungkin, ia pun akan terbawa masuk dan diselimuti gelombang asap yang disertai angin kencang itu.Asap itu pun bergumpal tebal dan melenyapkan keenam pendekar itu dari tempat tersebut. Entah siapa pelakunya, yang jelas hal itu dilakukan oleh orang yang sangat sakti dan mempunyai tingkat keilmuan tinggi."Aku rasa itu dilakukan oleh para pemberontak yang berada di Alas Gandok. Hal ini, harus segera kita laporkan kepada sang raja!" ujar sang senopati berkata lirih.Panglima Lintang berpaling ke arah Senopati Randu Aji, Berkatalah ia, "Tempat ini sudah tidak aman, kita harus segera berlalu dan melanjutkan perjalanan!"Ki Jasukarna pun sependapat dengan Panglima, "Ya, kamu bena