Keesokan harinya, Adipati Anggadita langsung mengumpulkan wadiya baladnya. Hari itu mereka bersiap untuk segera berangkat ke wilayah kerajaan Randakala, menjalankan tugas sang raja untuk membantu para prajurit Randakala yang sedang kesusahan akibat serangan agresi besar-besaran yang dilakukan oleh kerajaan Kuta Waluya.
"Runada ...," teriak Adipati Anggadita mengarah kepada salah satu dari ketujuh pengawalnya itu.
Runada bergegas menghampiri sang adipati, penuh rasa hormat ia bertanya lirih, "Iya, Gusti Adipati?" Runada bersimpuh memberi hormat kepada junjungannya itu.
"Perintahkan semua prajurit untuk segera berangkat menuju ke wilayah kerajaan Randakala!" perintah Adipati Anggadita dengan tegasnya.
"Baik, Gusti Adipati," ucap Runada bangkit dan segera melangkah menuju ke barak para prajurit untuk memerintahkan mereka segera bersiap berangkat ke wilayah kerajaan Randakala.
"Panglima, segera perintahkan prajuritmu untuk bersiap melakukan perjalanan!
Beberapa jam setelah beristirahat, Adipati Anggadita memerintahakan agar para prajuritnya segera bersiap untuk kembali melakukan perjalanan menuju kerajaan Randakala yang hanya tinggal beberapa kilo meter saja dari tempat mereka beristirahat. "Perintahkan semua prajurit untuk segera melanjutkan perjalanan!" kata Adipati Anggadita mengarah kepada salah satu pengawalnya. "Baik, Gusti Adipati." Runada segera menunggang kuda. Lalu, memacu derap kudanya menuju barisan terdepan dari iring-iringan para prajurit. "Para prajurit ...," teriak Runada. "Mari kita lanjutkan perjalanan!" sambung Runada segera memacu kuda paling depan sejajar dengan Panglima Kondara dan ratusan pasukan panah yang menunggangi kuda masing-masing. Para prajurit pun segera berjalan mengikuti langkah ratusan kuda pasukan khusus panah dan disusul oleh gerobak-gerobak pengangkut persenjataan lengkap. “Aku tidak mengerti kenapa para prajurit kerajaan Kuta Waluya menghadang p
Mendengar ucapan sang raja, Panglima Kondara tersenyum dan memberikan penghormatan kepada sang raja. "Aku patuh kepada Gusti Prabu yang aku anggap sebagai panglima tertinggi di negri ini. Aku akan mengerahkan kekuatan penuh untuk membantu kesulitan negri ini dan segera mengusir para penjajah dari wilayah negri ini," ujar Panglima Kondara menyatakan kesiapannya dalam menghadapi perang melawan para wadiya balad kerajaan Kuta Waluya. Melihat hal itu, Adipati Anggadita tersenyum-senyum. Bangga akan keberanian dan sikap Panglima Kondara yang berjiwa kesatria. Prabu Sandakala pun mengangguk kecil, dan berkata lirih sebagai respon baik atas pernyataan dari seorang panglima dari utusan kerajaan sahabat yang sudah siap siaga membantu kesulitan kerajaannya itu, “Ya, aku menjadi terharu karena keberanianmu dan para prajuritmu itu. Kalian telah berusaha keras melakukan perjalanan jauh hingga tiba di negri ini. Semata-mata untuk membantu kesulitan rakyat negri ini." Pangl
Saat itu, Panglima Kondara dan ketujuh pengawal setia Adipati Anggadita sudah tiba di hadapan Adipati Anggadita dan Senopati Rawana yang sedari tadi sudah menunggu kedatangan mereka untuk segera membahas strategi perang, baik itu penyerangan ataupun cara bertahan dalam menghadapi musuh. Senopati Rawana dan Adipati Anggadita langsung memerintahkan mereka untuk duduk, "Kalian duduk, ada hal penting yang akan aku bahas!"Lalu, Adipati Anggadita langsung mengawali perbincangan dan segera mengatur langkah tepat dalam melakukan peperangan tersebut."Esok hari, Panglima Kondara segera menyiapkan pasukan khusus panah dan pasukan berkuda untuk langsung melakukan serangkaian serangan terhadap pertahanan musuh. Selanjutnya, Runada bersama para prajurit gabungan langsung menyebrangi sungai dan menggempur mereka secara bertahap!" tutur sang adipati mengarah kepada Panglima Kondara dan Runada.Kemudian, Adipati Anggadita menoleh ke arah Panglima Jasrenga. Lalu, ia pun ber
Setelah hampir satu jam melakukan pengintaian, Riwanda dan Tokamara langsung kembali menghampiri Belung dan Wirya yang menunggu mereka di tepian sungai yang ada di pinggir hutan itu. Lalu, Riwanda memberi isyarat dengan suitan tiga kali ke arah pasukan yang sudah bersiap hendak melakukan penyerangan.Huit...Huit...Huit...Mendengar isyarat dari Riwanda, Panglima Kondara langsung mengangkat pedang dan segera memerintahkan para wadiya baladnya untuk bergerak ke area hutan tersebut, "Ayo, prajurit kita bergerak sekarang!" teriak Panglima Kondara memacu derap kudanya menyebrangi sungai yang beraliran tenang dan tidak mempunyai kedalaman itu, disusul oleh ratusan kuda yang ditunggangi oleh para pasukan panah segera bergerak untuk melakukan penyerangan.Setelah ratusan pasukan panah memasuki area hutan, Runada pun segera memerintahkan wadiya balad yang lainnya untuk segera melintasi sungai tersebut, "Ayo, maju semuanya!" teriak Runada memacu kuda memim
Setelah mengintrogasi dua prajurit itu, Adipati Anggadita langsung memerintahkan Badra untuk segera membawa Gonadarma dan kedua prajuritnya, "Badra, kau bawa mereka sekarang ke istana!" titahnya mengarah kepada Badra yang merupakan satu dari ketujuh pengawal pribadinya."Baik, Gusti Adipati," jawab Badra ia dan kelima rekannya segera membawa Gonadarma dan dua prajuritnya itu untuk segera dijebloskan ke dalam penjara yang ada di istana kerajaan Randakala.Setelah itu, Adipati Anggadita kembali duduk di depan perkemahan dan segera berbincang dengan Senopati Rawana dan Panglima Kondara mengenai langkah ke depan untuk menciptakan pertahanan yang kuat, agar kerajaan kecil yang kaya raya itu tidak dirong-rong dan tidak diganggu lagi oleh kerajaan-kerajaan besar yang hendak menguasai wilayah-wilayah kerajaan tersebut. Karena, kerajaan Randakala banyak memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah dan itu menjadi alasan kuat bagi kerajaan-kerajaan besar yang ada di sekitaran
Di tempat yang berbeda, tepatnya di istana kerajaan Sanggabuana. Raut wajah kebahagiaan menyertai dua pasangan muda yang baru saja melangsungkan pernikahan satu hari yang lalu. Mereka adalah Prabu Erlangga dan Senopati Randu Aji yang menikahi dua gadis kembar putri angkatnya sang penasihat istana."Kebahagiaan dan kesuksesanku sudah terlampau jauh. Saatnya aku melakukan puji syukur kepada Dewata Agung atas karunia ini," ujar sang raja berkata di sidang istana yang dihadiri para petinggi dan para panglima kerajaan tersebut.Di samping kiri duduk sang permaisuri yang hari itu sudah didaulat oleh sang penasihat istana yang merupakan ayah angkatnya itu. Ia tersenyum manis memandang wajah suaminya, tampak anggun tubuh indahnya terbalut sari yang mewah serta bermahkotakan yang terbuat dari emas dan permata hijau menambah kecantikan wajah Arimbi yang elok nan rupawan.Sang raja sedikit menoleh dan balas tersenyum kepada permaisurinya itu. Lalu, ia berpaling kembali
Matahari belum sepenuhnya tenggelam, saat itu Lintang sudah memasang tenda kecil yang hanya cukup untuk dijadikan tempat tidurnya dengan sang istri. Berdiri di sebuah lereng dengan menggunakan terpal sederhana yang terbuat dari bahan plastik, tampak sederhana yang terletak di pinggiran bukit dekat dengan jalan setapak yang mengarah ke Kuta Tandingan tanpa ada seorang pun atau ada rumah yang terlihat di lereng bukit itu.Lintang mengeluarkan perbekalan makanan yang ia simpan di sebuah tas yang tergantung di punggung kudanya itu, "Nyimas!" panggil Lintang mengarah kepada istrinya yang sedang bersusah payah menghidupkan api unggun hanya dengan gesekkan sebuah batu khusus."Iya, sebentar!" jawabnya masih terus berusaha menyalakan api."Tinggalkan saja, biarkan aku yang akan menyalakannya nanti. Kau tidak cukup tenaga!" kata Lintang.Namun, Winiresti tak serta-merta mengandalkan suaminya hanya untuk melakukan pekerjaan itu, hingga pada akhirnya api pun menyala
Di alun-alun Kuta Tandingan yang menjadi pusat ibu kota kerajaan Sanggabuana. Siang itu sedang ramai banyak dikunjungi oleh para pendekar dari paguron-paguron dunia persilatan yang ada di wilayah kerajaan tersebut, Randini dan Kuntila sedang mengamati antrian panjang dari para pendekar yang saat itu hendak mendaftar dan berpartisipasi dalam acara syaembara yang diadakan oleh pihak kerajaan."Kau lihat itu!" bisik Kuntila mengarahkan jari telunjuknya ke arah seorang pendekar tampan yang ada di barisan depan antrian itu.Randini langsung mengarahkan dua bola matanya dan mengamati sosok pendekar tampan itu, "Aku mengenali pendekar itu, tapi aku lupa akan namanya," kata Randini berbicara dengan datar. Lalu, berpaling ke arah kerumunan orang yang sedang berada di tempat tersebut."Winiresti," desis Randini raut wajahnya tampak semringah.Randini menoleh ke arah Kuntila, "Kau lihat siapakah wanita yang berdiri di sana!?"Kuntila mengangkat alis tinggi-ti