Tampaknya Boz benar-benar terprovokasi oleh sikap Max yang jelas-jelas menantangnya. Ia yang biasanya ditakuti oleh para pengawal yang menuggu anak majikan mereka di area ini, kini tak bernilai apa-apa di hadapan seorang baru pertama kali muncul di area ini.
“Sudah Boz tunggu apalagi, bukankah itu permintaannya agar kita semua menyerangnya secara bersamaan?” tantang salah satu anak buahnya yang berkepala botak.
“Benar apa yang dikatakan oleh Dwayne, laki-laki seperti dia seharusnya diajarkan tata krama. Kita harus beritahu dia siapa statusnya, dan apa akibatnya jika melawan Gang Mata Pedang,” kelakar pria Asia membenarkan perkataan rekannya yang berkepala botak.
“Ah besar mulut kalian, sejak tadi hanya bicara saja, sebentar lagi sekolah usai, kalian jadi menghajarku atau tidak?” tantang Max penuh dengan ejekan.
Semakin lama ucapan Max semakin membuat gank mata peda
Perlahan sosok berpakaian serba putih itu semakin tampak diantara kabut yang mengitari sekolah putra dan putri Ernest. Pria kurus yang tadi dihantam itu pun mendongak dan ia masih tak bisa menggerakkan kedua tangannya.Seperti biasa, setiap kali Gregory datang, semua aktivitas pun terhenti. Setiap mahluk yang ada di bumi akan mematung dalam posisi terakhir mereka, kecuali Ernest. Hanya dia yang bisa berbicara dengan Gregory Sang Malaikat Penjaga.“Ada yang ingin kau sampaikan Gregory?” tanyanya dengan susah payah, karena rahang yang terasa nyeri akibat dorongan telapak tangan yang baru saja menyerangnya.Ini kalinya Gregory tersenyum dengan tidak bersahabat. Sesuatu yang belum pernah terjadi selama mereka saling mengenal.“Kau telah melakukan kesalahan Ernest!” seru Gregory tanpa basa-basi.“Aku? Kesalahan? Apa yang telah aku perbuat? Aku hanya melak
Semakin dekat kepalan tangan yang diarahkan Boz pada wajah Max, semakin cepat pula jantungnya berdetak.“Apa aku bisa melawannya, apa aku punya kekuatan untuk itu?” Max berpikir sambil memejamkan mata.Ia memang sudah mendapatkan kesembuhan dari rasa sakit akibat pukulan mereka, tapi tak yakin kalau kekuatannya kembali seperti sedia kala. Atau mungkin ia kembali menjadi manusia normal seperti pada umumnya.Bugh!Kepalan tangan itu berhasil mendarat dengan keras pada wajah Max, tepatnya pada hidung mancungnya. Namun keanehan pun kembali terjadi.“Hah ini sungguhan? Bagaimana mungkin pukulan itu sama sekali tidak membuat hidungnya berdarah? Atau setidaknya ia merasakan kesakitan seperti saat aku memukul perutnya beberapa menit yang lalu?” pikir Boz.Kali ini Max benar-benar tidak lagi merasakan pukulan yang dilontarkan oleh Boz. Bahkan k
Bisik-bisik itu terus saja terdengar. Semuanya tampak berlomba untuk membicarakan tentang keributan antara orang baru itu dan gank mata pedang.“sebenarnya siapa orang itu?”Semuanya mulai bertanya-tanya siapa sebenarnya orang yang membuat keributan dengan Gank Mata Pedang. Apa yang mereka lihat benar-benar sebuah kejutan.Dwayne, salah satu anggota Gank Mata Pedang mencoba untuk duduk perlahan-lahan. Benturan yang baru saja dialaminya terasa sangat keras. Entah ia jatuh dari ketinggian berapa.Pria berkepala pelontos itu merasakan nyeri pada bagian siku dan punggungnya,“Ugh apa yang terjadi, apa teman-temanku juga mengalami hal yang sama denganku?” gumamnya bertanya-tanya.Perlahan ia mulai berdiri dengan susah payah. Ia pun harus memegangi lututnya seperti orang tua yang sudah mengalami keropos pada tulang lutut ataupun punggung.
Dwayne hanya diam saat mendengar teriakan Boz. Ia masih tidak bisa mempercayai apa yang baru saja ia alami.Max sendiri melirik jam pada pergelangan tangannya, dan mengangguk, tak lama lagi waktunya kedua anak kecil itu pulang, dan seharusnya ia berada tepat di depan gerbang. Ini adalah kebiasaan saat ia masih hidup sebagai seorang Ernest. Setiap kali menjemput kedua putra putrinya, ia selalu ingin berada di barisan terdepan, dan membuat mereka berpikir kalau ayahnya selalu ada untuk mereka.Kebiasaan ini tak pernah ditinggalkan oleh Ernest, ia rela menunda meeting, dan mengosongkan agenda di saat jam pulang sekolah kedua anaknya, dan ia sendiri yang menyetir mobilnya. Setelah selesai mereka akan mampir ke Cafe Sera untuk menikmati kudapan.“Dwyane, apalagi yang kau tunggu. Jangan biarkan ia menuju gerbang sekolah dan membuat martabat kita hancur!” teriak Boz sekali lagi.Dwayne tak menya
Ketiga anak buah Boz langsung mendongak begitu melihat apa yang ada di hadapan mereka. Sekali lagi sebuah kejutan pun menanti. Tak ayal kejutan itu membuat mereka berempat mulai gemetar.Tak satu pun dari mereka berani berbicara, bahkan untuk membuka mulut saja rasanya sangat berat seolah-olah terkunci rapat. Bahkan keringat pun mulai mengucur dari dahi mereka secara perlahan.“Apa kalian memang sangat hobi untuk berkelahi?” tanya Max.Sepeninggal Dwayne, ia pun memperhatikan lelaki itu diam-diam. Max bermaksud untuk berjaga-jaga apakah mereka akan melakukan serangan kedua kalinya.Pengawal muda itu pun mulai melipir dan mencuri dengar apa yang dikatakan oleh mereka. Begitu mendengar apa yang dibicarakan oleh Gank Mata Pedang, nuraninya pun mulai tergerak untuk membantu Dwyane yang hendak dihajar oleh mereka.Max pun langsung mendekat ke arah mereka dan menahan kedua
Hari masih terik, masih terlalu awal untuk bermimpi, tapi apa yang didapat Max kali ini benar-benar seperti mimpi. Empat orang itu langsung berlutut di hadapannya, dengan kepala yang menunduk.“Apa yang kalian lakukan?” tanya Max sambil merapatkan kedua laisnya yang tebal.“Kami bersalah, kami telah berlaku sombong dan semena-mena terhadapmu, juga beberapa pengawal yang lain. Kami minta maaf,”Max melirik ke arah Dwayne yang juga berlutut sama seperti yang lainnya.“Dwyane, bukankah kau sudah meminta maaf padaku tadi, Lagipula kenapa kalian semua harus berlutut seperti ini, cepat berdiri!” perintah Max.“Ma … maafkan kami, kami tak akan berdiri sebelum kau memaafkan apa yang telah kami perbuat,” jawab mereka serempak.“Hmm sudah … sudah, berdiri semua. Kalian kumaafkan,” balas Max kemud
Tanpa melihat, Max pun mengambil kotak tissue yang ada di sampingnya dan memberikan pada kedua anak kecil yang duduk di kursi belakang. Sebagai seorang ayah, tentu ia tak tega melihat kedua buah hatinya menangis.“Terima kasih Paman,” jawab si kecil Daniel.Max hanya mengangguk, dan sebisa mungkin tidak melihat narrow mirror di depannya. Ia tak ingin misinya gagal karena terbawa perasaan dengan kedua anak di belakangnya.“Dulu ayahku sering mengajak kami berdua untuk pergi ke sini makan kue setelah pulang sekolah, tapi,-” Daniel tak lagi melanjutkan kalimatnya.Anak lelaki kecil itu hanya menangis sesenggukan sambil menunduk. Dia baru berusia tujuh tahun, dan semasa Ernest masih hidup, mereka seringkali melewati waktu bersama untuk bermain. Ernest lah yang mengajari anak itu bermain bola.Sesekali Ernest melihat ke narrow mirror, tampak Olive membuang muka
Kedua mata Max memerah pasca mengantar kedua anak itu pulang ke rumah. Sejenak ia melirik ke arah mansion McCall, tepatnya ke arah lantai dua yang memiliki dua balkon. Itu dulu kamar tidur sekaligus ruang kerjanya. Satu balkon mengarah ke jalan, dan satunya lagi ke kolam renang yang berada di samping rumah.“Seperti apa kamar tidur itu sekarang? Apa mungkin menjadi tempat Vanessa dan Ramford untuk berbagi kasih?” gumamnya sambil memegang setir motornya kuat-kuat.Kemudian ia menghirup napas dalam-dalam dan memejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya mengemudikan motor sportsnya menuju kediaman Ramford.***“Woi woi lihat siapa yang datang?” seru Bill ketika Max memarkir motornya di tempat parkir untuk karyawan.Kedatangan Max tentu saja mem