Sementara itu di dalam kamar sebuah rumah di kawasan Cempaka Putih, tampak Kania masih terus menusuk boneka Rasti dengan senyum jahatnya.
'Kamu harus mati, Rasti! Kamu harus merasakan pembalasanku! Aku akan terus mengejarmu, ke neraka sekalipun.' desis Kania.
Di kejauhan suara lolongan anjing semakin keras terdengar bersahut-sahutan dengan suara burung gagak, udara di kamarnya terasa dingin dan sangat pengap terasa seakan menusuk tulang, tirai-tirai di kamarnya berkibar-kibar. Bisikan tak kasat mata itu kembali terdengar di telinganya.
'Bagus. Bagus sekali Kania, saudaraku. Minta apa pun kepadaku. Minta apa saja yang kau inginkan. Aku pasti akan mengabulkannya,' bisikan itu terdengar sangat lirih dan parau.
Seringaian Kania semakin nyata terlihat di bibirnya. Keinginan untuk membalas dendam itu semakin kuat tertanam di dadanya. Kebencian itu semakin kuat mengakar.
'Aku ingin perempuan dalam foto ini mati dengan perlahan-lahan, agar dia tahu bagaimana rasa sakit itu. Buat dia menderita, dan anak ... anak yang ada di dalam perut perempuan itu kuberikan dia padamu, sebagai persembahanku,' bisik Kania tak kalah lirih.
Suara gonggongan dan lolongan anjing kembali bersahutan dari berbagai arah di kejauhan usai persembahan Kania seolah mengamini keinginannya.
Angin dingin meniup api lilin, membuat nyalanya meliuk-liuk seakan hendak padam. Perlahan tetapi pasti, bau amis mulai menerpa indera penciuman.
'Kania,' Terdengar bisikan seorang wanita tepat di telinganya.
Kania melihat pantulan dirinya dalam cermin, tampak sesosok wanita dengan rambut terurai menutupi sebagian wajahnya berdiri di belakangnya, tangan putih pucat berkuku hitam, panjang dan runcing tampak terulur memegang bahu Kania. Dingin! Tangan itu terasa sangat dingin dan amis, sehingga membuatnya sedikit tersedak.
"Kuterima persembahanmu. Akan kukabulkan permintaanmu ... sekarang!" bisik perempuan itu, lalu menghilang.
Seiring dengan kepergian sosok itu hilang pula suara lolongan anjing dan burung gagak yang tadi terdengar riuh bersahutan tiada henti.
'Sebentar lagi ... semua akan tercapai. Sabar, Kania ... kamu harus sabar,' batin Kania diikuti senyuman yang lebih mirip seringaian di wajahnya.
Ingatan Kania kembali ke delapan tahun lalu. Ingatan yang mampu membuatnya merasa bahagia, sesak, marah sekaligus mendendam dalam satu waktu yang bersamaan kepada Rasti dan Arga, dua orang yang pernah sangat dekat dengannya dahulu.
***
Delapan Tahun Lalu
Kania tampak sangat bahagia karena sebentar lagi dia akan menikah dengan lelaki yang sangat menyayangi dan memujanya, lelaki yang diidolakan semua gadis di kampusnya.
Hari itu dia dan tunangannya itu berencana akan pergi ke KUA untuk melengkapi semua dokumen yang diperlukan untuk pernikahannya, kemudian mereka akan ke butik milik Tante Irna, kakak tertua mami Arga untuk mencoba kebaya dan gaun pengantin yang akan dipakainya untuk acara akad nikah dan resepsinya nanti.
Kania sedang duduk mengobrol sambil menikmati segelas es jeruk dengan sahabatnya di kantin ketika dilihatnya seorang pemuda tampan datang sambil tersenyum mesra ke arahnya.
"Assalamualaikum, Sayang. Apa kabar kamu pagi ini? Kangen rasanya nggak ketemu kamu beberapa jam aja," goda pemuda itu sambil meraih tangan Kania.
Mendengar godaan kekasihnya, Kania hanya bisa menunduk malu dengan pipi mulai bersemu merah, "Iih, apaan sih. Baru juga berapa jam nggak ketemu, nggak usah gombal deh. Malu tau!" Kania mencubit gemas tangan pemuda itu.
"Hahaha ... biarin aja napa sih, Yang. Ngegombal sama calon istri ini," goda pemuda itu semakin menjadi.
Mendengar rayuan pemuda itu pipi Kania menjadi semakih merah, wajahnya pun semakin menunduk malu apalagi ketika disadarinya sahabatnya masih duduk di depannya sambil tertawa menggodanya.
"Wah, yang bentar lagi mau nikah, makin mesra aja!" goda Rasti pada Kania, sahabatnya. "Sampai nggak nyadar masih ada gue di sini! Udah dong, jangan sampai gue ngiri liat kemesraan elu berdua!" imbuh Rasti membuat Kania tersipu malu.
"Nganan aja, Ras. Kalau ngiri nanti salah jalan. Jangan sampai keliru kasih lampu sein, Lu. Hahaha!" Sambil tertawa Arga menggoda Rasti yang spontan memajukan bibirnya.
"Udah deh mending elu berdua cepetan cabut sana gih, daripada di sini terus! Apa perlu gue rebut Arga dari elu, biar lu nggak bisa manas-manasin gue terus?" usir Rasti masih dengan wajah cemberut.
"Ih! Kok lu ngomong gitu sih, Ras! Emangnya lu tega nyakitin gue?" tanya Kania dengan perasaan bingung mendengar perkataan sahabatnya yang terasa teramat sangat janggal di telinganya itu.
"Ah! Udah sana buruan cabut! Gue nggak perlu jawab pertanyaan elu!" Rasti mendorong Kania dan Arga untuk segera pergi dari hadapannya.
Sambil melangkah pergi, Arga dan Kania melambaikan tangannya ke arah Rasti yang langsung membalas lambaian tangan mereka.
Sepeninggal Kania dan Arga, Rasti segera mengeluarkan telepon genggam dari dalam tasnya dan langsung melakukan panggilan suara kepada seorang lelaki yang sudah cukup dikenalnya.
"Halo, Zen gimana udah dapet belum yang gue minta sama elu kemaren?" tanya Rasti pada seseorang.
"Dapet, dong. Buat Zen, nyari barang kaya gitu aja sih, kecil!" balas seorang pemuda dengan nada bangga.
"Elu tinggal kasih gue sesuai yang kita sepakati kemarin. Kalau elu udah siap, gue anter sekarang," ucap Zen
"Oke, kalau gitu sekarang kita ketemuan di Meet Up Cafe. Setengah jam lagi gue sampai sana!" ucap Rasti mengakhiri percakapan dengan lawan bicaranya.
Setengah jam kemudian, di Meet Up Cafe di sebuah tempat yang cukup terlindung dari keramaian, tanpak Rasti sedang berbincang-bincang dengan seorang laki-laki. Setelah merasa aman, laki-laki tersebut tampak mengeluarkan sebuah bungkusan plastik kecil berisi dua butir pil.
"Elu yakin pil ini bakalan bekerja seperti yang gue mau, Zen?" tanya Rasti.
Pemuda yang dipanggil Zen itu hanya mengangguk sambil mengacungkan kedua jempol tangannya. Melihat reaksi Zen, Rasti segera mengeluarkan amplop coklat yang sudah dipersiapkannya dari tadi pagi sebelum berangkat kuliah.
Setelah menghitung uang dalam amplop coklat itu, tanpa mengatakan sepatah kata pun Zen segera pergi meninggalkan Rasti yang tengah tersenyum jahat.
"Nggak lama lagi gue bakal rebut Arga dari elu, Kania! Gue harus jadi istri Arga bagaimana pun caranya!" desis Rasti dengan seringaian samar di wajahnya.
***
Malam harinya usai menyelesaikan semua rangkaian kegiatan, Arga pun mengantarkan Kania, tunangannya pulang."Yang, aku pulang dulu ya. Habis ini, kamu langsung mandi terus istirahat. Jangan begadang, kita udah cukup capek hari ini. Besok pagi aku jemput kamu seperti biasa, begitu selesai bimbingan skripsi kita lanjutin lagi nyari souvenir dan undangan," pamit Arga pada Kania, kekasihnya."Iya, Sayang. Kamu juga sampai di rumah nanti langsung mandi, makan dan istirahat ya. Jangan lupa salat dulu." ujar Kania dengan tatapan mesra pada Arga."Siap, Jenderal! Kamu juga jangan lupa makan dan salat ya. Makasih udah selalu diingetin. I love you, Kania Andarini Prasetyo."Arga mengangkat tangan kanannya, bersikap hormat pada Kania. Kania merasa gemas sekaligus malu karena melihat sikap calon suaminya yang selalu saja menggodanya di setiap kesempatan."Ish, apaan sih Arga. Udah kewajiban aku buat ngingetin calon imamku, biar semakin istiqomah nanti kalau ud
Sementara itu di sebuah rumah mewah di kawasan Permata Hijau, Arga baru saja keluar dari kamar mandi ketika terdengar suara dering dari ponselnya. Sedikit tergesa, Arga mencari-cari di mana ponselnya tadi disimpan."Ish, mana lagi tu ponsel! Pakai acara ngumpet segala lagi!" gerutu Arga sambil terus mencari. "Nah, ini dia. Ketemu juga akhirnya," sambung Arga setelah menemukan ponselnya di bawah tumpukan baju kotornya yang masih berserakan di atas karpet kamarnya.Arga bermaksud mengecek siapa yang baru saja meneleponnya ketika suara dering ponselnya kembali terdengar, sekilas dilihatnya nama MAMI tertera di layar ponsel berlogo apel digigit itu.[Assalamualaikum, Mami. Mami, Papi apa kabarnya? Kapan mami sama papi pulang dari Dubai? Arga kangen mami papi!]Sapa Arga setelah panggilan video dengan maminya terhubung.[Waalaikumsalam, Ga. Ya ampun, Arga kalau mau tanya satu-satu dong. Pelan-pelan ngomongnya, mami jadi bingung nih mau jawab yang
Di tempat lain, di sebuah Pub tampak seorang gadis cantik duduk seorang diri menikmati kepulan asap yang lolos dari bibir seksinya. Dalam diam, gadis itu teringat kembali pada sebuah lembaran kenangan yang masih sangat terasa menyakitkan untuknya."Perempuan itu melabrakku, Kak. Dia menyebutku sebagai perempuan murahan, perempuan itu juga menyuruh seseorang untuk menyakiti dan memaksaku meninggalkan Mas Pras, padahal di antara kami nggak ada apa-apa. Aku takut papa dan Adi marah. Adi pasti ninggalin aku kalau tahu aku udah nggak perawan lagi gara-gara lelaki suruhan perempuan itu, Kak. Rasanya aku nggak sanggup bila harus hidup menanggung malu, Kak. Lebih baik aku mati," isak Sasti, adik perempuan kesayangannya kembali terngiang di telinga dan ingatannya.'Aaarrggh! Bangsat! Sialan! Kakak akan membalaskan sakit hatimu sama mereka, Dek! Kakak janji, Kakak nggak akan lepasin mereka sebelum mereka merasakan penderitaan seumur hidup yang akan membuat mereka menyesal karena
Senyum Rasti mengembang seketika, saat sesosok pemuda itu mendatangi dan mencium kedua belah pipinya bergantian. Pemuda tampan dengan tinggi 189 itu adalah Andra, sahabat Rasti dari kecil.Rasti merasa sangat antusias dengan kehadiran Andra, karena hanya Andra yang bisa membuatnya melupakan lukanya di masa lalu. Setiap kali rasa marah itu datang, seketika itu juga hilang saat lelaki itu datang dan berada di sisinya."Hai, Putri Tidur apa kabar lu? Udah lama banget kita nggak ketemu. Gue kangen banget tahu sama elu, elu itu kemana aja sih? Emak gue nanyain elu tuh, katanya mana calon mantu emak kok udah lama nggak pernah main ke sini lagi? Sampai-sampai emak gue ngira gue marahan sama elu. Padahal mah boro-boro marahan, ketemu juga nggak. Ya kan," cerocos pemuda tampan berhidung bangir itu.Rasti yang mendengar cerocosan sahabat kecilnya itu hanya tersenyum geli dan memeluk Andra erat."Ndra, gue juga kangen banget sama elu, ibu, adik-adik elu, pokoknya se
Masa Sekarang Satu setengah jam kemudian, Arga dan Rasti sampai di rumah sakit terdekat. Tergopoh-gopoh, Arga berlari kesana kemari sambil berteriak meminta brankar untuk mengangkat tubuh istrinya yang sudah tidak berdaya itu. "Pak, tolong saya minta brankar! Keadaan istri saya sudah sangat kritis, saya mohon, Pak!" Arga berteriak histeris, tidak dipedulikannya beberapa pasang mata yang menatapnya heran. "Awas! Permisi! Minggir! Ini Pak, brankar yang Bapak minta!" seru seorang petugas keamanan tengah mendorong sebuah brankar mendekati Arga. Arga segera menyambut brankar yang diserahkan kepadanya. Bergegas dia mendorong brankar itu mendekati pintu kursi pemandu, dengan tergesa dia membuka pintu mobilnya dan mengangkat istrinya yang tengah hamil tujuh bulan itu untuk dibaringkan di atas brankar. Kemudian dia meminta tolong kepada seorang petugas medis yang kebetulan lewat untu membantu mendorong brankar yang berisikan tubuh istrinya sement
Sementara itu di dalam ruang IGD, para dokter jaga, perawat, bidan sibuk dengan urusannya masing-masing, begitu juga dengan dokter, perawat dan bidan yang menangani Rasti. "Sus, kita harus operasi sekarang karena pasien mengalami banyak kehilangan darah. Tolong kamu siapkan ruang OK dan periksa ketersediaan stok darah golongan AB sekarang! Saya akan keluar menemui keluarganya untuk meminta persetujuan," perintah dokter Indri, Sp.Og kepada semua tim yang membantunya. Gegas dokter Indri keluar mencari keluarga Rasti dan mendapati Arga yang tengah duduk sendirian berusaha mengusir rasa mual dan dingin yang dirasakannya, "Maaf, apa Bapak keluarga pasien yang bernama Rasti?" tanya dokter Indri. Dokter Indri tidak segera menjawab pertanyaan yang dilontarkan Arga karena didatangi oleh salah satu asistennya yang memberitahukan bahwa di bank darah rumah sakit saat ini hanya tersedia dua kantong golongan darah AB dari lima kantong yang mereka perlukan untuk prose
Trash! Kuku-kuku panjang itu berhasil merobek sesuatu di dalam sana dan senyum lebar, lebih tepatnya seringaian karena yang tampak di dalam mulut wanita itu adalah gigi-gigi runcing yang siap menyobek apa pun menjadi serpihan. Dengan sekali tarikan keras, tangan itu keluar dengan membawa sesuatu yang memang sudah diincarnya sedari tadi. Sesuatu itu tampak berdarah-darah dan terdapat lubang sobekan memanjang dari atas hingga ke bawah, seakan hendak membelah sesuatu itu menjadi dua bagian sama besar. "Hahaha! Akhirnya aku dapat memakan kembali makanan kesukaanku ini setelah sekian lama. Aku suka!" Tawa seram sosok itu terdengar keras dan melengking, seketika itu juga suasana di dalam ruang OK terasa semakin mencekam. Para tenaga medis yang tengah berjuang menolong Rasti serentak menghentikan pekerjaan mereka karena terkejut, beberapa di antara mereka terutama para tenaga co-assistent merasa ketakutan karena tidak pernah mengalami fenomena seperti
Jadi anak saya meninggal, dok. Innalillahi w* inna ilaihi rajiun, terima kasih untuk usaha yang sudah dokter dan tim berikan untuk anak dan istri saya. Saya sangat menghargainya, saya permisi mau ke bagian pemulasaraan jenazah dulu, dok" pamit Arga kepada dokter Indri. Dengan langkah gontai dan mata berkaca-kaca, Arga melangkahkan kakinya ke ruang pemulasaraan jenazah untuk melihat jenazah bayinya ketika tiba-tiba ponselnya berdering dan tertera tulisan PAPI, gegas di angkatnya telepon dari papinya. [Assalamualaikum, Pi.] salam Arga begitu mengangkat telepon papinya. [W*'alaikumsalam, Arga. Ga, maaf papi dan mami baru aja sampai di rumah sakit, tadi kami terjebak macet karena hujan angin ribut. Semoga istri dan anak kamu bisa tertolong, ya.] Indra, papi Arga menjelaskan alasan keterlambatan mereka kepada Arga. [Iya, nggak apa-apa, Pi. Rasti, alhamdulillah selamat, tapi anak Arga ....] Arga me