Selamat Malam..... :) Saatnya.....
Beberapa hari telah berlalu. Rania masih sibuk membuat menu baru di restorannya. Dalam sekejap saja restoran tersebut sangat ramai karena wanita itu memberikan diskon besar-besaran untuk menu-menu terbaru yang sudah siap. Rania tersenyum lega. Tidak salah ia mendatangkan koki handal dari sebuah kota yang cukup terkenal. Wanita itu juga bahagia melihat anak buahnya bekerja dengan lebih semangat. Namun di saat Rania sedang memeriksa bahan-bahan yang mulai tipis stoknya, ia dikejutkan dengan bunyi ponsel yang berdering terus-menerus. Awalnya wanita itu sempat mengabaikannya, lama kelamaan ia penasaran juga dengan siapa yang sedang telepon. Tertera nama ibu guru yang menjadi pendamping dalam lomba kemah yang diikuti oleh Alsha dan Alma di sekolahnya. Kening Rania tampak berkerut. Ia penasaran mengapa ibu guru tersebut menghubunginya. Rania pun cepat-cepat mengangkat telepon itu. “Mama, lama sekali angkat teleponnya?” “Alma? Ada apa?” Sepertinya Rania merasakan kekhawatiran pada Alma
“Tentu saja, boleh.” Lelaki itu tersenyum tulus seraya merentangkan kedua tangannya. Alsha segera mendekap erat lelaki yang telah menolongnya sambil memejamkan kedua matanya. Entah mengapa perasaan kini sangat bahagia. Sementara Rania yang menyaksikan kehangatan mereka berdua ikut terharu. Tetapi ia tidak mau Alsha terlalu berharap kepada lelaki itu. “Alsha ....!” teriak Rania kemudian. Saking semangatnya ia berlari hingga tidak memperhatikan keadaan sekitarnya. Rania tak sadar ada sebuah lubang di dekatnya. “Augh ... sakit!” Rania berteriak kesakitan. Kaki kanannya terperosok ke dalam lubang itu. Rasanya sangat perih. Ia merasakan ada sesuatu yang menusuk mengenai kakinya tersebut. “Mama!” Alsha pun ikut cemas. “Om, itu Mama saya. Sepertinya Mama sedang terluka.” “Baiklah, anak manis. Kamu tunggu di sini sebentar. Om akan menolong mama kamu.” Lelaki mengusap kepala Alsha sebelum benar-benar pergi. Setelah itu ia segera berlari untuk menolong Rania. Rania masih terlihat kesaki
Dalam tiga hari berturut-turut, Dave selalu menjenguk Rania di rumahnya dan membawakan beberapa makanan favorit wanita itu. Ia juga selalu mengecek keadaan luka di kaki Rania. Rania tidak pergi ke restoran untuk beberapa hari itu. Ia lebih memilih untuk beristirahat dan mencoba melupakan semua hal tentang Rafka. Hari ini kakinya sudah sembuh. Rania bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun ia berencana pergi ke restoran kembali esok hari. Entah mengapa malam itu Dave baru datang. Tak seperti biasanya yang datang lebih awal. Tetapi Rania tidak mempermasalahkan soal itu. “Martabak kesukaan kamu.” Dave meletakkan sekotak makanan ringan itu di atas meja sambil tersenyum manis kepada Rania. Lalu ia mengedarkan pandangannya. “Oh, ya. Anak-anak ke mana?” Rania berucap pelan. “Mereka sudah tidur. Sepertinya kelelahan.” Wanita itu menghirup udara kuat-kuat. Sebelum akhirnya berbicara kembali kepada dokter tampan tersebut. “Dave, tidak seharusnya kamu selalu membawakan makanan seperti ini.
Rania langsung mendekat ke arah pintu kamar itu. Lagi-lagi pintunya tidak terkunci dan sedikit terbuka. Membuat Rania bisa mendengar Dave yang tengah berbicara. “Apa mau kamu? Tidak cukup dengan uang yang aku berikan selama ini?” tanya Dave terlihat frutasi. “Aku kangen kamu, Dave.” “Kamu tahu jika aku mencintai Rania. Dan sekarang dia telah menerima lamaranku. Sebentar lagi aku akan menikah dengan Rania. Tolong jangan ganggu aku lagi.” “Satu kali saja, Dave. Setelah ini aku akan merelakan kamu bersama wanita itu. Wanita yang telah merebut Rafka dariku.” Wanita itu mulai melepaskan pakaian yang dikenakan Dave. Tetapi lelaki itu segera menepisnya. “Cukup, Nina! Aku tidak mencintaimu. Harusnya kamu tahu akan hal itu.” “Baiklah jika kamu tidak mau, Dave. Aku bisa bilang kepada Rania bahwa kamu terlibat dalam kematian Rafka yang secara disengaja.” Nina berbicara dengan sangat yakin. Selama ini ia selalu memeras Dave dan menginginkan sentuhan lelaki itu. Sayangnya Dave selalu menghind
“Maafkan saya, Bu Rania ....” Nadia menundukkan kepalanya. Ia tidak berani menatap langsung kepada Rania. “Jadi semuanya benar?” Rania memastikan. “Pak Rafka yang meminta saya untuk tidak mengatakannya Bu Rania.” Rania menggelengkan kepalanya. Dadanya kembali terasa sesak. Sungguh tega sekali Rafka melakukan hal itu kepadanya. Apa salahnya? Lelaki yang sangat ia cintai lebih memilih menikahi wanita lain tanpa sepengetahuannya. “Tapi kenapa Nadia? Kenapa Mas Rafka menyembunyikan semua ini?” Nadia segera mencoba menenangkan Rania. Ia mencoba menjelaskan semua yang telah terjadi. “Waktu itu hubungan saya dan Kak Fariz sempat membaik. Saat Pak Rafka dan Kak Fariz pulang dari luar negeri, saya pun di dekat mereka. Tetapi tiba-tiba ada seseorang yang mengirimkan gambar-gambar kemesraan Bu Rania dengan Dokter Dave. Pak Rafka sempat kecewa dan cemburu.” Nadia menghentikan sejenak ucapannya. Sementara Rania yakin jika Dave yang sengaja menyuruh seseorang itu. “Lalu?” Rania sudah tidak
Delvin mengusap pelan kepala milik Rania. Sejujurnya ia ikut sedih atas keadaaan yang terjadi. “Baiklah jika memang itu keputusanmu, Rania. Maafkan paman.” “Rania minta tolong Paman buat jagain Alsha dan Alma di rumah, ya? Rania mau menyusul Mas Rafka.” “Kamu yakin Rania? Mau ke sana sendirian? Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu nanti?” Delvin tampak khawatir. Rania mengangguk saja. Ia sangat yakin bisa menemukan Rafka dan berbicara langsung dengan suaminya tersebut. “Baiklah. Paman akan atur semuanya. Besok kamu tinggal berangkat. Dan paman juga mengirimkan dua orang untuk menjagamu dari kejauhan. Mereka tidak akan mengganggu waktumu.” “Terima kasih, Paman.” Rania tersenyum lega. “Kalau begitu biar paman antarkan pulang. Nanti motornya biar diambil orang suruhan paman.” Rania pun setuju. Ia berpamitan kepada Nadia untuk pulang. “Terima kasih ya, Nad. Atas informasinya.” “Bu Rania mau memaafkan saya ‘kan? Bu Rania tidak dendam kan’? Nadia berucap dengan resah. “Untuk apa a
Beberapa jam telah berlalu. Rania dan Rafka bagaikan pengantin baru yang sedang menikmati malam pertama mereka. Keduanya tergolek lemah namun tetap berpelukan. “Mas ... apa yang sebenarnya terjadi? Rania ingin mendengar semuanya dari Mas Rafka. Dan apa yang Mas lakukan di sini? Kenapa Mas ... kenapa Mas Rafka tidak pernah cerita tentang penyakit Mas Rafka. Kamu tega sekali, Mas. Bukankah seharusnya Mas berterus terang agar kita bisa selalu mendukung dan Rania bisa selalu berada di samping Mas Rafka?!” Rania ingin meluahkan segala keluh kesahnya kepada Rafka. Meski ia telah mendengar semuanya dari Nadia, tetapi ia juga ingin mendengarkan penjelasan langsung dari suaminya tersebut. “Maafkan aku, Rania. Aku memang salah. Dan aku tidak pernah menyangka jika Dave berani melakukan semua itu kepadaku.” “Dave harus mendapatkan balasan yang setimpal. Aku sangat membencinya, Mas.” “Bukankah dia selalu ada untukmu, Sayang?” Jemari Rafka membelai rambut istrinya. Rafka begitu merind
Tiba di depan rumah, Rania memilih untuk masuk terlebih dahulu. Sementara Rafka masih bersembunyi di luar. Nyatanya lelaki itu masih takut dan merasa bersalah. Apalagi di sana ada Delvin yang siap memukulinya jika Rafka tidak bisa meyakinkan kepada sang paman kenapa dirinya meninggalkan Rania dan calon bayi kembarnya. Satu langkah masuk ke dalam rumah, Rania langsung disambut hangat oleh Delvin. Alsha yang masih bermain dengan Resti seketika menoleh. Gadis kecil itu langsung berlari untuk memeluk sang mama sambil menunjukkan senyuman termanisnya.“Alsha kangen banget sama Mama,” ungkap Alsha manja. “Baru sehari saja ditinggal. Bagaimana kalau satu minggu? Bahkan satu bulan atau mungkin satu tahun?” Rania justru sengaja menggoda gadis kecilnya. “Jangan dong, Ma. Terus kejutannya mana? Katanya spesial,” peringat Alsha yang sudah tidak sabaran. “Tutup mata dulu, dong.” “Ih, Mama.” Alsha tampak cemberut. Namun ia tidak mau mengecewakan sang mama. “Baiklah.” Gadis kecil itu pun segera