Kotak merah dengan sebuah kalung emas yang sangat cantik ada di dalamnya. Rania hingga ternganga melihatnya.
"Cantik sekali kalung ini. Apakah Mas Amar sengaja ingin memberikan kejutan untukku? Ternyata aku salah menilainya. Mungkin dia menunggu waktu yang tepat."Dengan sangat hati-hati Rania mengembalikan kotak merah itu ke dalam laci. Ia sampai lupa dengan niat awalnya yang ingin mencari ikat rambut.Jantung Rania mendadak berdebar dengan hebat. Ia menantikan sang suami bersikap manis dan lembut kembali seperti dulu di saat awal-awal pernikahan mereka."Sebaiknya aku fokus bersih-bersih dan merapikan rumah saja."Sepanjang hari seperti itulah pekerjaan Rania. Ia harus memastikan agar rumah tempat tinggalnya selalu bersih dan rapi. Apalagi rumah itu adalah rumah tumpangan dari Rafka."Ngomong-ngomong soal, Rafka. Kenapa dia mau kembali ke rumah ini, ya? Apa benar ia sedang putus cinta?"Rania berceloteh seorang diri. Rupanya suasana rumah itu tak lagi sama setelah kemunculan adik iparnya. Terasa sunyi dan kosong saat Rafka pergi entah ke mana."Mengapa aku harus memikirkan Rafka? Ada-ada saja." Rania menggelengkan kepalanya berkali-kali. Tidak ingin mengotori otaknya dengan memikirkan sang adik ipar.Siang itu Rania makan seorang diri. Ia mencoba mengirimkan pesan kepada suaminya.[Mas, sudah makan belum? Jangan lupa makan siangnya. Jangan sampai telat.]Rania selalu berusaha menjadi istri yang pengertian. Ia selalu mengingatkan Amar agar tidak telat makan siang. Wanita itu takut jika penyakit typus suaminya kambuh lagi."Tidak dibalas. Hanya dibaca saja. Selalu seperti itu."Namun sesaat kemudian ponsel Rania berdering. Ia pikir telepon dari suaminya."Iya, Mas Amar. Rania sudah makan, kok.""Ini aku, Ran. Bukan Amar!" sahut seseorang dari balik telepon.Rania segera mengecek nama kontak yang meneleponnya. Ternyata bukan Amar. Tetapi Rafka. Adik iparnya tersebut memang sudah memberikan nomor teleponnya sebelum pergi dari rumah. Untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu ada keperluan mendesak."Maaf, Rafka. Ada apa meneleponku?" Rania menjawab dengan sedikit ketus. Tak seperti saat menjawab panggilan Amar."Oh, aku ganggu ya, Ran. Ya sudah nggak jadi."Tiba-tiba Rafka memutuskan sambungan teleponnya. Membuat Rania mendengus kesal."Apasih maksudnya Rafka? Dia marah?" tanya Rania kepada diri sendiri. Ia kemudian berdiri dan mencuci piring bekas makan siangnya.Sudah kesekian kalinya Rania selalu diabaikan oleh suaminya. Sebenarnya ia merasa sakit hati diperlakukan seperti itu."Malam ini aku harus melakukannya. Aku ingin hamil anak Mas Amar. Sudah cukup lama aku menanti saat-saat seperti ini."Rania sudah berniat untuk menggoda dan bertindak aktif kepada Amar. Ia ingin hubungannya dengan sang suami rapat kembali. Setidaknya dengan kehadiran seorang anak akan menepis berita buruk tentang dirinya.Mertua Rania selalu menganggapnya mandul. Padahal Amar yang menunda kehamilan istrinya sebelum mereka memiliki rumah impian sendiri.Malam hari pun telah tiba. Rania setia menanti kedatangan Amar. Ia duduk seorang diri di kursi ruang tamu rumah itu.Terdengar bel pintu rumah berbunyi. Bergegas Rania membukanya. Namun yang ia lihat adalah Rafka. Bukan suaminya."Rafka? Kamu sudah pulang? Aku pikir kamu—""Mas Amar belum pulang lagi?" sahut Rafka cepat.Rania mengangguk sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Sementara Rafka menutup pintu kembali."Sepertinya kamu bahagia banget, Ka. Beneran sudah balikan sama Nina?" tanya Rania penuh selidik."Apaan sih, Ran. Nggak bakalan aku balikan sama dia. Aku justru akan balas dendam kepadanya."Rania menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak sependapat dengan niat jahat adik iparnya."Dendam itu tidak baik, Rafka. Sebaiknya kamu memaafkannya saja dan mulai menjalani kehidupan baru kamu dengan wanita yang mencintaimu.""Tidak ada yang benar-benar tulus mau mencintaiku. Semua mendekatiku karena harta. Aku sudah menduga tentang semua ini sebelumnya. Tetapi aku berusaha percaya kepadanya.""Aku yakin suatu saat nanti akan ada yang mencintaimu dengan tulus. Yang kamu juga sangat mencintainya.""Kamu salah, Ran. Wanita yang aku cintai sejak dulu sudah menemukan pasangannya. Ia sudah menjadi milik orang lain."Seketika suasana berubah menjadi tegang. Rania terdiam. Ia tidak pernah tahu jika Rafka pernah mencintai seseorang sedalam itu."Jadi kamu tidak serius dengan Nina?" tanya Rania semakin kepo."Ya. Dia hanya pelarian saja. Aku pikir dengan kehadiran Nina bisa membuatku move on. Tetapi aku salah.""Kalau begitu aku ke belakang dulu. Mau dibuatkan sesuatu?" tawar Rania berusaha menjadi ipar yang baik. Namun sebenarnya ia merasa tidak nyaman dengan topik pembicaraan mereka malam itu."Tidak perlu, Ran. Ini aku bawakan makanan untukmu," ungkap Rafka seraya memperlihatkan kantong plastik yang dipegangnya."Itu apaan? Ini sudah malam, Rafka. Nanti aku bisa gemuk.""Ayolah!" Rafka meminta Rania membuka makanan yang dibawanya. Rupanya sekotak martabak manis kesukaan Rania."Astaga, Rafka! Ini terlihat sangat lezat. Bagaimana aku bisa menolaknya? Kamu masih ingat makanan kesukaanku?" tanya Rania antusias."Tidak. Kebetulan saja."Jawaban Rafka membuat Rania sedikit kecewa. Ia pikir lelaki di dekatnya itu memang mengingat makanan favoritnya."Hei, aku bercanda, Ran. Nggak usah cemberut gitu mukanya. Bahkan aku juga ingat minuman kesukaan kamu."Rafka menunjukkan satu kantong plastik lagi berisi minuman dingin kesukaan mereka berdua.Rania tersenyum canggung. Ia merasa salah tingkah karena telah salah menilai Rafka."Jadi kamu beneran masih ingat?" Rania merendahkan suaranya."Tentu saja." Rafka merebut kotak martabak itu. Ia mengambil satu potongan kue itu dan memasukkannya ke dalam mulut Rania. "Ayo, buka mulutnya.""Rafka, aku bisa sendiri.""Tidak boleh ada penolakan." Rafka tetap memaksa dan ia berhasil membuat Rania kekenyangan malam itu. Ia telah menggagalkan niat Rania untuk pergi ke belakang.Setelah beberapa menit berlalu. Rania benar-benar merasa kenyang. Ia memilih untuk pamit naik ke atas karena Amar tak kunjung pulang."Aku sangat kenyang, Ka. Aku ke kamar duluan, ya?" Rania berdiri dari duduknya. Namun tiba-tiba Rafka menahan pergelangan tangannya."Tunggu, Ran!" ucapnya cepat."Ada apalagi, Rafka?" Rania melirik ke arah tangan Rafka. Sehingga membuat adik iparnya tersebut segera melepaskan genggaman tangannya.Rafka tampak merasa bersalah. Ia kemudian mencari sesuatu dari dalam saku celananya."Sebenarnya aku ada hadiah kecil untukmu." Rafka memberikan sebuah kotak hadiah kepada Rania."Apa ini? Aku tidak sedang berulang tahun." Rania terlihat acuh. Tetapi sebenarnya ia penasaran. Baginya sikap Rafka menjadi aneh dan misterius."Buka saja, Kakak iparku," goda Rafka kemudian."Ih, apaan sih, Raf! Jadi lucu rasanya.""Nah itu kamu memanggilku, Raf. Biasanya Ka," protes Rafka bernada manja.Rania bergidik ngeri. Tubuhnya meremang gara-gara berpikir yang aneh-aneh terhadap adik iparnya.Dengan cepat Rania membuka hadiah pemberian Rafka. Ternyata sebuah ikat rambut yang unik."Ini lucu sekali, Raf. Aku suka.""Aku mau minta maaf. Ikat rambut yang tadi hilang. Jadi aku sengaja membelikan yang baru untukmu."Setelah mendengar permintaan maaf dari Rafka, tiba-tiba raut wajah Rania berubah seketika. Wanita itu justru terlihat sedih.Eh, kenapa nih Rania? Bukannya seneng dibeliin ikat rambut yang baru. Kok malah sedih ya??? 🤔
"Ran, kamu kenapa? Tidak suka dengan hadiahnya? Atau—"Rafka hendak melanjutkan kalimatnya, tetapi Rania segera menyahut ucapan itu."Ikat rambut itu hadiah dari Mas Amar. Tapi kamu malah menghilangkannya," sahut Rania cepat. Wanita itu selalu berusaha merawat barang-barang pemberian suaminya. Meskipun hanya sekedar ikat rambut sekalipun.Rafka terdiam. Ia berusaha meminta maaf kepada Rania berkali-kali sampai wanita itu mau memaafkannya."Aku benar-benar minta maaf, Ran. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu bersedih."Setelah memikirkan hal yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan, Rania menjawab ucapan Rafka dengan cepat."Aku bercanda, Rafka. Kamu tidak perlu meminta maaf." Terpaksa Rania harus berbohong. Ia tidak ingin membesar-besarkan masalah yang ada. Apalagi jika sudah berhadapan dengan Rafka yang tidak jarang bersikap keras kepala.Rafka pun tersenyum smirk. Sebenarnya ia tahu semuanya. Dan ia sengaja membuang ikat rambut Rania yang dibelikan oleh suaminya.Rafka berdiri dar
"Rania, apakah kamu baik-baik saja?" tanya Rafka yang khawatir kepada kakak iparnya. Ia sempat mendengar pintu kamar Rania ditutup secara kasar oleh Amar.Tentu saja Rafka tidak ingin terjadi perkalihan lagi di antara mereka. Ia juga takut jika Amar berbuat kekerasan dalam rumah tangga."Rafka?" lirih Rania lemah. Ia begitu kecewa karena yang datang adalah adik iparnya. "Aku pikir Mas Amar yang kembali. Kenapa kamu ke sini?" Sungguh, selain kesal Rania juga merasa malu. Ia menutupi bagian atas tubuhnya dengan kedua tangan saling menyilang. Wanita itu memang hanya mengenakan pakaian yang sangat tipis dan tanpa penghalang di dalamnya.Rafka tersadar akan sikap Rania. Ia menjadi tidak enak hati dan segera memalingkan wajahnya. Bukan niat Rafka untuk mencuri-curi kesempatan kepada kakak iparnya."Oh, maaf, Ran. Aku pikir—" Belum sempat Rafka melanjutkan kalimatnya, Rania sudah menyahut ucapan lelaki itu."Sudahlah, Raf. Sebaiknya kamu tidak usah memikirkan aku." Rania sudah hafal betul
Rania tersenyum tipis. "Terima kasih, ya? Kamu sangat baik."Rafka menghembuskan nafas panjangnya. Kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali."Tidak adakah hal lagi selain kata terima kasih?" goda Rafka kemudian."Memangnya kamu mau apa? Mau dimasakin lagi?" tanya Rania penasaran."Sebuah ciuman mungkin." Rafka menjawab dengan entengnya."Rafkaaa!!!!!" teriak Rania kesal. Ia segera mencubit pinggang Rafka tanpa permisi lagi."Ampun, Ran! Aku bercanda. Sakit!" rintih Rafka. Ia kesakitan karena cubitan Rania terlalu kuat.Lelaki tampan itu bergerak-gerak berusaha melepaskan diri dari cubitan Rania. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaannya. Tubuhnya menimpa tubuh mungil milik Rania hingga bibir mereka saling bertemu.Kedua mata Rania melotot seketika. Namun Rafka justru menikmati dan memasukkan lidahnya saat wanita itu membuka mulut hendak berteriak."Kamu apa-apaan, Raf!" Rania mendorong tubuh Rafka ke samping. Dadanya naik turun membayangkan apa yang baru saja ia lak
Rafka terlihat gelagapan. Ia menelan salivanya dengan susah payah."A—aku melakukan itu ... karena ... aku—" Lelaki tampan itu sangat kesulitan menjelaskan semuanya. Ia tidak tahu harus menjawab apa.Dering ponsel Rania mengejutkan keduanya. Wanita itu segera mengecek siapa yang telah menghubunginya.Diam-diam Rafka merasa lega. Ia terbebas dari jebakan pertanyaan yang dibuat oleh kakak iparnya."Ada apa, Sa?" Rania mengangkat telepon dari sahabatnya. Dia adalah Tisa yang waktu itu merekomendasikan pakaian seksi kepada Rania."Aku mau ketemu sama kamu hari ini? Bisa?" tanya Tisa dari balik teleponnya."Em ... nanti aku kabari lewat chat, ya? Aku belum tahu soalnya."Rania memutuskan sambungan teleponnya. Padahal sahabatnya tersebut masih rindu kepadanya.Sebenarnya Rania takut jika Tisa menanyakan tentang yang terjadi malam itu. Bukannya Amar yang tidur bersamanya, tetapi justru Rafka sang adik ipar.Seketika Rania teringat akan Rafka. Ia mencoba mencari kembali keberadaan lelaki itu.
Rafka berbicara seolah cemburu dengan Rania yang masih saja mencari suaminya. Padahal ia hanya seorang adik ipar yang tidak penting sama sekali.Akhirnya Rania pun mengangguk. "Iya, aku ingin cepat sembuh dan segera pergi dari sini."Rafka pun merasa lega. Diam-diam ia ingin mencari tahu tentang perselingkuhan kakaknya. Apakah benar selama ini Amar menjalin hubungan dengan janda itu atau tidak. Lelaki tampan itu tidak segan-segan untuk mengusir Amar dari rumahnya jika memang kakak kandungnya tersebut telah mengkhianati Rania.Rafka menyuapi Rania dengan sabar. "Walau makanan ini tidak selezat masakanmu, kamu wajib menghabiskannya.""Kamu curang, Raf! Aku belum bilang apa-apa, tetapi kamu sudah mengatakan kalimat itu.""Aku benar 'kan?" Rafka tergelak. Ia berusaha menghibur kakak iparnya meski tahu jika hati Rania sedang tidak baik-baik saja.Batin Rania terlihat resah. Entah mengapa ia tidak bisa membenci adik iparnya. Padahal wanita itu sempat kecewa dengan sifat Rafka yang berani men
Di malam yang cukup sepi, Rafka melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju sebuah apartemen. Ya, dia ingin menemui Nina yang sampai saat itu masih berani menempati apartemen milik Rafka."Kamu tidak akan selamat, Nina. Lihat saja. Apa yang akan aku lakukan kepadamu!"Rafka sudah tidak sabar untuk mempermalukan mantan kekasihnya. Ia berharap wanita itu mendapatkan sangsi sosial.Setelah sampai di tempat yang dituju, lelaki tampan itu menutup pintu mobilnya dengan sangat keras. Ia melangkah cepat menuju lift dan memencet angka 20.Rafka memang memilih sebuah apartemen yang berada di lantai atas. Ia menyukai suasana yang terpampang nyata di depannya. Sebuah pemandangan ibu kota yang tampak indah meski tidak ramah lingkungan karena asap maupun kotoran dari banyaknya gedung tinggi di sana.Ting !Tidak butuh waktu lama, pintu lift telah terbuka. Rafka semakin mempercepat langkahnya. Ia membuka pintu apartemennya menggunakan password. Sedangkan card lock masih berada di tangan Nina.R
"Iya, Mas. Kalung. Kemarin aku menemukan kotak berwarna merah dengan sebuah kalung di dalamnya. Pasti itu untuk aku 'kan, Mas?" tanya Rania mencoba meyakinkan.Amar terdiam sejenak. Ia mencari alasan yang tepat agar Rania percaya kepadanya."Aku minta maaf, Ran. Kalung itu untuk Mama. Sudah lama aku tidak memberikan hadiah untuknya. Kamu tidak marah 'kan?" Amar membelai pipi istrinya.Raut wajah Rania berubah datar. "Oh, jadi untuk Mama." Wanita itu berusaha percaya dengan apa yang dikatakan oleh Amar.Rania kembali memasang wajah bahagia. "Tentu saja aku tidak marah. Aku senang Mas Amar begitu peduli kepada Mama.""Terima kasih, Sayang. Aku capek banget hari ini. Mas tidur dulu, ya? Sebaiknya kamu juga tidur."Amar mengecup kening Rania. Kemudian membaringkan tubuh dan menarik selimut hingga sebatas dada.Rania menatap tubuh Amar dengan penuh rasa kekecewaan. Lagi-lagi ia harus terabaikan oleh suaminya sendiri.'Sampai kapan Mas akan terus seperti ini?' Rania berlalu pergi keluar dari
Tin ! Tin !Terdengar suara bunyi klakson. Mobil Rafka menghalangi jalan. Terpaksa ia harus menjalankan mobilnya untuk parkir di tempat yang lebih aman.Setelah memposisikan mobilnya dengan benar, Rafka segera turun ke luar. Berusaha mencari lelaki yang ia curigai tadi. Tetapi sayangnya Rafka sudah kehilangan jejak."Sial! Ke mana dia? Aku yakin jika lelaki itu adalah Mas Amar. Tetapi bukankah Rania tidak sedang berulang tahun?" Rafka berdecak kesal. Ia belum berhasil membuktikan jika Amar memang selingkuh."Ini semua gara-gara mobil tadi. Aku tidak memperhatikan suasana dan tempat dengan baik." Rafka terlihat kecewa. Ia masih penasaran dengan lelaki yang diyakininya adalah Amar.Sesaat kemudian, seorang pria paruh baya datang menghampiri Rafka. Dia adalah tukang parkir di tempat itu."Mohon maaf, Pak. Tadi saya sakit perut," ucapnya menyesal karena melihat Rafka yang menahan emosi gara-gara mobilnya salah tempat parkir.Rafka merasa tidak enak hati. Padahal ia tidak menyalahkan tukang