Clara membiarkan bocah itu disampingnya. Ia tak memperdulikan ocehan yang terus keluar dari mulut mungilnya. Pikirannya masih terfokuskan pada keadaannya sendiri. Uangnya begitu menipis, ia tak mungkin menggunakan uang jatah makan sehari menjadi beberapa hari kedepan.
Ia mengelus perutnya pelan. Ia berharap ia cukup kuat untuk menahan rasa lapar sampai ada seseorang yang mau memperkejakannya.
"Aden, kok aden ada disini?" Tanya seseorang yang Clara yakini adalah asisten dari bocah ini.
"Bibi? Devan ketemu sama mama. Lihat, mama disamping Devan." Ucap Devan dengan nada cerianya.
Wanita itu hanya bisa tersenyum sendu. Ia tahu, bahwa majikan kecilnya belum bisa menerima kepergian ibu kandungnya. Ia menatap gadis yang berada disamping Devan. Benar. Gadis itu begitu mirip dengan mendiang ibu kandung Devan. Pantas saja, Devan mengira bahwa ia adalah ibu kandungnya yang telah tiada.
"Den Devan. Pulang yuk. Papa pasti sudah menunggumu di rumah." Ucap asisten rumah tangga yang diketahui bernama Inah.
"Tapi Bi, Devan masih mau sama mama. Mama pulang yuk sama Devan. Nanti kalau mama mau sesuatu tinggal bilang sama Devan. Devan pasti bakal kasih. Setelah Devan meminta pada Papa." Ucap bocah itu gembira.
"Enh- kakak disini dulu ya adik manis. Kakak tidak mungkin ikut bersamamu." Ucap Clara ragu.
"Kok nggak mau? Mama marah ya sama Devan? Apa Devan nakal sekali sampai-sampai tak mau pulang terus tinggal sama-sama lagi?"
"Bukan begitu. Ka-kakak masih banyak urusan. Jadi, kamu bisa pulang duluan ya. Nanti kakak menyusul." Ucap Clara lembut, tentu saja ia berbohong tentang perkara menyusul.
"Tapi janji ya Ma? Devan bakal tunggu kakak di rumah. Aku pulang dulu ya ma. Jaga diri mama baik-baik." Ucap Devan sembari menggandeng tangan keriput milik Inah.
Clara hanya mengangguk ragu. Pulang katanya? Rumahnya saja tidak tahu. Bagaimana mungkin ia bisa menyusul bocah itu? Entahlah. Menggedikkan bahunya pelan. Ia tak perlu memikirkannya. Membuang waktu saja.
***
Devan begitu bahagia hari ini. Penantiannya tak berujung sia-sia. Ia bisa bertemu dengan mamanya. Ia tak menyangka bahwa hari ini adalah hari paling berharga bagi Devan. Setelah penantiannya selama dua tahun, ia bisa melihat mamanya lagi.
Tapi, Devan merasa heran dengan mamanya. Kenapa mama menyebut dirinya sendiri dengan sebutan kakak? Apakah sebenarnya ia lupa dengan dirinya? Devan menghela nafas. Ia menundukkan kepalanya sedih.
Devan hanya membolak- balikkan robotnya. Moodnya untuk bermain benar-benar turun. Ia menatap pintu besar rumahnya yang masih terbuka. Menanti kedatangan mamanya yang sudah berjanji kepadanya bahwa ia akan menyusul untuk pulang.
Devan mulai mengembangkan senyumannya saat mendengar bunyi ketukan sepatu yang menggema. Itu pasti mamanya. Namun, tak lama kemudian, senyum itu luntur begitu saja. Saat mengetahui bahwa yang datang bukanlah mama, melainkan papa.
Sang papa mengernyit heran ketika melihat anaknya malah menyambutnya dengan bibir berkerucut. Biasanya anak itu akan berlari menghampirinya dan memeluknya dengan ceria. Pasti ada yang tidak beres dengan anak semata wayangnya itu.
"Kenapa? Hm? Kok kamu nggak sambut papa kaya biasanya. Jangan cemberut, kamu jelek kalau cemberut." Ucap sang papa sembari mengelus kepala sang anak pelan.
"Pa, mama bohong. Mama katanya mau pulang nyusul Devan. Tapi sampai sekarang mama belum pulang-pulang. Padahal mama sudah berjanji sama Devan, kalau mama bakal pulang." Ucap Devan sendu.
"Mama?"
"Iya pa. Tadi Devan ketemu sama mama di taman. Devan liat mama lagi duduk sendirian. Kasian ma. Tidak ada yang menemani mama sekali. Terus Devan menghampiri mama. Tapi mama lupain Devan." Ucap Devan panjang lebar.
Nathan mengernyit heran mendengar perkataan anaknya. Ia menatap sendu sang anak. Sudah dua tahun berlalu, namun anak semata wayangnya belum bisa melupakan kepergian sang mama.
"Lupain mama ya sayang. Pasti Devan capek sampai ngomong ngelantur seperti ini." Ucap Nathan lembut.
"Enggak pa. Devan nggak ngelantur. Devan beneran ketemu sama mama. Kenapa papa nggak percaya sama Devan. Apa papa yang ngelarang mama biar nggak pulang? Pantes aja papa selalu bilang kalau mama pergi jauh sekali. Faktanya mama ada disini papa! Papa jangan bohongin Devan!" Ucap Devan tanpa sadar meninggikan suaranya.
"DEVAN! Papa sudah bilang jangan bahas mama. Mama udah pergi! Jangan mengharapkan sesuatu yang tidak akan terjadi." Marah Nathan pada Devan.
Devan menatap sang papa dengan mata berkaca-kaca. Ini pertama kali papanya membentaknya seperti ini. Sosok papanya yang lemah lembut dan bijak kini menjadi sosok monster yang menyeramkan hanya karena ia menyinggung tentang mamanya. Devan kesal bercampur sedih, seharusnya papanya orang pertama yang percaya segala ucapannya.
"Papa kok bentak-bentak Devan. Emang salah kalau Devan ngomongin soal mama. Devan nggak bohong soal mama pa."
"Devan maaafin papa ya sayang. Papa nggak bermaksud bentak kamu. Papa cuma capek, makanya papa tersulut emosi. Sekarang Devan tidur ya, pasti kamu capek. Papa juga capek, mau istirahat."
"Maaf ya pa. Devan udah bikin papa marah."
"Nggak sayang. Kamu nggak salah. Papa yang salah. Sekarang kamu tidur yaa.."
"Iya pa."
Devan meletakkan robot mainnya kemudian meninggalkan Nathan. Bergegas untuk melakukan apa yang Nathan katakan padanya. Ia tak mau jika papanya kembali memarahinya akibat jadi anak pembangkang.
Nathan menatap sang kepergian anak sedih. Ia mengadahkan kepalanya, berusaha menahan air matanya yang akan keluar dari pelupuk matanya. Ia memegang dadanya erat. Mengapa rasanya sesak sekali melihat sang anak selalu mencari mamanya? Dua tahun telah berlalu semenjak kepergian sang istri, akan tetapi anaknya dan ia sendiri belum bisa menerima kepergiannya. Namun, sebagai seorang ayah. Ia harus terlihat kuat di depan anaknya. Ia tak mau ikut terpuruk seperti anaknya. Itu akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anaknya.
Ia menerawang ke belakang. Dulu keluarga kecilnya selalu merasakan sebuah kebahagiaan. Emilia, mendiang sang istri selalu mejadi cahaya di keluarga kecilnya. Rumahnya akan menjadi gelap tanpa kehadiran Emilia. Emilia bagaikan malaikat yang dititipkan oleh Tuhan kepadanya. Ia begitu cantik dan memiliki sifat yang begitu baik. Emilia merupakan sosok sempurna menjadi sosok istri dan ibu. Ia tak pernah membantah perkataannya. Selalu bertutur kata lembut dan selalu memahami perasaannya. Ia menjadi penopang ketika ia terjatuh dan menjadi pelipur ketika ia merasa lelah. Emilia juga merupakan sosok yang sempurna menjadi seorang ibu. Ia selalu memberikan kasih sayang yang begitu berlimpah kepada Devan. Ia tak pernah membentak dan memarahi Devan. Jika Devan berbuat sebuah kesalahan, ia akan menghampirinya kemudian mengucapkan kalimat-kalimat nasihat yang membuat Devan paham.
"Emilia. Kenapa sesulit ini hidup tanpa kamu? Kami kesulitan hidup tanpa kamu. Aku nggak tega melihat anak kita selalu menangis karena merindukanmu. Hatiku juga kosong Emilia. Do'akan aku agar aku bisa menjaga Devan seperti yang kamu katakan padaku." Ucap Nathan dalam hati.
Clara kembali menyusuri jalan tak tentu arah. Tak tahu kenapa, fikirannya terfokuskan pada anak yang baru saja menghampirinya. Clara mendesah pelan. Tak seharusnya ia memikirkan itu. Mungkin anak itu begitu merindukan ibunya sampai ia mengira orang lagi itu adalah ibunya.SYAASSH Clara mendelik kesal mengetahui mobil yang baru saja melewati sebuah genangan di sampingnya hingga membuat air menciprat membasahi bajunya. Mobil itu berhenti di depannya. Clara segera menghampiri pengemudi mobil itu, berniat memarahinya. Barangkali ia bisa dimintai pertanggung jawaban. Sehingga ia bisa mendapatkan sedikit pundi-pundi uang untuk dia makan. Clara mengetuk kaca mobil itu kasar. Ia terus mengeluarkan kata umpatan dan cacian. Sang pengemudi mulai merasa jengah mendengar umpatan yang terus keluar dari mulut Clara. Akhirnya ia membuka kaca pintu
Clara mendudukkan bokongnya pada sofa empuk milik Alvin. Rasanya begitu nyaman, setelah ia berhari-hari hidup di jalanan tanpa merasakan bagaimana nyamannya duduk di sofa. Clara menghela nafas. Jujur, tubuhnya lelah sekali. Sebagai anak yang awalnya dimanjakan oleh orang tua, Clara benar-benar kesulitan jika harus hidup sendiri tanpa kedua orang tuanya. Alvin mengamati Clara yang terlihat kelelahan. Ia heran, memangnya apa saja yang telah dilakukan gadis itu sampai gadis itu terlihat begitu kelelahan. Setahu dia, dulu ia sangat dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Namun, ia tak tahu apa yang telah terjadi setelah kedua orang tua Clara meninggal dunia akibat kecelakaan tragis pada malam itu. Ia jadi tak tega melihat Clara yang awalannya merupakan gadis ceria yang menyalurkan sebuah kebahagiaan bagi siapapun yang menatapnya. Alvin penas
Nathan kembali memikirkan apa yang dikatakan oleh Devan. Apa yang dikatakan Devan memang benar. Ia kurang memerhatikan anaknya, walaupun ia sudah berusaha memberikan seluruh kasih sayangnya untuk sang anak. Ia menyesali segalanya. Mengapa Devan baru mengatakannya sekarang? Jika anak itu mengatakan dari dulu, mungkin ia akan memberikan perhatian lebih. Ia kira yang telah ia berikan kepada Devan sudah cukup, nyatanya tidak. Nathan menghembuskan nafasnya lelah. Menjadi single parent bukanlah hal yang mudah. Ia harus menjadi seorang ibu sekaligus ayah bagi Devan. Walaupun ia dibantu oleh bi Inah, tetap saja tanggung jawab sang anak dipikul olehnya. Dimas, ayah Nathan,menatap sang anak khawatir. Ia tampak memikirkan sesuatu. Terlihat jelas dari wajahnya yang menunjukkan raut frustasi."Nathan? Kau ada m
Clara masih kebingungan. Ia tak tahu harus bertindak bagaimana. Devan datang secara tiba-tiba. Ia bahkan belum mengeluarkan suara apapun walaupun Devan terus memberikannya pertanyaan."Mama kok diam aja? Mama marah sama Devan?" Tanya Devan."Aduh, adek. Kakak bukan mama kamu. Mungkin kamu salah orang. Maaf ya dek." Jawab Clara sembari memelankan suaranya."Enggak. Kamu mamanya Devan. Mama jangan bohongin Devan! Cukup papa aja! Devan nggak mau kalau terus dibohongin.""Adek ganteng. Sekali lagi, kakak minta maaf. Kakak bukan mama kamu." Devan hanya mencebikkan bibirnya. Matanya sudah berkaca-kaca, pertanda ingin menangis. Ia sudah bersungut-sungut, matanya memerah, mulai meneteskan air matanya. Hati Devan sakit sekali, ternyata benar, mamanya melupakannya. Tak memperdulikan Devan lagi.
Nathan menunggu kedatangan Jovian datang lama sekali. Padahal, Nathan baru menunggu lima belas menit. Tapi, Nathan merasakan bahwa Jovian datang begitu lama. Selang beberapa lama Jovian masuk ke rumah Nathan dengan terburu-buru. Ia masih belum mengganti pakaiannya. Nathan yakin jika sang sekretaris belum sempat memasuki rumahnya."Ada apa pak? Kenapa bapak panggil saya?" Tanya Jovian penasaran."Perusahaan memiliki banyak sekali masalah dan kamu tidak tahu?""Masalah? Saya sebelum pulang, saya tak menemukan masalah sedikitpun pak. Bahkan saya mengecek beberapa karyawan, mereka bekerja dengan baik.""Bekerja dengan baik? Kamu yakin itu? Baik apanya! Bagaimana mungkin kita tidak menyadari bahwa ada tikus berdasi di perusahaan kita?""Tikus berdasi? Maksud Anda tikus? Tapi tidak mungkin perusaha
Ini hari kedua Clara bekerja. Ia harus membiasakan diri ia bisa membantu Audrey dengan maksimal. Ia harus membalas semua kebaikan yang telah Alvin dan Audrey lakukan kepadanya."Clara, bisakah kamu mengantarkan makanan ke alamat ini? Aku ada clien hari ini. Jadi aku tidak bisa mengantarnya." Ucap Audrey merasa bersalah."Baik, aku bisa. Hitung-hitung menambah pengalaman. Sepertinya aku sudah mulai menghafal tempat disini. Hehe.""Kamu memang gadis yang bisa diandalkan." *** Clara menyusuri jalanan dengan mengayuh sepedanya. Ia menikmati hari yang masih pagi. Jalanan kota masih terasa lelang, mungkin karena masih terlalu pagi. Udara disini belum terlalu berpolusi. Clara jadi ingin menghirup dengan rakus
Devan menatap temannya dengan raut wajah sedih. Ia melihat temannya sedang dijemput oleh mamanya. Temannya tampak begitu bahagia. Devan jadi ingin merasakannya. Ia belum pernah dijemput oleh mamanya. Mamanya meninggalkan Devan ketika ia masih berusia tiga tahun, sebelum Devan memasuki taman kanak-kanak. Devan melihat bi Inah yang menatapnya dengan mata sayu. Seandainya bi Inah adalah mamanya. Pasti Devan akan merasa sangat bahagia. Tapi, Devan harus segera bangun dari mimpinya. Devan harus menjalani kehidupan yang nyata. Bukan sebuah bayangan saja. Devan menyipitkan bola matanya pelan. Ia melihat sosok sangayah yang menunggu kedatangannya. Tak biasanya sang ayah sampai menyempatkan diri seperti ini. Apa perkataannya kemarin membuat fikiran sang ayah berbeda? Entahlah. Yang penting, hati Devan begitu bahagia hari ini. T
Devan telah diam. Mungkin terlalu lelah karena banyak berbicara. Ia juga merutuki dirinya sendiri karena ia tak bisa bercerita yang bisa membuat mamanya terlihat senang. Ia menolehkan kepalanya keluar, melihat kendaraan yang berlalu lalang melintasi jalan raya. Seperti mobil milik ayahnya. Dengan hati berbunga-bunga. Devan melihat tangan kecilnya yang masih menggenggam tangan sang mama. Ia tak menyangka bahwa mama sedekat ini dengannya. Ia berharap ia bisa terus bersama dengan mamanya."Pa, mama ikut kita pulang ya? Aku mau sama mama terus." Ucap Devan kepada Nathan."Jangan sekarang ya sayang." Jawab Nathan lembut. Clara hanya tersenyum canggung. Apa-apaan anak ini? Mengapa ia dengan seenaknya menyuruh ia agar pulang bersama. Hei. Mereka hanya orang asing yang tidak sengaja bertemu.