Clara merebahkan tubuhnya sendiri di ranjang empuknya. Ia mengingat-ingat apa saja yang keluar dari mulut Nathan. Ia seperti memiliki sosok kakak yang bijaksana dan pekerja keras. Namun, dibanding terlihat sebagai seorang kakak, Nathan lebih terlihat sebagai sosok pendamping yang selalu mengerti akan pasangannya.
Clara menatap Devan yang masih tertidur lelap. Ia ingat saat Devan menceritakan semuanya. Tentang Devan yang sudah mengetahui tentang kepergian ibunya sampai Nathan yang terus menerus membohongi Devan akan fakta yang sebenarnya. Clara berfikir, ternyata Nathan memiliki masalah yang bisa dibilang cukup rumit.
Entahlah. Clara tidak mau pusing-pusing memikirkannya. Memikirkan hidupnya saja telah membuat kepalanya pening, apalagi ditambah memikirkan orang lain. Clara yakin, pasti kepalanya akan pening tujuh keliling. Clara jadi ingat tentang Alvin
Nathan baru saja terbangun dari lelapnya. Ia melirik jam di nakas tempat tidurnya. Pukul enam pagi. Sepertinya ia harus cepat. Ia terlambat bangun kali ini. Mungkin karena tidur terlalu malam. Nathan harus membersihkan diri, ia belum menyiapkan semua keperluan Devan. Sesibuk apapun, Nathan selalu menyiapkan segala keperluan Devan. Walaupun ada Bi Inah, Nathan ingin selalu menjadi yang pertama untuk Nathan. Ia melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Tidak lupa, ia membawa handuk kesayangannya. Bersiap untuk mandi. Nathan bergedik sejenak saat air dingin mengaliri tubuhnya. Ia menyesal karena lupa menyalakan air hangat pada showernya. Cuaca pagi ini begitu dingin. Walaupun malam tadi begitu cerah, namun pagi ini sepertinya akan berbalikan. Nathan belum melihat matahari muncul dari permukaannya. Matahari itu terlihat malu-malu untuk muncul ke per
Devan mengelus perutnya pelan. Ia kenyang sekali. Ia makan terlalu banyak pagi ini. Ia jadi khawatir, jika ia akan mengantuk di kelas nanti. Tidak apa, jika mengantuk Devan hanya perlu membasuh wajah bukan. Tidak mungkin jika ia dimarahi ibu guru hanya karena menahan kantuk. Nathan pun sama. Tak biasanya ia makan sebanyak ini. Biasanya ia makan seperlunya saja. Tidak sampai merasakan kenyang. Entah kenapa, saat melihat Devan makan terlalu lahap membuat nafsu makannya ikut naik."Selesai. Papa ayo berangkat. Devan mau berangkat pagi. Devan piket hari ini. Devan tidak mau membuat Lala menunggu." Ucap Devan semangat."Piket? Tidak biasanya kamu melaksanakan piket." Tanya Nathan."Itu karena Devan selalu berangkat terlambat. Jadi, Devan tidak pernah piket. Devan jadi kasian dengan Lala. Devan harus meminta maaf.""Bai
Edgar menghembuskan asap rokoknya. Ia tidak perduli jika petikan api mengenai ranjang mewahnya. Ia melirik seorang wanita yang masih dalam posisi telanjang di sampingnya. Mereka baru saja melewati malam panas yang begitu menggairahkan. Edgar merupakan pria rakus akan segalanya. Ia rakus akan harta dan juga wanita. Bahkan, ia tak segan untuk melakukan apapun agar membuatnya cepat kaya. Walaupun seburuk apapun itu. Yang penting semua keinginannya tercapai. Ia tidak perduli cara yang dilakukan olehnya. Ia hanya perduli terhadap hasil yang telah diperoleh. Selain suka sekali dengan karta. Edgar juga haus dengan wanita. Tak jarang ia harus menyewa wanita mahal hanya untuk menuntaskan hasratnya. Terkadang, ia bermain bersama dengan dua atau tiga wanita sekaligus. Bejat bukan? Itulah Edgar. Edgar kesal. Setelah beberapa hari, perusahaan miliknya tak kunjung memb
Devan senang sekali pagi ini. Selain tidur bersama Mama tadi malam, ia juga disiapkan segalanya oleh Mama. Jika setiap hari seperti ini, pasti Devan akan senang sekali. Ia akan terus tersenyum sepanjang hari. Raka, teman Devan mengernyit heran. Tidak biasanya, Devan seceria ini. Memang Devan merupakan anak yang ceria,namun kali ini ia terlihat lebih bersemangat. Bahkan, Devan terus saja menyunggingkan senyumannya saat bertemu dengan teman-temannya. Melihat tingkah Devan yang tidak seperti biasanya membuat Raka semakin penasaran. Kaki kecilnya berjalan mendekati Devan. Ia menyentuh bahu Devan, sedangkan yang disentuh berjengit kaget saat merasakan seseorang menyentuh bahunya. Devan melirik tidak suka saat menyadari siapa si pelaku. Raka adalah anak yang suka sekali mencari masalah dengan Devan."Kamu kenapa kagetin aku?" Tanya Devan."Aku nggak berniat buat ngage
Clara memasuki rumah dengan menggendong Devan. Entah kenapa Devan jadi manja sekali. Clara tidak menyangka jika ia menjadi seorang ibu di usianya yang masih sangat muda. Walaupun bukan sebagai seorang ibu dalam artian yang sebenarnya, tetap saja Clara masih tidak menyangka. Dimas yang melihat Clara sedikit kesusahan sedikit jadi merasa bersalah. Devan adalah cucu kandungnya sendiri. Seharusnya ia sendiri yang menjemput Devan , bukan orang lain yang bahkan bersama mereka selama kurang dari satu minggu. Dimas jadi merutuki dirinya sendiri yang terlalu pulas jika tertidur. "Devan kamu sudah pulang,Nak? Maaf kakek tidak sempat menjemputmu. Kakek menyesal sekali." Ucap sang kakek. "Memangnya Kakek sering menjemput Devan? Tidak tuh. Kakek pernah menjemput Devan satu kali saja selama Devan sekolah. Kakek selalu beralasan tidak sempat. Padahal, kakek selalu tidur dari pagi sa
Clara menghela nafas pelan. Kejadian tadi benar-benar membuatnya senam jantung. Ia tidak bisa berlama-lama dengan Nathan. Ia bisa mati mendadak karena terkena serangan jantung. Ia tidak mau itu terjadi. Untung saja, ia cepat-cepat bisa pergi dari Nathan. Ia bisa mencari alasan yang tepat untuk menjauh dari Nathan. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kalau ia masih berada di dekat Nathan. Pasti tubuhnya sudah membiru karena mati. Clara mengelus dadanya pelan. Berusahalah menetralkan detak jantungnya yang terlalu cepat. Ia bisa saja terserang penyakit jantung jika sering bersama Nathan. Daripada memikirkan itu, lebih baik ia memikirkan hal lain. Ini tidak baik untuk kesehatan jiwa dan raganya. Ia harus melakukan sesuatu yang bisa membuat fikirannya teralih dari Nathan. Sepertinya membuka sosial medianya yang sudah lama dibuka adalah hal yang bagus. Ia su
Wilda segera bersiap menemui Edgar. Ia sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menemuinya. Walaupun tidak seperti saat ia menemui Nathan. Tapi, setidaknya ia sudah menyiapkannya sebaik mungkin. Ia tetap terlihat cantik walaupun tanpa melakukan perawatan sedikitpun. Terimakasih kepada make up karena telah menyelamatkan wajahnya. Ia harus mensyukuri karena ia terlahir jadi wanita wanita cantik. Jika ia tidak cantik, apa yang bisa diandalkan? Sepertinya tidak ada. Ia menunggu kedatangan Edgar yang telah berjanji akan menjemputnya. Ia sungguh tak sabaran untuk menunggu lebih lama lagi. Pasalnya, ia telah menunggu lebih dari setengah jam. Wilda heran, kenapa Edgar lama sekali? Apakah ia menyelesaikan urusannya terlebih dahulu? Jika iya, seharusnya ia membatalkan saja perjanjian mereka. Sudah ia katakan , bahwa ia malas sekali menunggu. Wilda berulang kali
Clara kembali mengurus cafenya. Ia mengambil alih semua tugas Audrey. Dengan percaya diri, Clara melakukannya dengan sepenuh hati. Ia yakin bahwa ia bisa melakukanna. Walaupun tidak berbekal pengalaman sedikitpun, Clara bisa mengurus semuanya dengan baik. Hampir sama seperti Audrey. Clara mengatur jadwalnya sendiri. Dan merombak hampir semua yang sebelumnya kurang memuaskan. Dari tukang masak, barista, hingga pelayan. Sesuai izin Audrey tentunya. Ia tidak mungkin melakukan hal itu tanpa persetujuan Audrey. Ia terlalu takut jika Audrey akan marah besar jika ia bertindak tanpa pemberitahuannya. Ia masih sayang telingamu. Jika Audrey marah, ia akan menutup telinganya saat itu juga. Suara Audrey begitu menggelegar hingga ia malas untuk mendeskripsikannya. Clara mengelap keringatnya yang mulai menetes dari pelipisnya. Clara merasa begitu sehat saat beker