Nathan menyeruput kopinya pelan. Ia menikmati rasa pahit yang membekas di lidahnya. Mungkin kopi ini layaknya kehidupan yang sedang di alaminya saat ini. Hitam dan pahit. Namun, ia masih merasakan manis walaupun sedikit. Tidak apa, setidaknya hidupnya tidak seperti kopi hitam tanpa gula. Terlalu pahit.
Terkadang Nathan merutuki dirinya sendiri yang kurang bersyukur. Namun, mau bagaimana lagi? Kepergian Emilia benar-benar membuat hatinya hancur dan kehidupannya berubah total. Ternyata pengaruh Emilia begitu besar bagi kehidupannya.
Nathan mengusap potret Emilia, namun potret itu tiba-tiba saja berubah seperti potret Clara. Nathan menggelengkan kepalanya pelan. Kenapa ia bisa seperti ini? Apakah hatinya telah benar-benar berpaling sekarang? Ia tidak mau itu terjadi. Ia sudah berjanji apada dirinya sendiri bahwa tidak akan ada seorang pun yang bisa menggantikan
Alvin menyelesaikan semua pekerjaannya dengan tergesa. Ia harus segera menemui sang istri. Walaupun ibunya mengatakan bahwa istrinya baik-baik saja. Tetap saja hatinya begitu cemas. Ingin mengetahui kondisi sang istri. Alvin menumpuk pekerjaannya asal. Ia sempat menitipkan pada orang kepercayaannua untuk merapikan semua dokumen itu sesuai tempatnya masing-masing. Ia sedikit berlari agar segera sampai ke mobilnya. Alvin mengendarai mobilnya dengan denga kecepatan penuh. Ia tidak memperdulikan teriakan-teriakan yang terus memperingatinya agar berhati-hati. Namun, hal itu tampak seperti angin lewat saja. Alvin tidak memperdulikannya sama sekali. Fikirannya terus menuju ke sang istri. Alvin bisa bernafas lega saat ia mulai dekat dengan rumahnya. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan istrinya. &nbs
Clara dan Rafa menyelusuri lorong dengan terus melontarkan canda tawa. Mereka bahkan tidak memperhatikan sekelilingnya yang menatap mereka aneh. Mereka terlalu ribut untuk ukuran dua orang yang saling melemparkan candaan. Bahkan, suara mereka berdua sampai memenuhi lorong kampusnya. Saking ributnya."Hei. Kamu tahu, aku dulu pernah menyukaimu? Aku yakin jika kamu tidak percaya tentang ini. Bagaimana bisa aku menyukai gadis cerewet tanpa bakat sepertimu? Aku bahkan tidak percaya semua ini." Ucap Rafa disertai dengan kekehan."Apa katamu. Aku sih percaya-percaya saja jika kamu pernah menyukaiku. Aku ini gadis yang penuh pesona. Jadi wajar, jika banyak laki-laki yang menyykaiku. Tunggu, apa katamu? Aku tidak memiliki bakat? Sepertinya kamu harus menarik kata-kata mu mulai dari sekarang. Karena aku bukan gadis yang seperti itu. Aku terlahir sebagai gadis yang penuh bakat." Ucap Clara sembari terus menyombongkan diri.
Devan menyambut kedatangan Nathan dan Clara dengan senyuman lebar. Ia kembali lebih awal bersama dengan kakeknya. Setelah menyindir habis-habisan sang kakek waktu itu kakeknya menjadi rajin sekali menjemput Devan. Sang kakek merasa bersalah karena kurang memberikan perhatian untuk Devan. Devan merentangkan tangannya. Gestur minta dipeluk. Tidak tahu kenapa, Devan begitu merindukan mereka. Padahal mereka bertemu tadi pagi. Bukankah hanya beberapa jama yang lalu? Clara dan Nathan menyambut pelukan Devan. Mereka tersenyum lebar saat melihat tingkah Devan yang begitu menggemaskan."Devan merindukan kami,huh? Padahal kita tidak bertemu hanya kurang dari sepuluh jam." Ucap Clara sembari terkekeh."Tentu saja. Bahkan Devan merindukan kalian setiap detiknya. Jangankah sepuluh jam, satu menit pun aku selalu merindukan kalian. Ah iya, tadi aku pulang bersama kakek. Kalian tidak
Audrey baru saja bangun dari tidurnya. Ia merasa ada tangan yang memeluknya erat. Ia membalikkan tubuhnya cepat. Ia terlalu penasaran dengan sosok yang berada di belakangnya. Audrey tersenyum lebar saat melihat Alvin berada di depannya. Pra itu tidur lelap sekali. Audrey yakin bahwa sang suami telah kelelahan karena bekerja terlalu berat. Audrey mengelus pipi Alvin pelan. Pria di depannya ini adalah pria yang paling ia cintai. Alvin datang saat ia sedang terpuruk. Ia juga menjadi cahaya saat ia sedang redup. Tidur Alvin sedikit terganggu. Sesekali ia melenguh pelan. Ia merasakan sebuah tangan pembuatan membelau pipinya. Alvin membuka matanya pelan. Samar-samar, Alvin melihat Audrey tengah tersenyum kepadanya."Kamu terbangun? Maafkan aku." Ucap Audrey lembut."Tidak apa. Aku tidak masalah kamu melakukan apapun kepadaku. Aku bahkan s
Nathan menghembuskan nafasnya lelah. Ia menyesali dirinya sendiri yang tidak bisa mengontrol emosinya sedikitpun. Ia merasa seperti remaja yang baru saja jatuh cinta. Ia butuh seseorang yang bisa menenangkan hatinya. Apakah menceritakan semuanya kepaea sang ayah merupakan pilihan yang tepat? Nathan ragu. Pasti sang ayah akan menceritakan semuanya kepada Clara. Nathan mengotak-ngatik ponselnya bosan. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Biasanya ia sangat bersemangat bekerja. Tapi kali ini, ia tidak memiliki semangat sedikitpun. Bayangan antara Clara dan Rqfa terus saja menghantui fikirannya. Ia tidak menyangka, jika pengaruh Clara begitu berpengaruh dalam hidupnya. Jovian. Tiba-tiba saja, Nathan mengingat pria itu. Ia yakin Jovian bisa memberikannya solusi. Setahunya, Jovian merupakan sosok yang cukup lihai dalam percintaan. Walaupun ia tampak bodoh, namun terkadang
Clara terbangun dari lelapnya saat mendengar suara mobil baru saja memasuki garasi. Clara penasaran, siapa yang malam-malam datang ke rumahnya? Atau salah satu keluarga Nathan? Seingatnya, seluruh anggota keluarga Nathan telah berada di kediamannya. Clara memutuskan untuk segera bangkit. Ia takut jika itu adalah orang yang tidak diingkan. Siapa tahu dia adalah perampok. Namun, ia ragu untuk menemuinya. Bagaimana jika dugaannya benar? Persetan jika itu perampok, lagipula ia tidak memiliki siapa-siapa sekarang. Jika Clara mati, tidak akan ada seorang pun yang terlalu berduka bukan? Clara melangkahkan kakinya pelan. Hatinya terus memanjatkan do'a. Semoga fikiran buruknya tidak akan terjadi. Walaupun tidak ada yang berduka akan kehilangannya, tetap saja Clara ingin menjalani hari tuanya. Clara sege
Nathan menatap kepergian Clara. Ia telah sampai di depan Universitas Clara. Ia menatap Clara yang sudah berjalan menjauh. Gadis itu sempat melambaikan tangannya pada Nathan. Nathan membalas lambaian tangan Clara hanya dengan senyum tipis. Setelah itu, Nathan melihat Clara yang langsung di gandeng oleh Rafa. Melihat itu membuat Nathan langsung meradang. Haruskah ia mengurung Clara saja di rumahnya? Tapi, memangnya siapa dia, sampai ia harus melakukan hal itu? Nathan hanyalah pria pengecut yang tidak bisa mengungkapkan perasaannya sendiri. Nathan menghela nafas pelan. Jika bisa, ia ingin melepaskan kedua tangan itu agar tidak saling bertautan. Kenapa Clara tak peka sama sekali, bukankah ia telah menyatakan bahwa ia tidak menyukai kedekatan antara Clara dan Rafa. Tapi kenapa Clara tetap melakukannya? Apakah semua ucapannya kurang jelas kemarin? Atau, memang dia yang kurang jelas saat mengatakannya.&nbs
Devan memperhatikan guru dengan seksama. Ia harus faham dengan apa yang di jelaskan oleh sang guru. Ia harus mendapatkan nilai terbaik saat ujian nanti. Mungkin dengan memerhatikan sang guru dengan seksama, ia bisa mendapatkan hasil yang memuaskan. Namun, di tengah pelajaran mata Devan seperti di tarik ke bawah. Ia mengantuk sekali, sesekali ia menguap kemudian ia tutup dengan kedua tangan kecilnya. Guru di depan menjelaskannya lembut sekali, sampai membuat Devan merasa mengantuk. Sesekali Devan menggelengkan kepalanya ribut guna mengusir rasa kantuk yang menyerangnya."Bu, maaf. Devan meminta izin untuk membasuh wajah. Devan mengantuk sekali." Ucap Devan dengan suara kecil, ia malu mengakui bahwa ia sedang mengantuk."Devan mengantuk? Baiklah. Tapi jangan terlalu lama ya. Ibu tunggu." Jawab sang guru."Baik, Bu." &nbs