Di sebuah ranjang empuk. Danilla tidak sadarkan diri, setelah melihat sebuah garis biru pada alat tes kehamilannya. Ia merasa sangat terkejut. Padahal seingatnya dia belum pernah melakukan hal itu. Ia berjanji hanya melakukannya setelah menikah.
“Apa aku hamil? Ini nggak mungkin. Pasti alat testpack nya sudah kadaluwarsa. Ini terjadi kesalahan,” Danilla berpikir keras, ketika itu sebelum dia benar-benar terlihat semu. Ia pun jatuh pingsan.
Dokter Anita sudah memeriksa Danilla yang kondisinya baik-baik saja.
“Pak Kiano tolong dijaga istrinya. Karena, kehamilan muda rawan untuk keguguran.”
“Iya, Dok.”
&nb
Mungkinkah Danilla mampu menerima kenyataan, kalau dia benar-benar hamil anak dari mantan bosnya? Jawabannya ada di next episode. Update tiap hari.
Danilla masih merasa terkejut, apalagi ia dinyatakan hamil. Ia juga dia ajak menikah dengan bosnya. Tapi, ia menolaknya. “Kita harus menikah besok!” “Mau nggak mau kamu harus menikah dengan saya! Karena, itu calon anak saya ada di rahim kamu.” Semua kata-kata yang diucapkan oleh Kiano menari-nari dalam ingatannya. Ia pun merasakan kalau mantan bosnya itu keterlaluan. Sepanjang perjalanan Danilla merasa diikuti oleh seseorang. Saat dia menengok, tapi tidak ada satu pun. Sepanjang jalan suasana malam terasa sangat dingin dan mencekam. Ia pun mendengar suara-suara yang mampu menaikan bulu kuduknya.&n
“Ke mana Danilla?Kenapa orang suruhan bos Kiano meminta dibawa semua seluruh perlengkapan milik Danilla?” Karen mulai berpikir dalam kepalanya hingga dia mondar-mandir tidak jelas di kamar kos an. Ia pun ingin mencari di mana Danilla dibawa oleh bosnya. “Apa aku akan menanyakan masalah Danilla ke Pak Kiano besok di kantor?” pikir Karen sekali lagi. Karena, bagaimana pun juga mereka adalah sahabat. Karen pun duduk di sebuah ranjangnya, lalu ia pun menyalakan televisi. “Sepi juga nggak ada yang diajak ribut,” batinnya. Channel sudah Karen ganti berulang kali. Ia merasa dalam sebuah kebosanan. Ia hanya bisa berdoa dan ber
Di Rumah keluarga Rayn, terlihat wajah gelisah Vira. Ia merasa kalau akan terjadi sesuatu dalam rumah tangganya. Padahal impiannya hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Ia tidak peduli harus hidup bersama pria yang selalu menganggap dia tidak pernah ada. “Sampai kapanpun aku akan mencintaimu, Mas,” lirih Vira menatap sendu setiap sudut ruangan. Ia hanya mampu menatap sepiring nasi yang ada di atas meja. Sudah hampir seminggu kabar Kiano tidak ada sama sekali. “Menunggumu adalah hal yang biasa untukku, Mas. Meskipun, seminggu aku akan bertahan dan lakukan. Bagiku, kamu adalah suami yang ku rindukan.” Di meja makan Vira pun terlihat hatinya cukup gelisah. Ia tidak sadar kalau kedua mertuanya sedang memperhatikannya yang sedang melamun.
Pov Kiano. Sepulang dari kantor. Aku mampir dahulu ke rumah utama, agar tidak ada yang mencurigai tentang apa yang terjadi. Aku tidak ingin sepupuku yang kurang kerjaan bakalan memata-mataiku sesuai dengan perintah papa dan mama. Apalagi dengan Vira yang selalu sajaa mencari perhatian. Hal itu membuatku sungguh muak. Aku menikahinya bukan karena cinta, tapi itu semua atas kemauan papa dan mamaku. Bodohnya aku mengiyakan pernikahan tanpa cinta yang tidak akan mungkin berhasil. Lima tahun pernikahan hanya ada jarak antara aku dengan Vira. Dia berusaha membuatku jatuh cinta ke dalam pelukannya. Tapi, itu nggak akan mungkin berhasil. Bagiku dia hanyalah seekor kecoak. “Mas?” panggil dia yang memakai lingerie serba terawang yang bermaksud
Pernikahan itu berjalan dengan lancar. Terlihat beberapa tamu undangan menikmati makanan yang telah disediakan oleh Kiano. Memang hanya beberapa orang saja, tapi pernikahan itu berjalan lancar. Setelah semua tamu undangan sudah pulang semua. “Ingat saya nggak mau sekamar dengan bapak! No Sex!” Danilla memperingatkan dengan nada jutek. Ia pun melotot ke Kiano. “Meskipun, kamu adalah suami saya!” “Ya,” singkat Kiano dengan nada dingin. “Sial! Cuman ‘Ya’ doang! Apa lidahnya sudah tertelan? Atau dia emang manusia es! Eh lebih tepatnya zombie dalam jiwa manusia,” Danilla mengucap dalam hat
“La, apa kamu sudah selesai?” tanya Danilla.“Saya sudah siap Pak!” balas Danilla dengan anggukan.“Danilla, kamu sebaiknya jangan panggil saya, Pak. Emangnya saya bapak kamu?!” protes Kiano.Danilla pun nyengir,”Ya, enggak bisalah. Bapak itu lebih tua dari saya. Mana mungkin saya memanggil dengan sebutan selain, Pak?”“Panggil saya dengan sebutan mas saja. Lagian kita sudah menikah.”“Iya, tapi cuman sementara dan nggak akan menjadi selamanya,” ralat Danilla.“Baiklah, terserah kamu saja,” ujar Kiano dengan nada datar.“Pak, saya sudah lapar banget! Sepertinya anak bapak ini pengen cepet-cepet makan seblak di Bandung,” Danilla mengedip-kedipkan kedua matanya sambil mengusap-usap perutnya yang masih rata.“Okay, kita ke Bandung,” kata Kiano dengan ekspresi sangat datar sekali.
Cuaca kota Bandung begitu dingin. Bahkan sangat sepi dan sunyi. Akbar pun tetap melakukan perjalanan dari Bandung ke Jakarta. Ia pun menengok ke sebuah tempat, lalu ia mendapati sebuah mobil yang berhenti di tepi jalan. Di sana terlihat perkelahian.“Sepertinya dia butuh bantuan. Kasihan kalau harus melawan sendirian,” gumam Akbar yang memutarkan mobilnya dahulu. “Sepertinya aku mengenal nomor plat mobil itu? Tapi, di mana ya?”Akbar pun mulai menuju ke sana, lalu ia menepikan mobil sedan hitamnya. Ia pun keluar dan langsung melakukan sebuah tendangan bebas ke beberapa preman. Kebetulan Akbar dulu pernah mengikuti muangthai sewaktu masih duduk di bangku kuliah. Ia pun mulai melakukan ancang-ancang.“Kamu?” pekik mereka bersamaan.“Udah, kita sekarang nggak ada waktu untuk berdebat. Sebaiknya kita kerjasama melawan mereka,” ucap Akbar sedikit mengumam. Ia hanya ingin membuat beberapa preman itu menyerah.Kiano dan Akbar saling memungung
Selama perjalanan pulang Danilla makin asyik mengobrol dengan Akbar. Kiano menatap tajam dari spion kaca mobil. Wajah Kiano terlihat begitu garang. Dia mulai mengerutkan kedua alisnya. Dia mulai mengertakkan giginya. “Bapak kenapa ngelihatin kita sampai segitunya?” tukas Danilla. “Nggak apa-apa,” jawab Kiano dengan mengembuskan napas berat. Ia mulai mengertakkan rahangnya yang kokoh. Ia berusaha menyembunyikan amarahnya. “Dia kenapa ya?” tanya Akbar sedikit berbisik. “Udah cuekin aja dia,” jawab Danilla dengan memutar bola matanya. Ia seolah enggan membahas pria yang sedang duduk sendiri di bangku belakang. “Kita memang sah sebagai s