Tangan Maddox masih mengetik dengan cepat untuk membuat laporan sementara di dalam kamar tamu, rumah Tim. Sudah hampir sebulan ia tidak kembali ke apartemennya dan itu membuat Maddox geram. Begitu banyak hal yang ia lakukan demi Foxy, tapi wanita itu kini menjadi manusia yang paling ingin dia hindari. Maddox tidak bisa menerima, jika Foxy ternyata terlibat cukup serius dalam kemelut ini. Memang awal mula dulu Maddox mencurigai, namun seiring dia mengenal dan bersama-sama dengannya, pikiran itu berubah. Foxy tidak lebih dari seorang wanita yang terjebak oleh hutang budi. Dia terlanjur terjerumus ke dalam dunia gelap Josh tanpa memiliki kesempatan untuk menghindar. Antara khawatir ia akan menemui kenyataan yang lebih pahit lagi, Maddox membiarkan semua hal mengenai Foxy tersimpan dalam-dalam. Ia ingin menemui Jimmy kembali untuk menyelusuri di mana Russel berada. Di tengah dia berpikir tentang daftar pertanyaan untuk Jimmy, lintasan Foxy melintas. Maddox mengumpat pelan, atas rasa pe
Malam baru saja menyingkirkan sore. Maddox kembali dari tempat Jimmy dengan tampang kusut. Pamela menawari untuk makan malam, tapi pria itu justru membereskan semua pakaian dan berpamitan untuk kembali ke apartemennya. Tim yang baru saja selesai menelepon, mengernyitkan dahi dengan tatapan menyelidik. “Ada apa, Mad? Peter baru saja memberitahu jika Chris yang sekarang menjadi penjaga Foxy. Ada apa ini? Kenapa aku baru tahu? Aku adalah kapten kalian, tapi semua terjadi seperti di luar kendaliku!” Tim juga terdengar kecewa. Maddox menghela napas dengan raut yang masih muram, ada sesuatu yang menganjal dalam hatinya. “Kau harus tanya pada Peter dan Foxy sendiri. Aku tidak akan mencampuri lagi urusan tentang perlindungan saksi.” Maddox tidak sedikit pun menatap Tim. “Tapi kau bisa memberitahuku siang tadi, Mad!” tuntut kaptennya. “Sejak kapan aku menjadi siswa teladanmu, Tim? Bukan aku yang menyalahi dan mengubah aturan! Chris dan Peter, bosmu, yang mengacaukan segalanya!” pekik Mad
Apartemen yang baru saja ia sewa tersebut akan menjadi tempat tinggal sementara. Claire telah mengurus semuanya dan Foxy membutuhkan tempat baru untuk meninggalkan jejak dari semua orang yang mencoba mengejar dirinya saat ini. Entah itu Joe, bekas kekasihnya, Maddox, detektif yang cukup membuatnya menjadi pribadi yang berbeda, atau pihak yang mengincar dirinya demi sebuah informasi. Chris terdengar bersiul dari arah dapur. Foxy membetulkan posisi kakinya dengan gerakan hati-hati dan sangat pelan. Lukanya mulai sembuh, tapi dia tahu jika ini akan berlangsung bulanan untuk benar-benar pulih seperti semula. “Perawat akan datang sepuluh menit lagi dan semoga semua yang aku siapkan cukup.” Claire muncul dari kamar Foxy dengan selimut kecil di tangan. Dengan cekatan, sekretarisnya menyelimuti kaki Foxy yang sedang setengah berbaring di sofa. “Aku membenci siulannya,” bisik Foxy dengan ekspresi kesal, seraya melirik ke arah dapur. Claire tersenyum miring seperti mencibir. “Karena kau t
Maddox berhasil mendapatkan dukungan dari Tim untuk menggunakan helikopter demi menyelamatkan Daniel malam itu. Begitu pihak hotel memberikan persetujuan, Maddox mendarat di rooftop hotel bintang lima. Detektif itu menemui Daniel di kamar yang terlihat ketakutan. “Kau terluka!” seru Maddox. Pemuda itu menepis tangan Maddox yang mencoba memeriksa goresan di pipinya. “Bukan apa-apa. Dia berhasil menghantamku sedikit,” sahut Daniel. Maddox mengangguk dan segera mengajaknya untuk bergegas ke landasan heli malam itu juga. Keduanya segera meninggalkan Seattle menuju Las Vegas. Selama perjalanan, Daniel terlihat termenung dengan wajah tertekan. Maddox sangat iba padanya. Anak itu tidak seharusnya mengalami hal ini. Kehilangan orang tua saja sudah cukup berat dan kini harus menghadapi satu persatu musuh ayahnya yang terus mengejar. Jika saja Foxy menyingkirkan sedikit egonya, mungkin masalah ini tidak akan berlarut-larut. “Aku tidak ingin menemui Foxy!” seru Daniel saat mereka sampa
Pagi itu Pamela sudah terlihat sibuk mengatur halaman belakang, tempat biasa mereka berkumpul untuk mengadakan pesta barbekyu. Maddox melihat Daniel dan April sedang menata alat makan, sementara Apple mondar mandir membawa berbagai camilan. Dalam hati Maddox mengumpat, karena baru mengingat hari ini adalah ulang tahun Apple! Dia belum membeli kado untuk remaja kesayangannya tersebut. Tim sudah berangkat ke kantor dan dirinya harus segera menyusul untuk bertemu dengan Jean. Pamela terdengar berseru pada ketiga remaja untuk mulai menyiapkan bara dan kayu. Daniel terlihat benar-benar menikmati keberadaannya saat ini. Tadi malam, Maddox mengirimkan pesan pada Foxy dengan menyampaikan bahwa Daniel memilih untuk tinggal bersama keluarga Tim sementara waktu. Wanita itu paham akan keputusan Daniel yang masih menyimpan kekecewaan terhadapnya. Entah apa rencana berikut Maddox, tapi kali ini dia harus meminta bantuan Jean demi mendapatkan informasi mengenai Foxy dan juga Russel. “Jangan lup
Tim terlihat begitu tenang dan menguasai diri jauh lebih baik dibandingkan Maddox sendiri. Detektif itu berkali-kali menanyakan pada perawat jaga, sementara operasi sedang berlangsung. Apple terkena tembakan di perut dan pundaknya. Gadis itu mengalami masa kritis, karena peluru tersebut memecahkan lambungnya. April dan ibunya tidak berhenti menangis dan Daniel mulai cemas akan nasibnya. Jika pihak kepolisian yang kini sedang mencoba menguak pembunuhan orang tuanya saja dalam bahaya, apalagi dia? “Mereka tahu jika kau dan aku mencurigai sesuatu,” gumam Maddox pada Tim. “Bukti jejak digital Jean,” timpal Tim yang segera memahami maksud anak buahnya tersebut. “Kita harus mencari cara, supaya ini tidak akan mereka ketahui lagi, Tim.” Maddox menelan ludah dengan kalut. Kaptennya mengangguk dengan lesu. “Ini sebagai bukti kuat bahwa dugaanmu seratus persen benar,” balas Tim dengan lirih. Maddox menoleh dan melihat bahu Tim yang terkulai lemah. “Aku harus menyelamatkan keluargaku,
Joe masih dalam kebimbangan yang semakin sulit untuk ia putuskan. Bel kembali berdering dan makin terdengar tidak sabar. “Ayolah, Joe! Aku tahu kau melihatku!” teriak Maddox dari luar. Mendadak Joe merasakan kerinduan yang menghentak. Dari lubang itu ia melihat wajah Maddox dengan jelas. Terakhir kali ia memiliki kenangan indah adalah saat Maddox bayi dan ibunya membiarkan Joe memangkunya. “Er ist mein kleiner bruder, Mama!“ seru Joe atau Leroy kecil pada Merelyn. (Dia adalah adik laki-lakiku, Mama) “Ja, ist er,” sahut ibunya dengan senyum. Joe tampak bangga karena memiliki saudara laki-laki adalah impiannya. (Ya, betul). Magda yang hanya terpaut satu tahun dengan Joe terlihat iri, karena perhatian kakak sulungnya tertuju pada Maddox kecil. Bayangan yang kabur itu kini menyeruak serta menimbulkan keharuan yang mendalam. Dirinya baru berusia enam tahun dan tidak tahu apa yang harus diperbuat saat kedua orang tua mereka terbantai di depan mata. Satu-satunya yang Joe lakukan ad
Maddox telah yakin benar-benar, jika Tim dan keluarganya tidak akan bisa terjamah. Dia berpikir akan meminta pada Mark untuk menyediakan akses khusus, supaya bisa menelusuri jaringan Russel selama ini. Sayangnya, Maddox harus mencari tahu terlebih dahulu, bahwa Mark bukanlah orang yang ia curigai terlibat dalam konspirasi dengan andil Russel. Ini hal yang cukup sulit bagi Maddox untuk membuktikan. Seandainya Mark ternyata salah satu dari ‘mereka’, posisi Maddox akan menjadi semakin terjepit. Tidak ada lagi bantuan yang bisa dia andalkan sedikit pun. Akan tetapi, ia masih bisa mengingat dengan baik, bagaimana Mark menginginkan dirinya menangani kasus ini. Itu membuat kesimpulan sementara, jika kepala sheriff tersebut cukup meyakinkan sebagai pihak yang tidak terlibat. Buat apa Mark bersusah payah meminta Maddox, yang dikenal sebagai detektif tanpa kompromi, untuk menangani kasus yang besar ini jika dia terlibat di dalamnya? Dengan tekad bulat, Maddox berangkat untuk menemui Mark