SEPERTI biasa di tengah semester aku sibuk dengan urusan rapot bayangan. Tapi sesibuk-sibuknya aku, aku masih bisa membalas pesan atau menerima telepon Bhaga. Tapi hanya seminggu Bhaga rutin berkirim kabar setiap hari. Setelahnya, frekuensinya menjadi berselang seling lalu kembali ke jadwal semula—terserah dia kapan.
Awalnya aku berusaha kembali mengambil inisiatif. Namun akhirnya aku jengah sendiri. Bosan selalu memulai seakan hanya aku yang butuh atau terasa aku begitu membutuhkan dirinya. Akhirnya aku membiarkan saja Bhaga dengan maunya.
Terserah.
***
Bhagavad Antares : Na.
Itu pesan yang terbaca. Aku sedang piket jadi aku bisa memegang ponsel. Meski terkejut dan merasa mendapat kejutan, segera saja kubalas.
Savannah Gayatri : Ya, Ga.
Savannah Gayatri : Lagi di mana?
Savannah Gayatri : Hari kerja tumben bisa internetan.
OMG…. Pas banget sih itu teleponnya. Haduuhhh…. Mana Vlad ababil lagi bete dibilang boy sama Bhaga. Dua hari lagi ya lanjutan urusan salah sambung ini. Stay tune, happy reading, and many thx.
MENINGGALKAN rumah Anna, Vlad tidak ada tujuan. Jam delapan untuk ukuran Vlad berarti hari masih sore. Pulang dan Vlad adalah dua hal yang sulit bertemu. Tapi saat ini yang Vlad mau cuma diam sendirian mengurai marah. Entah marah yang mana. Anna pulang dengan lelaki lain atau lelaki itu memanggilnya boy. Itu hinaan besar bagi Vlad. Di saat negara pun sudah mengakui kedewasaannya dengan menerbitkan KTP dan SIM untuknya, kenapa banyak orang masih menganggapnya bocah? Dan— Savannah… mending tadi aku bolos biar bisa ngojekin kamu seharian. Bosan juga di sekolah nggak ada kamu. Vlad menggerutu dalam hati sepanjang jalan. Tapi kalau tadi ada gue lalu mereka ketemu, apa gue nggak dijadiin obat nyamuk tuh? Berasap tapi cuma bisa muter-muter doang kayak orang gila. Lalu gue disuruh pulang duluan gitu? Aaaarrrggghhh… Dia ingin ke tempatnya biasa nongkrong. Tapi dia tidak mau ada satu orang pun yang tahu emosinya. Bertemu teman dengan wajah ter
AKU menjalani sisa hari di sekolah bersama gelisah. Lepas jam istirahat masih ada satu kelas lagi dan itu kulalui dengan usaha sangat keras untuk tetap berkonsentrasi. Beberapa kali membuat kesalahan, akhirnya kuputuskan berhenti. Kelas kuberi tugas. Aku ingin melarikan diri, tapi tentu tak bisa. Kelas ini masih menjadi tanggung jawabku. Aku terpaksa tetap duduk menemani mereka mengerjakan tugas sambil membuka buku. Hanya kubuka tapi tak kubaca. Aku benar-benar merindukan bel pulang. Bel berbunyi, aku tak peduli jika aku terlalu bersemangat meninggalkan kelas. Yang aku mau saat ini hanya menyepi. Sendiri merasai hati. Marah pada Bhaga dan malu pada Vlad yang kurasa bersamaan membutuhkan jeda sendiri untuk mereda. Marahku pada Bhaga bisa kuselesaikan dengan bertelepon. Aku sudah merencanakan meneleponnya jika aku sudah lebih tenang. Tapi malu pada Vlad, ini yang sulit. Mungkin bukan malu, ini lebih tepat seperti aku menelanjangi diriku sendiri di hadapannya. Sesuatu yang sela
DARI hasil browsing Vlad tahu dia tidak bisa mengharapkan hasil instans. Dia tidak mau menambah asupan hormon dalam dietnya. Semua dia lakukan alami. Tapi aktifitas fisiknya tentu ada efek yang lebih cepat dia rasa dari sekadar membentuk otot. Dia merasa tubuhnya lebih segar dan jadwal hariannya menjadi rapi. Dia memang masih sering hang out. Tapi makan yang teratur, tidur yang cukup, latihan fisik yang tepat, membuat hidupnya lebih berisi. Tak mudah mengantuk di kelas dengan tubuh bugar membuat dia lebih cepat lagi menangkap materi. Di rumah dia bisa berkonsentrasi belajar meski hanya sendiri saja. Dia baru merasa belajar itu ternyata menyenangkan. Sampai dia merasa soal dari sekolah kurang lalu dia membeli buku bank soal lalu asyik mengutak atik soal dari sana. *** “Mas, tadi sore pas Vlad ngemil lontong padang aku nanya dia jadi SMA ke Singapura. Katanya iya.” Sepasang itu sedang bersantai di ranjang sambil b
UCAPANNYA mengingtkan aku kenapa sampai kecelakaan itu bisa terjadi. Aku melamun terlalu dalam sampai tak sadar sedang mengemudi. Dan ucapannya juga membuatku mengingat kembali kejadian tadi siang. Jika kecelakaan itu bisa diurus Pak Danu, maka kejadian tadi siang harus aku yang membereskannya termasuk menyanggah isi kepala Vlad. Oke, aku tahu, memang aku sedang ada masalah dengan Bhaga, tapi itu hal wajar dalam rumah tangga kan? Kejadian itu tidak membenarkan pendapat Vlad bahwa aku menjalani pernikahan yang tidak bahagia kan? Pernikahanku bahagia kan? Aku merasa aku baik-baik saja. Atau Bhaga yang merasa tidak baik-baik saja? Tapi mengingat pribadi Bhaga yang abai, kupikir Bhaga pun merasa pernikahan ini baik-baik saja. Buktinya dia sangat enteng meminta izin tak pulang. Meminta izin? Dia tidak minta izin. Dia hanya memberi info. Itu dua hal yang berbeda jauh. Ah, Bhaga, tidak bisakah dia sedikit peduli padaku? Peduli dalam arti yang aku m
TAPI Vlad tetaplah Vlad. Dia masih sering berlaku semaunya saja. Dia masih sering terlambat, dia masih sering bolos, dia masih mengesalkan di kelas, dia masih malas mengerjakan tugas. Di urusan itu sepertinya dia tidak berubah. Setiap minggu pasti ada namanya di buku piket. Seperti saat ini, lagi-lagi dia terlambat. Berjalan santai dari tempat parkir, dia langsung menjatuhkan b*k*ngnya di kursi di sisi lain kursi Anna, guru piket pagi ini. Anna hanya menarik napas panjang lalu mengembuskan kasar. “Vlad, tiap mata pelajaran itu ada minimal kehadiran. Kamu telat mulu kalau pagi. Otomatis pelajaran pertama kamu nggak masuk. Tahun ini mau nggak lulus gara-gara urusan absen aja?” Anna menggerutu sambil menghentikan sesaat kegiatannya mengetik. “Saya bosan nulis nama kamu di sini. Sialnya, sering banget kamu bolos pas saya lagi piket.” Dia menekan tombol Ctrl dan tombol S bersamaan. Agak susah bekerja jika ada si biang rusuh di sampingnya. Dia memanfaatkan waktu sebaik mun
AKU tersadar perlahan. Mataku masih sangat berat membuka. Musik lembut bervolume kecil mengisi ruang. Ruang ini begitu gelap. Kenyamanan yang kurasa membuat mataku makin terasa berat membuka. Ketika akhirnya aku berhasil membuka mata aku menindai ruang ini. Di mana ini? Butuh waktu beberapa saat sampai akhirnya aku sadar aku ada di apartemen Vlad. Kesadaran itu membuatku mendesah menghela napas. Sudah gelap di luar. Tak ada lagi cahaya yang berhasil menerobos tirai tebal di luar. Jam berapa ini? Aku langsung menemukan tote bag di nakas. Kuambil ponsel kulirik jam di sana. Sudah jam delapan. Aku merasa sangat tak nyaman. Apalagi ketika melihat bungkus rapi dan tebal di tas berisi pembalut dan pakaian dalam. Sejenis dengan yang dulu Vlad tanyakan ketika dia melihat semua isi tasku. Paket ini selalu ada meski aku tidak dalam periodeku. Ah…. Bergegas aku ke kamar mandi. Sambil berpikir, apa Vlad tahu urusan ini sampai dia tidak membangun
ANNA tentu melaporkan tentang pertanyaan Vlad pada Bu Ros. Dari diskusi Anna dengan Vlad, mereka menyimpulkan Vlad sudah belajar sungguh-sungguh. Apalagi Anna sempat membaca catatan Vlad tentang materi yang dia kurang mengerti. Jika dia bertanya pada Anna materi biologi, tentu materi pelajaran lain akan dia cari tahu juga kan? Entah bertanya pada siapa. Mungkin hanya mencari tahu dengan jarinya saja. Tapi anehnya, nilainya tetap biasa saja. Tidak ada perkembangan berarti. Cukup tinggi untuk murid yang sering membolos. Bahkan nilai IPA pun sama. Pelajaran yang sudah beberapa kali Anna jelaskan langsung ke Vlad. Ini membuat mereka berdua bingung. Mereka memutuskan memberi waktu lagi pada Vlad untuk membuktikan catatan itu berguna. Apalagi nilai Vlad sudah cukup membuatnya lulus. Dan meski masih sering membolos, Vlad tidak lagi sering tidur di kelas. Tidak sering membantah guru. Memang dia masih terlihat abai ketika guru menjelaskan. Tapi selama dia bisa menjawab soal, guru bis
LAGI-lagi aku membuat baju Vlad basah airmata dan lendir. Dia tetap berlutut, aku tetap duduk di tepi ranjang. Posisi yang membuat aku harus membuka tungkai lebih lebar agar badannya utuh masuk memelukku. Meski begitu, tak kurasa pelukanku berbalas. Dia hanya membiarkan aku memeluknya saja. Menyadari itu, aku berusaha mengurai pelukan. Tapi kenapa dada ini terasa nyaman untuk tempat menangis? Dia juga begitu diam. Hanya ada suara tangisku mengisi ruang ini. Hujan di luar menjadi suara latar. Malam yang hitam semakin terasa suram. Aku tak menghitung waktu, aku hanya ingin terus menangis. Tak peduli lagi di dada siapa. Aku tak peduli disebut lemah. Aku memang lemah. Saat ini, jika hanya ada harimau, mungkin harimau itu yang kupeluk. Setelahnya aku menjadi santapan harimau, mungkin itu lebih baik. Sampai akhirnya tangisku mereda, aku bisa melonggarkan pelukanku lalu perlahan aku memundurkan punggung. Dengan tangan berusaha mengeringkan wajah, pelukan itu utuh te