Kuambil ponselku tak sadar masuk ke aplikasi berwarna hijau. Membuka kontak yang kuberi nama “My Wife”. Mataku terbelalak tak percaya apa yang kulihat di benda pipih ini.Apa yang kulihat? Pesan yang kukirim beberapa waktu yang lalu kepada Arum sudah centang biru. Namun, aku benar-benar kecewa saat istriku itu tak menghubungi atau pun sekedar membalasnya.Tiba-tiba saja, hati ini terasa begitu sakit saat tahu Arum telah menyimpan amarahnya untukku. Lantas, setelah ini, mungkinkah dia akan meninggalkanku?Aku tak rela. Sungguh! Bagaimana aku bisa hidup tanpanya? Aku lekas bangun, lalu masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka. Kupandangi wajah sendiri di depan cermin wastafel, sambil merutuki sikap bodohku selama ini.Apa yang telah kulakukan? Arum sudah pergi sekarang. Seharusnya sebagai suami, diriku patutnya jujur dari awal tentang hubunganku dengan Erika.Namun, apa dia akan setuju?Arum begitu membenci perselingkuhan apalagi sampai dimadu, dia takkan sudi. Traumanya itu membuatku m
POV Arum“Sayang, Mas berangkat dulu, ya. Kalau perlu sesuatu minta antar saja ke Mang Mansur. Nanti kalau sudah sampai Mas hubungi lagi, ya,” ucap Mas Arga di ambang pintu. Aku mengantarnya ke teras, saat suamiku itu pamit untuk menghadiri acara seminar di Bandung.“Iya, Mas. Hati-hati di jalan, ya, Mas. Jangan ngebut, pelan-pelan saja asal selamat.” Aku mengingatkan Mas Arga.Entah kenapa hati ini merasa tidak tenang ketika suamiku itu akan pergi. Aku rasanya takut kehilangan dia. Entahlah, kenapa aku sampai bisa berpikiran begitu?Berat sekali hati ini untuk mengizinkan dia pergi. Akan tetapi, semoga ini hanya perasaanku saja. “Tentu, Sayang. Tunggu Mas pulang, ya. Enggak lama, kok, hanya dua hari Mas di sana,” jelasnya sambil mengecup kening dan bibirku sekilas. Dia masuk ke dalam mobil lalu menghidupkannya. Sebelum pergi Mas Arga membuka kaca jendela di sebelahnya. Aku memberikan senyum terbaik sambil melambaikan tangan ketika mobil Mas Arga melaju dengan pelan, semakin lama se
POV Arum 2Aku terharu dengan yang diucapkan Bi Surmi. Kupeluk beliau dan menyalurkan kasih sayang yang tulus kurasakan. Kami saling berpelukan sampai tercium bau gosong dari tungku pembakaran.“Ya Allah, Neng. Ayam bakarnya gosong. Untung Cuma sedikit terus Bibi masih ada stok buat dibakar lagi. Biar yang ini Mang Mansur saja yang makan.”Aku terkekeh melihat kejadian barusan.“Enggak usah, Bi. Jangan kasih Mang Mansur yang gosong kek gini. Bikin baru aja lagi buat kita bertiga. Yang ini biar kasih ke kucing liar saja, supaya mereka enggak pada kelaparan,” jelasku. Bi Surmi mengangguk mengiyakan ucapanku.“Oh iya, Bi. Nanti siang kita bikin kue nastar kesukaan Mas Arga, ya. Sekalian juga buat dikirim ke Panti, pasti banyak anak-anak yang seneng.”“Iya, Neng. Nanti bibi siapkan bahan-bahannya. Sekarang Neng Arum makan dulu. Tapi, tunggu ayam bakarnya matang sebentar lagi.”Saat aku sedang duduk di meja makan menunggu Bi Surmi beres memasak, suara notifikasi di ponsel terdengar. Ternya
POV ArumSetelah makan, kuhubungi travel yang biasa disewa ketika anak panti pergi untuk berlibur. Kali ini, kendaraan tersebut akan mengantarku ke Bandung. Aku pergi sendiri dari rumah dengan alasan akan menginap di Panti Asuhan kepada Bi Surmi dan Mang Mansur.Setelah berjam-jam melakukan perjalanan, akhirnya aku sampai di sebuah mesjid di kota Bandung. Dari luar, terlihat sangat ramai para pengiring pengantin dan sepertinya tamu undangan. Berarti benar acara ini memang ada? Aku masih berharap kalau mempelai pria itu bukanlah suamiku. Kemudian, terdengar suara laki-laki menggema sambil mengucapkan akad nikah dengan lantang. Bahkan, suaranya terdengar jelas dari luar tempat ibadah ini.“Saya terima nikah dan kawinnya Erika Rakhma Putri binti Taufik Lesmana dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang senilai seratus juta rupiah dibayar tunai.” Terdengar riuh semua orang mengucapkan hamdalah. Aku hanya mematung di tempat, mengingat kembali suara yang tertangkap telingaku tadi. S
Dua hari ini kuputuskan untuk berpura-pura tak tahu di hadapan Mas Arga. Seolah tak tahu dengan segala pengkhianatannya untukku. Meski rasa sakit kerap hadir ketika mengingat semua itu. Akan tetapi, aku masih berharap Mas Arha akan sadar. Selain itu kutunggu kejujuran suamiku tersebut. Apa dia akan jujur mengenai pernikahan keduanya kepadaku?Aku memang bodoh telah memberikan Mas Arga kesempatan. Namun, karena rasa cinta yang masih bersemayam. Aku tak mau mengorbankan hubungan yang sudah lama terjalin. Seorang Arum akan berusaha berubah sesuai selera Mas Arga. Aku masih berharap, akhirnya dia akan memutuskan meninggalkan wanita itu. Seseorang yang telah tega menjadi duri dalam rumah tanggaku dan Mas Arga.Hampir sebulan aku menunggu Mas Arga menyadari kesalahannya. Namun, itu sepertinya hanya harapan semu. Kulihat dia sering sekali menerima pesan dan telepon dari wanita secara diam-diam. Aku tahu itu siapa. Kalau bukan istri muda Mas Arga siapa lagi? Padahal diri ini sudah berusaha u
“Aku tahu, pergi tanpa izin suami itu salah. Namun, diri ini sudah tak kuat. Hatiku merasakan sakit dan berat sekaligus. Sakit karena pengkhianatan suamiku, tetapi juga berat saat perpisahan menyapa.” POV Arum Setelah kejadian di malam kelam itu, Mas Arga seolah tak peduli dengan perubahanku yang lebih pendiam. Membuat diri ini sering pergi ke luar rumah tanpa seizinnya. Aku selalu ke Panti Asuhan menemui Bu Rina. Di sana secara tak langsung, selalu meminta nasihat serta pendapatnya tentang perceraian. Tak jarang beliau selalu menegurku ketika kukatakan kalau pergi ke sana tanpa izin dari Mas Arga. Bukannya aku tak menghargai suamiku lagi, tetapi jujur saja semakin hari hatiku tak bisa dibohongi. Aku sudah tak nyaman berada di dekatnya. Ketika bersama Mas Arga, ucapannya di malam itu selalu terngiang, apalagi mengingat setiap pesannya bersama wanita yang kutahu bernama Erika tersebut. Sejujurnya, memendam segalanya sendiri itu sangat menyakitkan. Terkadang, ada rasa ingin mencerita
POV Arum Apa yang terjadi? Ke mana dompetku yang kusimpan di tas? Jangan-jangan?Aku kembali ke tempat di mana wanita tadi duduk. Namun, dia sudah tak ada, kabur membawa sisa uang di dompetku. Tubuhku terkulai lemas, bagaimana aku bisa pergi ke Solo dan memulai hidup di sana kalau tak membawa uang sepeser pun? Di dompet tersebut ada uang tabunganku senilai lima juta rupiah, tadinya akan kupakai untuk membayar kontrakan dan modal usaha kecil-kecilan, sisanya menyambung hidup sehari-hari. Akan tetapi, jika sudah seperti ini, apa yang harus kulakukan?Kembali ke rumah Mas Arga, itu tak mungkin. Tekadku sudah bulat untuk pergi dari kehidupannya. Kutitipkan kantong yang berisi baju dan tas selempang milikku ke petugas di sana. Setelah menceritakan apa yang barusan kualami kepada petugas keamanan lalu meminta bantuan meminjam uang untuk ongkos angkutan. Sebagai jaminan, semua tas dan KTP kusimpan di pos. Untunglah masih ada orang baik yang mau membantuku. Pria paruh baya tersebut meminjam
Keesokan harinya menjelang siang, aku berpamitan untuk kembali ke kota Jakarta. Cutiku telah habis besok. Jadi, aku harus sudah masuk kerja kembali. “Sayang, Mas pulang dulu, ya. Jaga kesehatan, jangan lupa makan dan minum obat dengan teratur, biar cepat pulih. Nanti Mas akan usahakan menemuimu ke sini,” ujarku menenangkan Erika.“Kenapa sih, Mas, kalau aku tinggal di Jakarta? Ngontrak juga enggak apa-apa, asal kita bisa sering ketemu. Aku kan suka kangen,” rayu Erika.Aku mengelus pipinya dengan sayang, “ Sabar, ya. Nanti pasti akan Mas ajak ke sana, biar kita bisa sering ketemu.”Erika mengerucutkan bibirnya, itu membuatku semakin gemas. Tak tahan kusergap bibir gincu tersebut. Saling bertukar napas cukup lama dan dalam.“Setelah kamu sembuh dan pulih kuusahakan kita akan pindah ke Jakarta, ya. Sebelumnya kita akan liburan ke Bali sesuai yang kamu minta. Itung-itung bulan madu kita, Sayang,” jelasku membuat wajahnya langsung berbinar.“Makasih, ya, Mas,” ucapnya dengan rona bahagia