Di tengah-tengah sebuah hutan yang terlarang, asap pengepul menyusup melewati celah-celah dedaunan rindang yang meneduhi hutan tersebut. Hutan yang jarang terjamah oleh manusia karena terkenal dengan keangkerannya itu menjadi tempat yang mbah Kaji pilih untuk memulai rintual hitamnya.
Udara sejuk di kawasan hutan, perlahan mulai tercemari dengan baunya wewangian yang berasal dari dupa yang mbah Kaji bakar.
Beberapa suara hewan-hewan nokturnal yang pada dasarnya memang lebih banyak beraktivitas pada malam hari, membuat suasana malam ini kian mencekam.Sesekali bunyi ranting-ranting pepohonan yang bergesekan karena hembusan angin malam, membuat jantung siapa pun yang mendengarnya menjadi bergidik ngeri.
"Apa semuanya sudah siap?" Tanya seorang pria yang sudah cukup berumur dengan jenggot putih yang menjuntai panjang di dagunya. Pria tua itu tidak lain adalah mbah Kaji. Seorang dukun yang dikenal bisa melalukan apa saja hanya demi uang.
Dengan perlaha
Seketika arus di danau semanggi itu kian ganas dan mulai tak terkontrol, membentuk sebuah pusaran gelombang air yang mampu menyeret serta menelan siapa saja yang ada di sana. Tanaman eceng gondok yang memenuhi hampir seluruh permukaan air danau itu pun, ikut terhisap masuk ke dalam puasaran air tersebut. Di saat Tari sedang berusaha untuk mempertahankan tubuhnya agar tidak tertelan pusaran air tersebut, tiba-tiba terdengar suara berat seseorang yang menggema memenuhi seluruh kawasan hutan. "Apa yang kalian inginkan?" Serunya. Tari yang masih fokus membacakan mantranya pun, terhenti seketika. "Suara siapa itu?" Batinnya. "Kami ke sini ingin memberikan persembahan untuk anda, Pangeran Joko Boyo." Seru mbah Kaji. Tari mengerutkan keningnya, dia berusaha untuk menimang-nimang ucapan mbah Kaji. "Pangeran? Apa dia adalah tujuanku datang ke sini?" Batinnya. Arus danau yang mengganas itu pun perlahan mulai menyurut lalu menghilang hingga air dan
Tinggal sedikit lagi, Tari bisa menggapai tangan sang pangeran. Namun di sisa oksigennya yang sudah terbatas, salah satu kakinya malah tergelincir batu dan membuat tubuhnya tenggelam ke dalam danau. Dengan sekuat tenaga, Tari berusaha untuk menyeimbangkan tubuhnya. Kedua kakinya menerjang, kedua tangannya pun mengayun cepat berusaha naik ke permukaan. Namun sia-sia, salah satu kakinya terasa sangat berat seolah ada yang menahannya agar tetap berada di dalam air. Tari berusaha untuk menggerakkan kakinya dengan sekuat tenaga, namun nyatanya itu tidak berhasil dan dia masih berada di tempatnya. Tari mencoba untuk berputar arah dan berenang ke bawah untuk memeriksa kakinya. Semakin Tari berenang ke bawah danau, pencahayaan pun semakin minim hingga membuatnya susah untuk memastikan apa yang telah menahan kakinya. Apa lagi tekanan udara yang kuat di dalam air itu malah membuatnya semakin cepat lelah dan kehabisan oksigen. Tak bisa menemukan apa pun dengan ked
Matahari sudah mulai meninggi, sinarnya pun mulai menyengat menyelimuti permukaan bumi. Meski begitu, kesibukan di salah satu kantor nampak masih tak menyurut, meski pun jam sudah menunjukkan pukul dua siang tetapi mereka masih berkutat dengan pekerjaan mereka di meja masing-masing, berharap bisa menyelesaikan semua pekerjaan mereka sebelum jam pulang datang. Bagas yang tengah fokus dengan komputer di hadapannya, menoleh saat ada seseorang yang tiba-tiba merangkul pundaknya dari belakang. "Gas, nanti kamu ikut kan?" Tanya Dion tiba-tiba. "Hmm, gimana ya?" Ucap Bagas yang nampak sedang berfikir. "Aku gak mungkin ngebiarin Andira pulang sendiri." Serunya kemudian. "Gimana kalau kamu bawa Andira saja." Usul Dion, namun Bagas tak langsung mengiyakan. "Ayo lah, kita kan sudah lama gak ngumpul bareng." Rayunya. "Kalau begitu, aku tanya Andira dulu deh." Jawab Bagas, berinisiatif. "Deal, kita ketemu di temp
Braaakk. Terdengar suara benda terjatuh dan menggelinding dari atas atap. Sayup-sayup telinganya pun mendengar suara tertawa seorang wanita, namun semakin lama suara itu kian menghilang seolah di telan oleh angin. Langit yang semula terlihat cerah pun berubah mendung seketika. Dengan cepat, awan hitam datang menggelayut menutupi birunya langit yang cerah. Suara petir menyambar, saling bersahutan di sertai datangnya angin kencang yang terdengar bergemuruh di telinga. Braakk, braakk, braakk. Daun pintu serta jendela, terdengar saling beradu hantam karena terjangan angin badai tersebut. Tari dan mbah Kaji keluar dari ruangan itu lalu berlari ke arah ruang tamu untuk melihat apa yang sedang terjadi. Sesaat setelah mereka sampai di ambang pintu ruang tamu, angin kencang dengan cepat menghantam tubuh tari yang masih berdiri di ambang pintu. Brugh. Tari terjungkal karena hempasan angin tersebut. Daun pintu yang masih terbuka l
Cciiiiiiiittttttt... Suara decitan ban besar dari truk trailer yang bergesekan dengan aspal, terdengar sangat memilukan di telinga orang-orang di sekitar tempat kejadian. Meski Tari sudah berusaha sekuat tenaga untuk membuka pintu mobilnya, namun anehnya pintu itu seolah terkunci rapat dan tidak mau terbuka. Dia pun akhirnya sudah pasrah jika maut akan menjemputnya sekarang, karena ia benar-benar sudah terjabak di dalam mobilnya sendiri. Peluh yang bercucuran pun kian membasahi seluruh tubuhnya, tangan dan kakinya pun serasa mati rasa dan tidak bisa di gerakkan sama sekali kala truk trailer itu kian mendekat ke arahnya. "Aaarrgh..." Kedua matanya terpejam rapat, Tari tak mampu melihat truk besar itu menghantam tubuhnya sendiri. Cciiiiiiiittttttt... Meski sang sopir truk trailer itu mencoba untuk menghentikan laju mobilnya, namun karena jarak di antara keduanya yang terlalu dekat, hingga sang sopir pun tak mampu untuk me
Entah karena sengaja atau tidak, sang bos tiba-tiba saja menyuruh Andira untuk bekerja lembur merapikan semua berkas yang akan dia bawa ke rapat direksi besok. Padahal sebelumnya Andira sudah merapikan semua berkas itu dan menyusunnya rapi sesuai dengan urutannya. Tapi nyatanya, saat ini semua berkas itu berserakan di ruang kerja sang bos.Alhasil, rencana Andira yang hendak pergi untuk menemui sang suami pun batal. Hingga petang pun tiba, pekerjaan Andira belum juga selesai. Beruntung saat itu ada Sisi yang kebetulan belum pulang, dia adalah salah satu teman kerja Andira yang lumayan dekat dengannya. Dia bahkan mengusulkan diri untuk membantu Andira menyusun semua berkas itu. Hingga akhirnya empat puluh menit kemudian, pekerjaan mereka selesai dan tiga tumpuk berkas pun sudah rapi di atas meja.Andira bergegas untuk segera menemui sang suami yang sudah lama menunggunya di lobi. Namun saat bertemu pun dia justru di suguhkan dengan wajah sang suami yang terlihat s
"I-ini?" Andira mengerutkan keningnya, saat melihat isi dari kotak putih tersebut. "Ini untuk apa?" Tanyanya heran, sembari menunjukkan isi dari kotak itu. "Untukmu." Ucap Bagas, dia mengambil benda berbentuk persegi itu lalu memasangkannya pada ponsel andira. "Selesai." Serunya sembari mengalungkan benda itu di leher sang istri. "Hahahaha.." Andira tergelak. Sekuat apa pun dia berusaha untuk menahan tawanya, namun pada akhirnya terlepas juga. Dia menatap benda kenyal berbentuk persegi yang tak lain adalah sebuah softcase bertali yang membingakai ponselnya. "Lihat ini." Tunjuk Bagas pada bagian belakang softcase tersebut, di mana tertera huruf BA dengan font yang indah di sana. Yang mana huruf itu merupakan nisial dari mereka berdua yang di bingkai di dalam sebulah love. "Waah, bisa nyala?" Saru Andira antusias saat melihat huruf itu bisa menyala terang saat Bagas menelponnya. "Pakai ini di lehermu agar po
Melihat Bagas tergeletak di tanah, ketiga sahabatnya terkejut dan segera berlari mendekatinya. "Bagas bangun, kamu kenapa?" Dion menepuk-nepuk salah satu pipi Bagas, berusaha untuk menyadarkannya. Kedua temannya yang lain pun ikut mengoyang-goyangkan tubuh Bagas, namun Bagas tetap tak merespon.Tidak hanya itu, pengunjung cafe yang lain pun menjadi ikutan panik mendengar isak tangis Andira, mereka bahkan menghambur mengelilingi tubuh Bagas yang pingsan. Hingga salah satu dari mereka menyarankan agar segera membawa Bagas ke rumah sakit terdekat.Dion memutuskan untuk menitipkan motornya di cafe dan membawa mobil Bagas, karena hanya dialah satu-satunya orang yang bisa membawa mobil di antara temannya yang lain. Dion segera melajukan mobil Bagas meningkalkan area parkir cafe. Sementara dua temannya yang lain mengikuti mobil mereka dari belakang.Di kursi belakang, Andira yang memangku Bagas pun masih terus menangis dan mencoba untuk menyadarkan suaminya