Share

7. Gadis yang Membenci Hari Senin

Beberapa tahun yang lalu.

Senin.

Bagi sebagian orang, pembuka hari itu menjadi semangat baru untuk mereka yang bekerja atau anak-anak bersekolah, setelah kemarin menghabiskan waktu liburan bersama keluarga atau teman. Namun, tidak bagi Silvi, seorang gadis yang baru saja duduk di bangku kelas enam sekolah dasar.

Gadis itu sama sekali tak menyukai hari Senin. Bahkan, ia terlalu membencinya. Karena baginya, hari itu lebih menyedihkan dari hari lainnya. Rasanya setiap hari memang sama saja, tak memberinya sedikit pun bahagia layaknya yang dirasa oleh anak-anak lain. Baginya, Senin lebih memberinya tekanan ketimbang kenyamanan atau kebahagian yang layak dinikmati.

“Silvi mana?”

“Ini tempat Silvi!”

Sahut-sahutan beberapa teman sekelas Silvi menanyainya. Mereka sibuk melongok ke sana kemari, tapi tak menemukan sosok yang dipanggil.

Lapangan masih belum penuh terisi oleh semua siswa. Sebagian siswa telah berbaris dengan rapi, pun kelas enam sudah menempati posisi di mana biasanya mereka berdiri.

Uta. Uta Sofia nama lengkapnya. Ia dijuluki ratu geng di kelas Silvi. Ada dua anak perempuan yang selalu mengekorinya, Siska dan Chrisa. Anak-anak di kelas itu terlalu takut menatap mata Uta. Mata itu selalu menatap orang lain dengan tajam dan tersirat perintah. Seperti saat ini, Uta melirik ke kanan dan kiri, tapi tak ditemukan sosok Silvi. Lalu ia melihat ke belakang, di sanalah gadis itu muncul.

Upacara.

Itulah yang membuat Silvi sangat membenci hari Senin.

Silvi berjalan dengan pandangan menunduk, ia memasuki barisan teman-temannya untuk berdiri di posisi pada tempat yang telah ditentukan, tempat istimewa atas perintah Uta.

“Lelet amat sih, Tiang Listrik!” bentak Uta sambil mendorong bahu Silvi ketika mendekat ke arahnya. Gadis itu sedikit terlambat hari ini.

Gelar si Tiang Listrik sudah menyemat di diri Silvi sejak beberapa tahun lalu. Silvi tak ingat pasti kapan mulai dirinya disematkan gelar menyedihkan itu, yang ia tahu anak-anak sekolah selalu memanggilnya seperti itu. 

Silvi heran kenapa dirinya dipanggil seperti itu, padahal Reva dari kelas yang sama bahkan mempunyai tubuh lebih tinggi dari Silvi. Pernah sekali waktu, Silvi benar-benar berdiri di samping Reva hanya untuk melihat siapa yang lebih tinggi. Namun, jelas saja Reva lebih berisi, hingga ketinggiannya tak mendominasi. Sementara Silvi tubuhnya kurus dan gelar itu hanya diberikan untuknya seorang diri.

Karena ketinggiannya, Silvi selalu menjadi bahan olok-olok teman-teman sekelas. Bukan hanya tinggi, tapi badannya kurus serta jalan yang sering menunduk yang membuat ia terlihat sedikit bungkuk. Lucunya, ia tak membantah sama sekali. Entah karena terlalu lelah, takut, atau memang pikirannya membenarkan apa yang mereka katakan. Kepercayaan dirinya telah terenggut. 

Kadang ketika berjalan di lapangan, Silvi disoraki teman-teman lelaki, katanya sebelas duabelas dengan tiang bendera. Atau ketika Silvi pulang sekolah, mereka sengaja mengukur bayang Silvi dan menyamakannya dengan tiang listrik di jalanan.

Seperti yang kini dilakukan Uta, menyuruh Silvi untuk berdiri di barisan depan, agar ketinggiannya bisa menutupi wajah mereka dari sinar matahari, agar Uta dan dua temannya sesekali bisa berjongkok di dalam barisan, ditutupi tubuh Silvi. Agar yang belum mengenali, bisa mengenal Silvi dengan tubuh yang begitu kurus dan penampilan yang kacau. Sepatu mangap, kaus kaki longgar yang sudah diikat dengan karet gelang.

Bahkan ketika Silvi mengedarkan pandangan ke seluruh lapangan, ia tak menemukan anak-anak dengan pakaian yang lebih kusam darinya, juga rok merah yang sudah sangat pudar warnanya. Belum lagi membandingkan tas buluknya yang kini ia letakkan di kelas. Pernah sekali waktu gadis itu meminta seragam baru pada ibunya, tapi perempuan berusia tiga puluh dua tahun itu mengatakan sebentar lagi sudah naik SMP, jadi Silvi diam saja, dan tetap memakai pakaian kusam dan pendek itu.

Dia, Silvi. Silvi Andriani nama panjangnya. Tiang listrik nama tengahnya, disandang pada tubuh tinggi dan dekil itu. Padahal ibunya tak pernah memberi nama itu.

*

Pelajaran terakhir sedang berlangsung. Saat itu guru sedang mengajarkan materi pecahan. Silvi tak terlalu memperhatikan pelajaran. Pikirannya melayang ke mana-mana. Tentang makan nanti siang. Tentang aneka makanan yang dijual di kantin tadi saat istirahat. Tiba-tiba ia merasa air liurnya mengalir, gadis itu jarang terlihat di kantin, bahkan hampir tak pernah. Ia mencoba mengalihkan pikirannya sendiri, lalu teringat sesuatu. Silvi menepuk jidat saat tersadar ia lupa menjemur buku-buku pelajaran yang semalam basah karena hujan. Padahal tadi ia menjemur kasur juga beberapa baju.

Silvi tinggal di salah satu pemukiman kumuh kota Samarinda, Kalimantan Timur. Rumah yang terbuat dari geribik yang seandainya tak ada bangunan rumah orang lain di sampingnya, mungkin akan roboh saat ada angin sedikit kencang. Tak jarang, gadis itu harus menjemur pakaian juga buku yang basah akibat sisa genangan hujan semalaman. Sebab itu Uta dan teman-teman menjuluki rumah Silvi sebagai tong setan. Mungkin karena rumah itu terlihat gelap dari luar, atau mereka merasa rumah itu seperti tong setan di pameran-pameran.

Sang guru melihat gelagat Silvi. Bu Darma, Guru Matematika yang terkenal killer itu menurunkan kacamata, lalu bertanya pada salah satu siswanya yang tertangkap basah tak menyimak pelajaran.

“Sedang apa kamu, Silvi?”

Silvi menunjuk diri sendiri, seolah sedang mempertanyakan apakah baru saja sang guru menyebut namanya. Atau ia hanya berhalusinasi.

“Ya, kamu. Siapa lagi?” Bu Darma memperjelas.

Silvi diam. Gadis itu menunduk tak berani menatap wajah sang guru. Dalam hati ia berdoa semoga tak disuruh maju ke depan dan menyelesaikan soal-soal, pasalnya ia tak menyukai Matematika. Bahkan ketika sang guru mencontohkan metode pembagian dengan cara membagi apel untuk Budi, gadis itu bingung, karena jangankan untuk membagi apel, untuk makan sendiri saja, gadis itu hampir tak pernah.

Namun, sayang, doa Silvi sepertinya tak dikabulkan. Bu Darma menyuruhnya untuk maju ke depan kelas.

Langkah Silvi ragu, ia berjalan lambat seperti setengah diseret. Tapi jarak deretan bangku paling belakang ke papan tulis tentu tak memakan waktu berjam-jam, hingga membuat doa kedua Silvi akan terkabul, doa agar bel segera berbunyi. Tidak!

Silvi menatap sekilas sang guru, sebelum akhirnya benar-benar menghadap papan tulis putih. Ia mengambil spidol yang diulurkan Bu Darma.

Harus isi apa?

Pikiran Silvi kembali bergelut, ia sama sekali tak mengerti apa yang barusan dijelaskan. Satu-satunya yang membuat Silvi senang bersekolah adalah pelajaran Bahasa Indonesia, karena ia bisa membaca dongeng-dongeng di buku pelajaran, dan berharap suatu saat bisa menjadi seperti putri dalam salah satu cerita itu.

“Apa kamu gak ngerti sama sekali?” Sedikit kesal nada Bu Darma saat bertanya.

Silvi menggeleng. Gadis itu menunduk menatap sepatu buluknya.

“Duduklah!” Sang guru menghela napas berat, tidak memaksa. Ia dan semua guru tahu betul bagaimana Silvi. Selain penampilan, nilai-nilainya juga tak ada yang menonjol meskipun setiap tahun ia naik kelas, karena mencapai ketuntasan minimun.

Silvi kembali duduk.

Sebelum bel pulang berbunyi, Bu Darma telah berpesan agar membagikan kelompok untuk minggu depan. Satu kelompok terdiri dari tiga orang.

“Tos dulu!” Uta dan gengnya membuat gerakan tos. Mereka telah membuat kelompok yang terdiri dari anggota geng.

Silvi melihat ke kiri dan kanan, teman-temannya saling mencari anggota kelompok, dan tak ada yang menanyai dirinya. Sebab itu ia mencoba mengajukan diri.

“Mel, a ... ku masuk ke kelompok kamu ya?” Silvi menoleh ke bangku belakang, menawarkan diri pada Amel dengan hati-hati.

“Penuh, maaf ya.” Amel menjawab sambil menunjuk dua teman yang baru saja bergabung dengannya.

Silvi tak ingin tak mempunyai kelompok, meskipun ia tak suka Matematika, tapi minimal ia harus menuntaskan nilainya. Sebab itu, ia bangun dari bangku duduknya, berjalan ke pojok di mana Rangga duduk.

“Aku boleh gabung sini?” Sekelompok dengan anak cowok pun tidak masalah bagi Silvi, karena ia melihat anak cewek hanya tinggal ia seorang diri.

“Pe ... nuh, Vi.” Rangga menutup hidungnya hingga terdengar suara sengaunya. Ekspresi untuk memberi aba-aba pada gadis dekil itu agar segera menjauh. Bau. Lagi-lagi Silvi tertolak.

Silvi kembali ke tempat duduk. Ada rasa kecewa yang menyelinap dalam hatinya. Bahkan untuk masuk anggota kelompok saja terlalu susah baginya diterima.

“Yaudah gabung sini aja,” sahut seorang anak lelaki di meja paling depan.

Anak lelaki yang berstatus sebagai ketua kelas.

“Entar aku juga yang repot kalau kamu gak punya kelompok.”

Bukan perhatian, tapi tanggung jawab sebagai seorang ketua kelas. Anak lelaki itu tak mau disalahkan oleh Bu Darma karena Silvi yang tak dapat kelompok. Karena sang guru mengamanahkan pembagian kelompok pada ketua kelas, entah dipilih atau memilih sendiri, intinya ada, dan mereka dituntut mandiri.

Silvi tersenyum ke arah teman lelaki sekelasnya. Senyum yang entahlah, ia merasa dihargai. Ia merasa ada hal baru dalam hidupnya, ditawarkan, dan ia merasa mendapat energi baru dari hal itu. Namun, senyum itu mendapat tatapan tajam dari Uta.

Sementara anak lelaki itu kembali mengemas buku pelajaran dan melangkah keluar.

Dia, Araska Pratama.

*

TERIMA KASIH 🙏

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
araska Pratama
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status