“Ameera sudah tidur, Mat?” tanya Falisha dengan kepala yang menjulur di cela kecil pintu kamar, pintu kamar yang ditempati oleh Ameera selama ini memang tidak ia buka lebar-lebar karena takut sang buah hati belum tertidur pulas."Sudah … baru aja kok ini, Sha …," jawab Matteo tanpa menghentikan gerakan tangannya yang tengah menepuk ringan bokong Ameera, kebiasaan dari kecil anak itu saat menjelang tidur kini sudah ia hapal.Falisha menerbitkan senyum tipis, lantas membuka pintu lebih lebar dan masuk ke dalam tanpa melepaskan pandangan matanya dari Ameera."Maaf ya, Mat … ngerepotin Kamu … Ameera tuh suka gini kalau tahu Kamu nginap, heran Aku!" ceplos Falisha sambil terus bergerak dan baru berhenti di tepian tempat tidur."Ya mungkin karena dia bisa merasakan kalau calon Papa sambungnya ini sayang sama dia!" balas Matteo ringan tapi sarat akan kesungguhan dalam nada bicaranya.Memang itulah yang Matteo rasakan pada Ameera, ia menyayangi gadis kecil itu dengan tulus terlepas dari keist
"Ya salah, Mat …," ucap Falisha dengan suara tercekat, "normalnya wanita itu pacaran mungkin terus menikah, baru hamil dan punya anak. Tapi untukku, urutannya salah."Sudah diputuskan Falisha untuk jujur terhadap Matteo jika pria itu memintanya untuk bercerita sejak ia mengungkit perihal kedua orang tuanya. Hanya saja Falisha tidak menyangka jika Matteo akan menodong meski secara halus dalam tempo secepat ini.Tidak punya pilihan dan tidak ingin menutupi apa yang terjadi padanya di masa lalu lebih lama lagi dari Matteo. Setelah sekian banyak yang dilakukan pria itu untuknya, Falisha yakin Matteo berhak menerima kejujuran darinya.Matteo yang tidak bersuara seakan menunggu membuat Falisha semakin yakin untuk membuka masa lalunya pada pria tampan ini.“Aku nggak sebersih itu, Mat … Aku juga nggak mengakui kalau Aku nakal … semuanya insiden … kecelakaan …,” tutur Falisha ragu-ragu dan terbata sambil mencoba membaca ekspresi Matteo tapi hanya nihil yang ia dapatkan karena tidak ada yang b
"Orang tua mana yang nggak marah kalau anaknya hamil di luar nikah … mana Aku anak perempuan satu-satunya, 'kan? Anak kesayangan mereka, bahkan lebih disayang daripada Kak Farhan. Dengan segala kebanggaan dan nama baik keluarga Tirta si pemilik beberapa perusahaan besar yang banyak koleganya, tentu Papa Mama marah besar dengan apa yang terjadi padaku," beber Falisha dengan hati nyeri, "malam itu … saat Aku memberitahukan mereka soal kehamilan ku … Aku diusir dari rumah, dicoret dari kartu keluarga … sakit tamparan murkanya Papa bahkan masih terasa … bukan di sini tapi di sini," sambungnya tanpa membuka mata dengan jari yang berpindah dari pipi ke bagian dada, merujuk ke hati terdalam yang menampung perih nestapa menahun.Matteo kontan bungkam menghadapi kenyataan yang baru saja dibabarkan oleh Falisha. Kini, pria itu telah paham mengapa bahasa tubuh Falisha begitu sendu dan lantang penolakan yang digaungkan olehnya.Di samping itu, Matteo sendiri tidak menyangka bahwa Falisha punya ki
“Ah, Sial!” ceplos Hera langsung saat memandangi nanar dua garis merah yang tertera pada alat tes kehamilan yang baru dibelinya kemarin secara diam-diam.Beruntung, saat ini Hera sendirian di kamar mandi dan umpatannya tadi tidak mungkin terdengar oleh Bramantyo yang di luar kamar.Hera memang sudah pulang berkat bujukan Bramantyo yang mengumbar janji-janji manis dengan mengatakan salah satunya bahwa dia tidak akan membagi sedikitpun harta pada Falisha. Akan tetapi, bukan berarti masalah berhenti datang padanya.Hera menggenggam batang test pack di tangannya dengan erat, dia tidak menyangka jika kecurigaannya beberapa hari terakhir ini terbukti benar.Saat Hera pergi dari kediaman Bramantyo ketika pertengkaran mereka tempo hari itu, Hera baru mengingat perihal jadwal menstruasinya dan ia tidak menyangka jika kehamilan ini akan terjadi.“Kenapa harus ada di saat seperti ini sih?” pungkas Hera sambil melempar tes pack yang dip
Alih-alih mengintip di door viewer terlebih dahulu, langsung saja Bramantyo membuka pintu rumahnya tanpa menaruh kecurigaan sama sekali dan keterkejutan langsung membuatnya membatu di tempat menyadari siapa yang datang berkunjung.Sumpah, mau demi apapun juga boleh sebab yang pasti Bramantyo sungguh malas sekali berjumpa dengan orang-orang yang ada di hadapannya ini. Yang mana, bukan hanya mengganggu akhir pekannya yang akan ia gunakan untuk beristirahat dan bermalas-malasan tapi juga ia yakin keributan bisa saja pecah di antara mereka.Siapa lagi yang bertandang pagi-pagi begini kalau bukan keluarga kandung Bramantyo sendiri. Tidak hanya Reni sang Ibunda saja yang menginjakkan kaki untuk kesekian kalinya di rumah ini, akan tapi dia tidak sendiri karena membawa serta anak dan menantunya yang lain yaitu Candrawati dan suaminya Bayu Dirgantara. Bramantyo dan Wati merupakan saudara kandung, memiliki perbedaan usia sekitar empat tahunan dengan Bramantyo sebagai seorang Kakak.Belum sempat
"Mama nggak akan berbelit-belit, Bram! Wati dan Bayu sudah sepakat menyumbang lima puluh juta untuk pembebasan bersyarat Papamu, berapa yang bisa Kamu berikan?"Bramantyo diam membatu mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Reni.Bramantyo sudah menduga di awal bahwa kedatangan keluarganya ini punya maksud tertentu, topik ini pun telah melintasi pikirannya dalam tempo sepersekian detik.Hanya saja, Bramantyo tidak menyangka jika Reni akan segamblang ini meminta kepadanya bahkan menyebutkan nominal cukup besar yang akan digelontorkan oleh pihak Wati dan Bayu.Gundah gelisah jelas langsung menggerogoti hati Bramantyo sebab keuangannya berkemungkinan bisa terguncang hebat.Bayu Dirgantara merupakan seorang pengusaha yang cukup sukses di mata Bramantyo dan menurutnya lima puluh juta adalah angka yang kecil untuk pria itu.Sementara itu, masih menurut sudut pandang Bramantyo, dirinya sendiri adalah seorang pengangguran. Dia butuh biaya hidup selama beberapa minggu kedepannya atau s
"Kak … apa nggak bisa Kamu bujuk Falisha untuk mencabut tuntutannya?" ucap Wati buka suara menyela pembicaraan dengan mengemukakan salah satu solusi yang terpikirkan olehnya.Bramantyo tertegun seketika saat mendengarkan kalimat Wati. bramantyo tahu Chandrawati adalah benar saudara kandungnya dengan bukti bahwa mereka bisa setipe, sepaham dan sepemikiran entah bagaimana caranya jika menyangkut yang namanya uang, mereka berdua akan melindungi harta sebaik mereka menjaga nyawa.Ini merupakan sifat alami Bramantyo dan Chandrawati yang dibesarkan dengan pemahaman bahwa uang adalah segalanya.Bramantyo kontan memicingkan tatapan matanya kepada adik kandung satu-satunya itu, jelas ia tahu apa motif Wati mengatakan hal yang sangat memancing barusan.“Apa maksudmu, Wati?” tanya Bramantyo penuh kesengajaan, dia tidak mampu menyembunyikan dingin yang ada di nada suaranya.Walau tidak menghadap ke arah Reni, ekor mata Bramantyo menangkap jelas gestur tubuh ibunya itu. Reni mendadak menegakkan tu
“Kakak kan bisa cari cara!” ujar Wati tidak kehilangan alasan dan akal, “Kak Bram bisa cari dia di teman-temannya atau tanya pengacaranya. Pokoknya bujuk dia untuk cabut tuntutannya terhadap Papa!”Kembali, Wati dengan giat menyodorkan idenya yang memberikan beban panas itu pada Bramantyo.“Saya nggak setuju!”Semua pasang mata dan kepala langsung menoleh ke arah sumber suara, itu adalah Hera, istri siri Bramantyo yang menguping pembicaraan keluarga itu sejak di tengah-tengah.Hera baru saja selesai mandi dan ingin ikut turun sarapan bersama Bramantyo saat telinganya menangkap keributan kecil yang terjadi di ruang tamu depan.Hera yang mencuri dengar percakapan tidak lagi dapat menahan diri saat Wati yang merupakan iparnya itu terus menerus menekan Bramantyo.Oleh Hera, wanita yang telah memiliki pemikiran untuk berpisah dari Bramantyo ini tidak bisa tidak ambil peduli. Setidaknya untuk saat ini, saat ia masih bersama pria itu. Menekan Bramantyo itu sama saja berarti menekan dirinya d