Jumat yang direncanakan oleh Nana berlalu begitu cepat. Senin pagi saat gue ketemu dia lagi. Dia udah make sure bahwa dia bisa mulai bekerja di perusahaan Veve bekerja itu pertengahan bulan depan. Karena Februari ini dia harus menyelesaikan kontraknya dulu sekaligus. Pertengahan bulan Maret dia pilih karena ingin rehat sejenak sebelum memulai beraktivitas di kantor yang baru. Ya sah-sah aja sih. Gue tahu secapek apa dia di sini.
Senin itu juga, Nana ngobrol bareng sama Pak Gandha. Pak Gandha terkejut juga ternyata Nana seberuntung itu karena segera mendapat pekerjaan yang lain. Dan dia sendiri bersikap terserah pada Nana saja. Nggak mencoba untuk mempertahankan meskipun dia butuh. Mungkin karena dia sendiri tahu, keputusan dan keinginannya nggak banyak mempengaruhi masa depan Nana. Semua selalu harus dikembalikkan lagi ke HRD.
Nana segera memproses surat resignnya ke sistem. Notifikasinya pasti akan masuk ke Pak Vino dulu, kemudian jika Pak Vino approved,
Waktu gue keteteran kerjaan, sering banget gue pengen resign. Tapi ketika gue denger 8 orang ini punya nasib nggak jelas di kantor ini, gue bener-bener bersyukur, seenggaknya itu bisa jadi peringatan buat gue sebelum kontrak gue habis nantinya. Karena seperti yang pernah Veve kasih tahu sama gue. Di kantor ini, kalo kerjaan lo banyak banget, waktu berlalu gitu aja. Untuk sekedar cari info loker baru, lo bahkan nggak sempet. Free time lo, lo pake buat istirahat, lari dari pekerjaan walaupun cuma sebentar.Pantesan aja gue denger-denger si Veve bahkan udah hunting kerjaan baru di 1.5 tahun dia join di sini. Dia tahu dia nggak bakalan dijadiin karyawan tetap. Karyawan tetap cuma sebatas ide tapi nggak ada yang mau perjuangin sampai ke tingkat atas. Jujur aja, gue, meskipun tahu Pak Adnan orang yang baik, tapi gue bener-bener nggak suka sama sistem rekrut karyawannya. Di depan gue dia bilang sistem HRD kacau. Tapi dia kan petinggi, masa dia nggak tahu perkembangan karyawan kaya g
Nana menggigit bibir. Dia bingung mau mulai cerita darimana.“Soal Wenny?” tanya gue menebak.Nana mengangguk. “Kasihan dia, tahu! Gue pengen bantu tapi gue sendiri nggak punya loker.”“Ya udah sih, Na. Nggak semua orang bisa lo bantu. Mungkin nih ya, cuma dengerin dia curhat aja dia udah seneng. Apalagi kalo masalah kontrak kerja kalian senasib.”“Iya sih bener. Bedanya gue udah dapet kerjaan. Sedangkan dia nilainya C minus. Artinya dia nggak akan diminta balik kerja di sini. Sedangkan dia harus bayar kontrakan, bayar cicilan motor juga.”“Bingung deh gue, kenapa kalau masih kontrak berani ambil cicilan ya? Maksud gue gini, kalo bayar kontrakan oke deh, gue juga anak kosan. Kalo sama nyicil juga sih, berani juga ya dia.”Nana hanya mengangkat bahu. “Dia abis pindah team. Gue sih jujur nggak tahu sebelumnya leader dia siapa. Maklum engineer kan segitu banyak. Nah team yang bar
Gue merasa semakin sepi kantor gue, meskipun orang-orang baru semakin banyak yang datang. Gue tahu diantaranya ada pengganti Nana. Mereka kelihatan masih sangat bersemangat bekerja. Entah karena udah lama banget pengen kerja di sini atau karena akhirnya mendapatkan pekerjaan impian mereka. Saat mereka berkeliling gue di situ merasa miris, apakah mereka tahu nantinya 2 tahun lagi kontrak mereka berakhir mereka belum tentu jadi karyawan tetap? Apakah mereka tahu di sini atasan tidak pernah bisa terlalu berpartisipasi aktif dalam kenaikan jabatan? “Korban baru,” bisik Sania pada gue yang menyadari bahwa gue memperhatikan para pendatang baru dengan lekat-lekat. “Jangan gitu dong, gue juga masih kehitung baru!” sahut gue kesal. “Iya, iya. Just kidding, say! Abisnya lo serius banget mukanya. Lagian lo udah nggak baru lagi. Ini udah ganti tahun wei, bentar lagi juga Mei kan?” sahut Sania. Belum sempat gue menimpali, Bu Angel datang. Raut wajah dia nggak enak
Dari sudut pandang Hanna, kesalahan yang terjadi tentang proposal milik Sania bukan kesalahan dia sepenuhnya. Bu Respati, sejak awal Hanna masuk, bukanlah atasan yang mau bertanggungjawab atas apa yang terjadi pada bawahannya. Dia selalu melimpahkan segalanya pada mereka. Meskipun segala approval sistem legal harus melewati dia, dia cuma akan nanya: “Udah beres?” tanpa mengecek ulang. Begitu seterusnya.Sebenernya asisten Hanna, Bowo yang salah kirim file ke Rahma untuk dicetak. Dia mengirim yang masih format belum fix. Tapi, di email itu, Hanna juga di cc, bahkan nggak cuma Hanna, Bu Respati atau biasa dipanggil Bu Res juga udah di cc juga. Jadi nggak ada alasan tim mereka nggak tahu, harusnya di recall email itu, dan kirim email baru. Hanna beralasan sedang banyak kontrak yang dikerjakan jadi nggak ngecek lagi file yang dikirim sama Bowo.Jujur aja gue kasihan sama dia. Tapi dia sendiri juga kurang teliti. Dari sisi gue, Rahma juga nggak ngecek, apalagi S
Gue baru saja meletakkan laptop kembali ke atas meja dan mengecek ojol untuk pesan makan siang. Saat gue sedang scroll makanan, Bu Angel mendekati gue.“Ri, siang ke mana?” tanya beliau sambil duduk di samping gue, tempat Sania biasanya duduk.“Mau meeting sama Bu Anna, Bu. Gimana?” sahut gue dan meletakkan hp gue di atas laptop yang masih tertutup.“Oh, ya udah. Sania belom balik ya? Harusnya nanti sore kita meeting soal masalah kontrak kemarin itu,” kata Bu Angel.“Udah otw ke sini Bu, Ci Sanianya!” kata Rahma cepat-cepat.“Oh, bagus deh. Kalo gitu nggak jadi ya, Ri!” kata Bu Angel sambil menepuk-nepuk bahu gue.Rahma yang melihat sikap Bu Angel kepada gue itu tertegun sejenak. Namun tak berapa lama dia kembali lagi bekerja. Ya gue cukup kaget sih dia nepuk-nepuk bahu gue kaya gitu. Jujur aja dia nggak pernah gitu sama sesama karyawan wanita lainnya.“Tadinya tuh gue
Seingat gue itu hari itu panas luar biasa. Sales bahkan nggak kelihatan di kantor satupun. Kayanya sih kalo mereka di project, mereka nggak akan milih buat balik kantor lagi. Kalau nggak ngadem di café atau workspace, mereka pasti balik ke tempat tinggal masing-masing. Begitupun gue. Perjalanan dari satu tempat ke tempat lain bener-bener terasa menguras tenaga hari ini. Belum macet di mana-mana.Untungnya, ground floor gedung bank tempat Bu Ana bekerja ini punya café dan koneksi internet yang cepet. Jadi biar nggak dikata ngebolos, gue kerja di situ sebentar sama Ronald, salah satu tim engineer gue yang biasa nemenin gue selain Yudha.“Ri, lo mau balik ke kantor nggak?” tanya Ronald.“Kayaknya enggak deh. Lo sendiri gimana?” tanya gue balik.“Kayanya gue malah mau balik ke atas. Ada masalah sama aplikasi yang lagi diupgrade,” sahut Ronald sambil membereskan laptop dan kabel-kabelnya.Ronald kemudian
Seperti yang udah gue dengar sebelumnya dan harus gue rahasiakan, kedatangan Bu Nami sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan oleh Pak Jaya. Tentu saja dia nggak sendiri. Dia bahkan punya sekretaris pribadi bernama Ayu. Ayu bahkan disediakan tempat di area divisi sekretaris. Sofa mini yang biasa dipakai kami semua untuk duduk-duduk menunggu antrian penyerahan dokumen ke C level untuk ditandatangani, tak ada lagi. Sofa mini itu diganti dengan meja bulat kecil dan kursi 4 biji melingkarinya. Ayu duduk di sana, dan bagi kami para fakir tanda tangan, bisa menunggu di salah satu kursi itu. Yang artinya duduk bersamanya.Menyenangkan? Tentu saja enggak. Gue nggak mengenal Bu Nami dengan baik. Begitupun gue juga enggan untuk beramahtamah dengan Ayu. Dan sama seperti gue, karyawan lain akan merasa canggung duduk berdekatan dengannya.Bu Nami tak memiliki ruangan sendiri. Dia selalu duduk di manapun di area lounge. Dia tak membawa laptop, hanya Ipad dan keyboard portable yang
Siapa sih yang nggak kesal kalau posisinya terancam? Apalagi posisi yang udah dia pegang selama bertahun-tahun tanpa adanya intervensi dari pihak manapun? Bagaikan Raja kecil, Bu Wanda selalu merasa dia bisa berbuat apapun sesuai kehendaknya. Peraturan-peraturan mengenai karyawan yang sudah disesuaikan di UU ketenagakerjaan banyak yang dilanggarnya. Gue juga heran gimana bisa semua itu lolos dari pantauan kementrian. Kalo kata Victor sih, klausul-klausul di kontrak kerja karyawan banyak yang membuat kementrian sendiri nggak bisa berbuat apa-apa. Apalagi kontrak kerja itu sudah dittd oleh masing-masing karyawan di atas materai. Sudah sah banget secara hukum jadinya. Peraturan-peraturan itu sedikit demi sedikit dievaluasi lagi sama Pak Jaya. Dia akan mempertahankan yang akan dipertahankan dan merubah yang tidak sesuai dengan cara memimpinnya. Makanya orang-orang di divisi HRD lagi rajin banget meeting. Kaya hampir tiap hari mereka mondar-mandir ke ruang meeting. Sekalinya kela