Tanpa memperhatikan sekitar gadis itu terus memakan buburnya dengan lahap, dan mengindahkan tatapan para mahasiswa lain yang menatapnya heran sekaligus ngeri. Bagaimana tidak, jika disamping gadis itu terdapat seorang lelaki gagah berjas, lengkap dengan dasinya tengah mengasah pisau. Leana meminum jus alpukatnya, suara dari asahan pisau itu terus mengalun merdu di telinganya.
Benar - benar tidak waras.Suapan terakhir leana menyantapnya dengan cepat dan segera beranjak dari duduknya. Namun goresan di lengannya yang berasal dari pisau itu seketika membuatnya mendesis."Melangkah sekali lagi aku akan memotong tanganmu!"Leana memutar bola matanya malas, entah apa lagi yang diinginkan oleh lelaki ini darinya. "Ck. Apa lagi? Gu- a-aku sudah mengatakan tadi pagi untuk jangan menggangguku kali ini saja." ujar Leana, gadis itu terlihat memelas sambil menahan sakit di pergelangan tangannya. Dengan tidak berperasaannya Nalendra menekan pisau itu ketika mendengar gadisnya akan berkata lo - gue. Jelas ia tidak senang untuk itu."Duduk dulu."Leana menghempaskan tubuhnya kasar, dasar lelaki gila. Gadis itu menatap pergelangan tangannya yang terus meneteskan darah segar, lukanya tidak dalam tapi cukup perih."Katakan. Aku ada jam kuliah sekarang!""Hm, apa aku perlu menyuruh dosenmu itu untuk mengundur jam kuliahnya by?" tanya lelaki itu pelan, sambil mengambil tangan Leana untuk diobatinya. "Mungkin diundur jadi sore?" smirk lelaki itu ketika menatap mata gadisnya yang penuh dengan kemarahan. Namun Leana hanya bergeming dan tidak ada niatan untuk menjawab Nalendra, bahkan bogeman tadi yang ia berikan masih terlihat membiru di wajah lelaki itu. Kemudian lelaki itu mengalihkan pandangannya pada tangan gadisnya yang terluka, dengan telaten Nalendra mengoleskan obat merah kemudian memberi perban."Jangan berlebihan! Ini tidak patah!" Desis Leana ketika melihat tangannya dililit banyak perban."Jangan gitu by, ini pasti sakit!" ujar Nalendra sambil mencium pelan tangan gadisnya yang diperban. "Kau sendiri yang memberi luka!" desis Leana tajam, sebisa mungkin ia menahan air matanya yang hendak keluar. Ia tidak ingin lemah dihadapan lelaki itu. "Dan aku yang akan mengobatinya!" jawab Nalendra sambil tersenyum manis."To the point!"Nalendra tersenyum gadisnya ini benar - benar menantang, dan ia semakin mencintainya. "Baiklah jawab satu pertanyaanku!" ujar Nalendra dengan raut wajah yang begitu serius menatap mata indah gadisnya.Leana menatap datar Nalendra, menunggu lelaki itu untuk bicara. Semuanya selalu berakhir rumit."Kenapa mulutmu bau rokok?" tanya Nalendra tajam."Habis bercumbu dengan seorang perokok berat!" jawab Leana malas, namun seketika ia mendesis kesakitan ketika lelaki itu menekan luka ditangannya dan menjambak rambutnya. Namun gadis itu tidak ada reaksi apapun yang membuat Nalendra semakin menggeram marah. Apa tadi katanya, bercumbu?Berani sekali.Ia akan melihat sampai mana gadisnya akan menerima rasa sakit itu. Nalendra melepaskan jambakannya kasar yang membuat Leana bernafas lega. Namun diluar dugaannya lelaki itu malah menyingkap bajunya, lalu memasukkan tangannya dan mengukir pola abstak dipunggungnya menggunakan pisau yang diasah lelaki itu tadi."Katakan sekali lagi!""Bercumbu? Hm...""A-apa kau tidak waras?" lirih Leana terbata, rasa sakit dipunggungnya membuatnya hampir hilang kesadaran. Sungguh lelaki psychopath gila yang melukai mangsanya di tempat umum. Semua mata mengarah padanya dan Nalendra, namun lelaki itu seperti tidak menghiraukannya seolah - olah hanya ada mereka berdua disana. Tidak ada seorangpun yang berani menghentikan seorang Nalendra."Kau yang tidak waras by! Apa ada seseorang yang mengatakan pada tunangannya bahwa ia habis bercumbu?!" teriak lelaki itu marah dan melempar kasar pisaunya.Leana tersenyum dadanya terasa sesak, rasa perih di hati dan punggungnya begitu menyiksanya. Dengan nafas yang tersengal gadis itu menjawab, "Ada, barusan aku yang mengatakannya kan?"Nalendra mengusap wajahnya kasar, sudah ia bilang menjinakkan seorang Leana bagaikan menjinakkan seekor singa. Kantin telah sepi, baik pelayan maupun mahasiswa sudah pergi meninggalkan tempat itu setelah mendengar teriakan mengerikan dari lelaki itu."Aku tidak salah pilih Leana, kau sungguh berani," smirk lelaki itu sambil mengelus surai gadisnya. Kini Leana tengah menelungkupkan kepalanya ke meja dan nafasnya terdengar teratur. "By..." panggil Nalendra pelan."Baby wake up," ujarnya sambil mengguncang tubuh gadisnya pelan. Apa Leana pingsan?"Hey, apa yang ter-?""Lelaki gila! Pergi kau, aku tidak selemah itu untuk pingsan dihadapanmu!" desis Leana tajam, dan menyambar tasnya cepat lalu pergi dari tempat itu.Nalendra tersenyum, ia tidak akan mengejar gadisnya. Biarlah ia pergi membawa rasa sakit yang ia berikan. Lelaki itu melihat tangannya, terdapat darah gadisnya disana. Mata Nalendra berbinar, kemudian ia menghirup wangi darah itu pelan. Ini lebih memabukkan dari menghisap sabu. Nalendra tertawa pelan, kemudian beranjak dari duduknya lalu meninggalkan tempat itu.***Dengan tertatih Leana melangkahkan kakinya pelan, kesadarannya hampir saja hilang. Namun gadis itu terus berjalan menuju parkiran dengan menenteng tasnya. Punggungnya begitu terasa perih, juga lengket karena darah yang terus mengalir. Untung ia mengenakan baju kaus hitam, jika ini adalah baju putih maka orang yang melihatnya akan mengiranya habis membunuh seseorang.Leana menatap malas mahasiswa lain yang mencoba menyapanya, bukan menyapa tapi para hidung belang itu terlihat sekali tengah menggodanya. Bahkan lelaki itu terlihat mengerlingkan mata padanya, Leana menggeram rasanya ia ingin sekali mencongkel mata itu."Morning ana...""Pergi lo bastard!""Wow tenang rilex, aku hanya mengucapkan selamat pagi an!" ujar lelaki itu sambil mengerling kearahnya.Leana tidak menjawabnya sungguh namanya terdengar menjijikkan ketika diucapkan oleh para lelaki itu. Ia terus berjalan dan berusaha mempercepat lengkahnya dan tidak lupa memberi lelaki tadi jari tengah."Dia selalu menantang," bisik para lelaki itu sambil menatap Leana yang berlalu dihadapannya dengan tatapan ngeri, gadis itu mengacungkan jari tengahnya dengan tangan yang berlumuran darah.Meski berupa bisikan ia masih bisa mendengarnya, sungguh lelaki yang menjijikkan."Omegats Leana? Lo kenapa?!" pekik seseorang menghampiri gadis itu."Akhirnya lo datang juga. Cepet bawa gue ke UKS!" ujar Leana ketika melihat sahabatnya itu datang."Ayo! Lo nggk bunuh orang kan?" tanya Hellena yang dibalas dengan tatapan datar oleh sahabatnya."Gue masih waras!""Hehe siapa tau," cengiran sahabatnya membuat Leana memutar bola matanya malas. "Trus lo kenapa bisa berdarah - darah gini?""Lo pasti tau kenapa!""A-Apa dia lagi?" tanya Hellena sambil meneguk ludahnya kasar. Tunangan sahabatnya itu sangat mengerikan."Emang gue nyakitin diri sendiri apa?""Iya mbak, sensi amat." ujar Hellena sambil terus memapah sahabatnya menuju UKS."Lo kok bisa tau kalau gue luka?" Tanya Leana heran, gadis ini datang padanya tanpa bertanya dan tiba - tiba sudah tau bahwa ia terluka.""Liat tangan lo anjir, ngeri gue!" Hellena bergidik ngeri melihat tangan sahabatnya itu yang berlumuran darah. Leana menatap tangannya, ternyata benar tangannya banyak darah. Tapi kenapa ia tidak merasakannya?"Eh iya banyak juga darahnya," gumam Leana sambil menatap tangannya, mungkin terlalu fokus pada sakit dipunggungnya ia sampai lupa bahwa tangannya yang sempat ditekan oleh lelaki itu kembali mengeluarkan darah."Anjir lo santai banget! Itu darah Lea, darah!" pekik Hellena histeris dan tanpa sengaja menekan punggung sahabatnya."Aww, jangan ditekan bego!""H-Hah? Jangan bilang punggung lo juga?" tanya Hellena menatap ngeri sahabatnya."Hm," gumam Leana pelan dan ia segera duduk di ranjang uks."I-Itu tunangan lo, apa monster Lea?" bisik Hellena pelan, dan perawat disana dengan cepat mengobati lukanya."Maybe monster," smirknya sambil menatap Hellena yang membuat gadis itu bergidik ngeri."Anjir, ngapain lo natap gue gitu!""Gue lagi bayangin nyongkel mata lelaki tadi," jawab Leana santai, sambil menelungkupkan badannya agar memudahkan perawat mengobati lukanya."Tenang nanti gue bantuin!" jawab Hellena sambil tertawa."Astaga?! Apa ini penganiayaan!" pekik perawat itu heboh ketika melihat lukisan abstrak dipunggung Leana."KDRT!""H-hah?""Cepat obati dan jangan heboh begitu!" ujar Leana sambil memperlihatkan pisau lipatnya pada perawat itu yang seketika membuatnya gelagapan."B-baik."Suara jam dinding terus berbunyi, bau khas dari obat - obatan menguar kuat. Di pojokan brankar UKS sana terdapat seorang gadis yang tertidur lelap. Hujan telah berhenti, menyisakan setitik embun diujung daun yang terus membasahi bumi. Tangan lelaki itu terus tergerak untuk mengelus surai gadisnya, mata yang biasanya menatapnya tajam dan penuh kemarahan kini tengah terpejam. Nalendra tersenyum sambil memainkan sehelai rambut Leana, "Baby, apa yang kau lakukan padaku?" gumamnya dengan tatapan yang tidak berhenti menatap wajah damai gadisnya, "Mengapa aku bisa mencintaimu sampai seperti ini, rasanya aku bisa gila jika kau pergi." lirih lelaki itu, mata tajam sebiru lautan yang tidak pernah ada orang yang berani menatapnya kini meneteskan air matanya. Ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa kehadiran seorang Leana.Tidak peduli gadisnya mencintainya atau tidak, itu tidak penting. Jika Leana tetap bersamanya, itu sudah lebih dari cukup.Nalendra tersentak ketika mendapati raut wajah Leana
Keringat dingin terus mengalir di pelipisnya, jantungnya berpacu cepat. Leana terus mengikuti langkah besar lelaki itu sembari memegang dadanya.Rasanya sesak, amat sesak. Tidak kah lelaki itu mengerti penderitaannya?"Al, please jangan lalukan ini padaku," lirih Leana pelan, namun sepertinya lelaki itu tuli dan tidak mendengarkannya. Melihat itu membuat darahnya mendidih, rasanya ia ingin sekali mencabik - cabik lelaki yang tengah menyeretnya itu.Sekuat tenaganya Leana berusaha melepaskan tangannya dari Nalendra, namun ia tidak berdaya cengkraman lelaki itu begitu kuat hingga tulangnya pun terasa ngilu."Al!""Nalendra!!" teriak Leana keras yang seketika membuat lelaki itu menoleh.Nalendra berbalik dan menyentak tangan gadisnya kasar. "Berani sekali kau!" desis Nalendra tajam sambil mencengkram dagu leana. "Hari ini, kau sudah melewati batasan yang ada," smirk lelaki itu menatap tajam iris pekat yang menatapnya penuh kebencian, tapi tidak apa - apa. Karena ia suka itu. "Dan aku beba
"Arrghh...."Timah panas itu tepat mengenai betis kanannya, gadis itu tersungkur sambil memegangi kakinya. Rasanya panas, dan seketika kakinya terasa mati rasa dengan darah segar yang terus mengalir. Leana mencengkram kakinya erat, ini menyakitkan namun tidak semenyakitkan hatinya. Lelaki itu memang tidak pantas disebut sebagai manusia, dengan tidak berperasaannya iblis itu menatapnya dengan kekehan disertai seringaian. Dengan susah payah, Leana berusaha berdiri dan mencoba lari meski itu mustahil tapi ia akan mencobanya. Bukankah tidak ada yang tidak mungkin?Teriakan itu begitu mengalun merdu ditelinga Nalendra, ia meniup pelan ujung pistolnya yang tidak pernah mengecewakannya dan selalu tepat sasaran. Kaki jenjangnya melangkah pelan mendekati gadisnya yang masih berusaha melarikan diri dengan menyeret kaki kanannya."Bajingan, keparat, bangsat, manusia hina! Lo bukan manusia Nalendra!!" teriak Leana kesal, keringat bercucuran di pelipisnya dan sudut matanya yang mengeluarkan bulir b
Senandung kecil terus terlantun dari seorang gadis yang tengah berjalan itu, sesekali ia berjingkrak senang. Hari ini adalah hari pertamanya kuliah, universitas impian dan jurusan yang ia inginkan semuanya tercapai dan hal itu membuatnya tak berhenti tersenyum. Karena ia sangat bahagia. Tas yang gadis itu sampirkan di bahunya ia turunkan pelan dan mengambil sebuah permen lolipop dan wortel.Gadis itu tertawa, pasti kelinci kesayangannya tengah menunggunya sekarang. "Hallo manis, kau merindukanku tidak? Hehehe, hari ini aku bawakan kau wortel terenak di dunia karena ini aku beli dari uang jajanku," ujar gadis itu senang sambil berjongkok dan mengelus kelinci putih yang ia beri nama manis.Pembicaraan terus berlanjut, gadis itu sangat senang melihat si manis kesayangannya makan begitu lahap. Namun saking fokusnya pada satu titik, tanpa gadis itu sadari sesuatu telah menunggunya di dalam sana. Melihat beberapa mobil mewah yang berjejer rapi di halaman rumahnya, tidak membuatnya peka akan
Rintik hujan turun perlahan, hawa udara semakin terasa dingin. Jemari kokoh itu menyentuh kaca balkon yang berembun itu perlahan, lalu bergerak seperti menulis sesuatu. Dalam hidupnya, dalam hatinya hanya ada satu nama, dan nafasnya berembus pun hanya untuk satu nama. Satu nama yang ia perjuangkan hingga kini. Satu nama yang berhasil merubah hidupnya, satu nama yang mampu membuat emosinya bergejolak cepat. Hanya dia, tidak ada yang lain. Nalendra tersenyum, sembari menghisap nikotin yang terselip di jarinya dengan pelan lalu dihembuskannya ia menulis nama lengkap gadis yang belum sadarkan diri itu dengan indah.Kerleeanna Alina"Secantik orangnya.." gumamnya sambil tersenyum lalu ia menoleh pada seorang gadis yang selalu memenuhi pikirannya. Nalendra berjalan pelan, hari sudah larut dan Leana belum memakan apapun selain bubur tadi pagi. Tangannya tergerak mengelus pipi yang sedikit tirus itu, keduanya memar. Apa ia terlalu keras menamparnya?Nalendra tersenyum, sepertinya tidak. Jika i
Matahari semakin tinggi hingga tenggelam untuk kembali ke peraduan. Seorang gadis bergerak gelisah, dari pagi ia hanya berbaring di tempat tidur saja. Ini sangat membuatnya tidak nyaman, rasanya ia hampir mati kebosanan. Leana menghela nafas gusar lalu bangkit dan mencepol rambutnya asal. Gadis itu berjalan menuju pintu, dengan satu kaki yang ia seret. Sepertinya hari sudah sore, rasanya ia seperti berada di penjara bawah tanah. "Bangsat!" desis nya ketika merasakan pintu itu masih terkunci dari luar. Lelaki itu telah meninggalkannya sejak selesai menyuapi nya bubur tadi siang. Entah kemana dan yang jelas ia tidak peduli. Lelah rebahan sepanjang hari Leana menuju balkon, dan nyatanya kembali membuatnya emosi. "Pintu balkon pun ia kunci?" beo Leana sambil menatap datar keluar, ia benar-benar seperti tahanan sekarang. Gadis itu kembali berjalan, sambil menyeret kaki kanannya. Dengan sekuat tenaga ia mengambil sebuah kursi lalu menghantamkannya ke jendela balkon. Leana tersenyum puas, k
"Uh..."Gadis itu terbangun sambil meringis pelan, ia memegang keningnya dan ternyata sudah ada perban yang menempel. Leana menengok ke samping lalu ia mendesah pelan sambil menyingkirkan sebuah tangan kekar yang berada di atas perutnya. Perlahan gadis itu bangkit tanpa menimbulkan suara apapun, hari masih gelap tapi sepertinya ini sudah pagi. Sebelum melangkahkan kakinya Leana mendekat pada seorang lelaki yang masih mendekur halus. Leana mendekat dan memperhatikan wajah Nalendra dari dekat, seketika ia menutup mulutnya ketika mencium aroma alkohol yang menguar kuat. Sepertinya lelaki itu mabuk berat semalam, Leana kembali menyentuh keningnya seketika ia terdiam. Apa dalam keadaan mabuk lelaki itu mengobatinya."Lo itu aneh Al," Leana tersenyum getir sambil mengelus kepala lelaki yang berstatus tunangannya itu yang membuat Nalendra bergerak mencari posisi ternyaman. "Lo yang memberi luka, tapi lo yang ngobatin." Lanjutnya lagi sambil berjongkok disamping lelaki itu masih dengan menge
Iris mata hitam legam itu menatap datar seorang lelaki tampan yang sudah rapi dengan kemeja dan balutannya jas nya. Kadar ketampanannya bertambah berkali lipat ketika tengah serius melilitkan perban di kaki kanan seorang gadis yang tengah menatapnya sedari tadi itu. Ketika sedang marah, lelaki itu bagaikan iblis yang siap mencabut nyawa mangsanya. Namun di saat tenang seperti ini lelaki itu bagaikan sesosok malaikat. Leana menepuk jidatnya kesal, tanpa sadar baru saja ia tengah memuji bajingan dihadapannya ini.Lelaki itu mendongak menatap raut wajah Leana yang kesal kemudian tertawa pelan, "Aku memang tampan by, kau bisa melihatnya langsung," bisik Nalendra lembut sembari mengambil telapak tangan gadis itu dan ditaruh diwajahnya, ia menggerakkannya perlahan seolah Leana tengah menyusuri wajah tampannya. "Dan juga menyentuhnya, karna ini milikmu.." lanjutnya lalu mendekat dan mengecup singkat pipi gadisnya. Leana melotot kaget lalu dengan cepat ia mendorong Nalendra, "Bacot!" desisny