"Ais, maaf, aku masih ada rapat sama klien. Malam ini sepertinya aku bakal pulang telat. Kamu bisa pulang sendiri dari RS?"Pesan dari Ilyas itu membuat Aisyah menghela napas berat. Pasalnya ia ingin sekali bertemu dengan suaminya sesegera mungkin. Ia butuh pelukan hangat untuk membuat hatinya semakin damai atas apa yang ia temui.Tapi perasaan itu segera ia hempas, bagaimanapun Ilyas bekerja sebagai bentuk tanggung jawabnya dalam menafkahi Aisyah.Ia bergegas mengambil handphonenya untuk memesan ojek online, namun sebuah telepon dari nomor tak dikenal lebih dulu mendarat di layar handphonenya. Aisyah mengerutkan kening, ia tidak pernah mendapat telepon dari nomor asing.Ingatannya tiba-tiba jatuh pada beberapa video viral yang ia lihat di media sosial, itu tentang penipuan dari sebuah telepon. Akhirnya Aisyah memilih tidak menerima telepon itu.Usai tak ada lagi gangguan, Aisyah hendak menelpon ojek online. Namun lagi-lagi langkahnya terhenti, Yusuf memanggil namanya dengan wajah pan
Malam semakin menggigil hampa, ruang hati yang semula pilu kini melolong terluka. Perempuan yang namanya seindah mentari, kini membenamkan silu pada kehampaan malam. Di atas sajadah, air matanya mengalir tanpa suara. Dzikrullah terus mengalir dari bibirnya. Hatinya pun ikut melantunkan ketidakberdayaan. Masa lalu? Aisyah tahu itu hanya masa lalu. Kenangan yang menyisakan kekecewaan tanpa jawaban. Harusnya ia tidak perlu memikirkan masa-masa itu kembali, bukan? Ucapan maaf terus ia ucap pada Sang Pengampun. Betapa lemah pertahanannya itu. Kenapa ia harus menangis dengan segala fakta di masa lalu itu? Aisyah terus melantunkan dzikir. Ia takut sekali, jika perasaan itu masih tersisa meski sedikit. Ia takut menodai cinta suci yang ia perjuangkan untuk Ilyas. "Kenapa terasa begitu sakit ketika mengetahui segala fakta itu?" batin Aisyah pilu. Air matanya terus mengalir. Hatinya sesak, "Ataukah rasa itu masih ada meski sedikit?" tanyanya ragu-ragu. Buntu. Tak ada jawaban. Aisyah kembal
Seminggu berlalu, Aisyah tak menemui Rana lagi sejak kejadian itu. Ia diterpa kesibukan menyambut siswa baru di sekolahnya. Perihal Eza? Dia sudah melupakan semua itu. Berbeda dengan Aisyah yang telah lapang dengan masa lalunya, Eza malah sebaliknya. Ia semakin sering murung, merasa bersalah atas perlakuannya pada Aisyah. Tentu semua itu lakukan ketika tidak sedang bersama Rana. Baginya, Rana yang utama. Perihal Aisyah, ia akan pikirkan ketika tidak sedang bersama Rana. Itu masalah pribadinya.Saat ini, Rana beristirahat lebih awal. Kondisi Eza, sebenarnya tidak bisa dibilang membaik, sebab ia lebih sering mimisan, meski tidak sampai pingsan. Perlakuan Rana yang sekarang lebih ramah terhadap Eza juga menjadi faktor atas tingkat kebahagiaan Eza yang lebih besar dari pada sebelumnya.Lelaki itu tahu bahwa Rana belum bisa mencintainya, tapi itu bukan masalah. Dia akan bersabar. Selama Rana juga selalu berusaha mencintainya, maka tidak ada masalah yang berarti. Sayangnya, meski waktunya b
Setelah sampai di club, Yusuf menemukan keberadaan Eza yang terus menenggak minuman keras di bar. Ia segera membopong tubuh Eza ke dalam mobil. Selama perjalanan, Eza terus melantur. Dia bilang Rana perempuan tak tahu diri, tapi dia mencintainya. Dia juga bilang Aisyah perempuan tol*l karena tidak menyadari perasaan palsu Ilyas, tapi kemudian ia akan menangis sebab semua penderitaan Aisyah terjadi karenanya.Yusuf tak merespon apapun, ia sangat tahu watak tuannya yang menjadi tak karuan setelah mabuk. Meski hatinya sedikit ngilu melihat kondisi tuannya yang kembali menginjakkan kaki di club malam."Dia pasti sangat tertekan," batin Yusuf.Setelah sampai di rumah, Yusuf mengantarkan Eza ke kamarnya. Eza menolak, dia bilang kamarnya bukan di sana. Dengan langkah terhuyung, dia menuju kamar Rana. Suara pintu yang terbuka cukup membuat Rana terbangun, ia mengucek matanya yang masih terasa kantuk sembari melihat siapa yang masuk ke dalam kamarnya."Eza?" parau Rana.Lelaki itu tertawa, ia
Eza dan Rana bersiap pergi ke rumah Aisyah, mereka telah bersepakat untuk datang di malam hari. Itu waktu yang tepat sebab Aisyah bisa menyiapkan beberapa makanan untuk kedatangan tamunya di sore hari.Rana dan Eza menggunakan baju pasangan, warnanya navy, tampak elegan. Arka jelas ikut, anak kecil itu sangat tidak sabar ingin bermain dengan Aisyah.Perjalanan dari rumah Eza ke rumah Aisyah tidak memerlukan waktu lama, sekitar dua puluh menit. Mereka menikmati perjalanan sembari sesekali bercanda. Tawa-tawa sumringah itu menyiratkan rona cinta. Keluarga kecil itu mulai benar-benar menjadi keluarga harmonis.Setelah beberapa lama menyisir jalanan, mereka sampai di sebuah rumah sederhana dengan nuansa vintage yang menenangkan. Aisyah sudah menunggu di teras. Arka bahkan langsung berlari ke arahnya setelah turun dari mobil."Assalamu'alaikum anak ganteng... " sapa Aisyah sembari merentangkan tangannya, menyambut kehadiran si kecil."Wa'alaikumussalam, tante!! Alka kangen bangett!!" ujarn
Malam kadangkala menjadi waktu paling sepi dalam diri seseorang. Merindukan tawa sembari merangkai harapan dalam cahaya bintang. Ia menyimpannya di sana, kerinduan atas kehadiran lelaki yang ia cintai tanpa jeda. Perempuan itu menghela napas berat,"Aku kangen Ilyas, Din," ujarnya lirih.Perempuan yang disapa 'Din' itu mengernyitkan dahinya heran, "Emang suami kamu itu sibuk apa sih, Ais? Baru kali ini loh kalian gak pernah kelihatan bareng selama dua minggu. Biasanya juga si Ilyas tuh nempel banget sama kamu pas lagi berkunjung ke toko," ketus Dinda, sahabat baik Aisyah yang ia percayai mengelola bisnis pakaian muslimnya."Yah, katanya sih ada klien yang mau bangun hotel termewah di kota ini. Itu sebabnya dia sering rapat sampai malam.." Aisyah menyeruput cokelat hangat miliknya. Lampu kuning kafe begitu mendukung suasana hati Aisyah yang sedang temaram."Ck, dimana-mana nih ya, istri tuh lebih penting dari pada klien!" ketus Dinda lalu menyeruput es lemon tea yang sudah terkikis keb
Aisyah dan Ilyas berjalan cepat menuju ruangan Eza dirawat. Aisyah khawatir dengan kondisi Rana yang pasti teramat sedih, meski ia juga cukup mengkhawatirkan keadaan Eza, bagaimana pun mereka berteman dekat ketika kecil.Ketika sudah sampai di ruangan Eza, Ilyas masuk lebih dulu. Dia melihat Rana yang menangis pilu, matanya sembab, wajahnya begitu sendu."Rana.. kamu gak papa?" ujar Ilyas sembari mendekati perempuan yang masih ia cintai, sementara Rana tak merespon apapun. Dia mengalihkan pandangannya pada Aisyah yang baru masuk ke dalam ruangan."Ais..... " suara Rana bergetar. Perempuan berjilbab itu langsung mendekati Rana dan memeluknya erat."Sabar ya, Rana. Aku di sini sekarang. Aku temenin kamu jagain Eza, dia pasti bakal baik-baik saja, oke?" Aisyah mengelus rambut Rana. Ilyas yang merasa tak direspon hanya bisa mundur, hatinya bergemuruh ketika melihat Rana begitu peduli pada Eza.Sementara Aisyah, meski hatinya gundah atas sikap Ilyas, ia memilih untuk tak memikirkannya saat
Pukul empat pagi, Aisyah semalaman berjaga di ruangan Eza. Jujur, matanya sudah terasa berat. Tapi itu bukan masalah, sebab bagi Aisyah, kebermanfaatan dirinya untuk orang-orang yang ia sayangi itu lebih penting dari pada dirinya sendiri.Adzan subuh berkumandang lima belas menit kemudian, Aisyah telah siap menghadap Sang Maha Esa. Sajadah yang ia gelar menjadi tempatnya merendahkan diri sembari berdzikir padaNya. Semalam penuh ia menghadirkan dirinya untuk bercerita dan meminta hal-hal baik untuk orang-orang di sekitarnya.Usai shalat subuh, Aisyah membangunkan Ilyas. Lelaki itu menggeliat, "Shalat dulu, Mas," ujar Aisyah lembut. Dengan wajah setengah mengantuk, Ilyas bangun. Ia mandi, berwudhu, dan melaksanakan shalat.Usai shalat, Ilyas langsung pamit pergi bekerja. Dua minggu terakhir selalu seperti itu. Ketika Aisyah sempat ingin meminta waktu Ilyas sebentar, ia bilang bahwa kliennya akan datang sangat pagi jadi ia tidak boleh terlambat. Tak ada waktu bagi Aisyah menanyakan perub